MOJOK.CO – Dinas Pemberdayaan Perempuan DIY menyebut bahwa kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja masih sering terjadi. Apa saja bentuknya?
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY Erlina Hidayati Sumadi menyayangkan bahwa hari ini masih marak terjadi kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja.
Padahal menurutnya, sejumlah aturan terkait hak-hak perempuan dalam lingkungan kerja sudah ada dalam undang-undang. Namun, masih banyak pemberi kerja yang mengabaikan atau melanggarnya.
Misalnya, dari yang paling sederhana, terkait aturan cuti haid. Kata Erlina, dalam UU Ketenagakerjaan sudah jelas bahwa perempuan bisa mengajukan izin sakit di hari pertama dan kedua haid.
Sementara pemberi kerja, masih wajib memberi upah bagi pekerja perempuan yang mengambil cuti haid itu. Jika tidak, sanksinya pun tak main-main, yakni bisa kena pidana penjara 1-4 bulan.
“Namun, faktanya, banyak perusahaan yang tidak memberikan cuti haid,” ujar Erlina, dalam diskusi bertajuk Adakah Ruang Aman di Tempat Kerja Bagi Perempuan dan Difabel?, Kamis (25/5/2023).
“Sementara pekerja perempuan pun karena relasi kuasa, seperti takut kena pecat, akhirnya memilih diam dan tetap bekerja meski sakit nyeri akibat haid,” sambungnya.
Hak-hak lain pekerja perempuan
Selain terkait cuti haid, ada hak lain yang sebenarnya pekerja perempuan miliki. Salah satunya cuti melahirkan.
Kata Erlina, perempuan hamil berhak mengajukan cuti kerja 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan sesudah melahirkan. Dalam kurun waktu ini, pemberi kerja masih wajib memberi upah penuh.
“Tapi, biasanya perusahaan tidak mau membayar dan memilih merumahkannya tanpa memberi gaji,” jelasnya.
Erlina juga menambahkan, ada pula hak-hak lain seperti cuti gugur kandung (keguguran) selama 1,5 bulan yang masih jarang orang ketahui.
“Bahkan, perempuan hamil juga dilarang bekerja pada shift 23.00-07.00 karena alasan kesehatan, tapi ini jarang diketahui,” papar Erlina.
Lebih lanjut, pun seandainya perusahaan sudah memberikan hak-hak pekerja perempuan tadi, biasanya muncul masalah lain. Kata Erlina, yang paling sering terjadi adalah sarana prasarana tempat kerja yang tidak mendukung.
“Misalnya, tidak ada ruang khusus memerah ASI. Padahal ini sangat dasar karena meski ibu sudah aktif bekerja, ASI eksklusif tetap harus diberikan,” jelas Erlina.
“Ada juga beberapa kasus ibu hamil yang kesulitan jalan tapi ruangan kerjanya ada di lantai dua. Jika perusahaan tidak punya lift, ini sebenarnya bisa diakali dengan memindah ruang kerja ke lantai dasar,” kata dia.
Rentan mengalami kekerasan seksual
Selain hak yang sering terabaikan, kata Erlina, perempuan juga rentan mengalami kekerasan seksual di tempat kerja. Berdasarkan data yang ia sampaikan, secara umum ada 825 dari 1.173 responden (70,9 persen) yang mengaku pernah mengalami kekerasan seksual di tempat kerja.
Bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari yang verbal seperti siulan, perkataan yang berkonotasi sensual; ataupun fisik seperti mencolek dan meraba. Dari 825 responden yang pernah mengalami kekerasan seksual, 70 persen di antaranya bahkan mengaku mendapatkan lebih dari satu bentuk kekersan.
“Ini menunjukkan bahwa perempuan masih sangat rentan saat berada di lingkungan kerja,” tegas Erlina.
Di DIY sendiri, DP3AP2 DIY mengaku sulit untuk mendapatkan data pasti terkait kekerasan seksual di tempat kerja. Namun, Erlina memastikan bahwa pihaknya sudah punya upaya pencegahan dan penanganan masalah tersebut.
“Salah satunya melalui Gerakan Pekerja Perempuan Sehat Produktif (GP2SP) untuk menjamin dan melindungi hak serta keselamatan kerja perempuan,” jelasnya.
Pada 2021 lalu, GP2SP DIY meraih penghargaan Mitra Bhakti Husada dari Kementerian Kesehatan RI. Penghargaan ini merupakan apresiasi yang diberikan Kemenkes RI kepada mitra yang telah berperan dalam memberikan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja.
Selain GP2SP, DP3AP2 DIY juga punya program lain. Seperti sosialisasi kekerasan seksual kepada seluruh pekerja; membangun komitmen dengan perushaan terkait larangan dan sanksi atas kekerasan seksual; dan menerapkan SE Menaker No.3/2011 tentang Pedoman Pencegahan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja.
DP3AP2 DIY juga merancang Zona Bebas Kekerasan dan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja, Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan (RP3), dan penyelesaian kasus kekerasan seksual di tempat kerja.
“Upaya itu adalah komitmen kami dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual di tempat kerja,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi