Caleg Kudu Nyimak! Politik Uang Nyatanya Tak Efektif Buat Menangin Pemilu

politik uang pemilu mojok.co

Ilustrasi uang rupiah (Photo by Mufid Majnun on Unsplash)

MOJOK.CO – Harus diakui, politik uang masih jamak dijumpai saat berlangsungnya pemilu di Indonesia. Bahkan, Indonesia masuk tiga besar negara dengan praktik politik uang paling marak. Namun, benarkah cara ini efektif buat mendulang suara pemilih?

Sudah jadi rahasia umum bahwa modal politik di Indonesia begitu mahal. Bayangkan, untuk maju sebagai caleg DPRD tingkat kota/kabupaten saja, rata-rata seorang politisi harus punya ongkos paling minimal Rp250 juta.

Sementara untuk tingkat DPR RI, mereka harus merogoh kocek lebih dalam lagi, yakni Rp4 miliar per orang.

Selain untuk kebutuhan kampanye, seperti pengadaan alat peraga, blusukan, atau bikin acara konser musik, ongkos mereka biasanya digunakan untuk membeli suara pemilih. Pendeknya, dipakai untuk money politic atau politik uang.

Bahkan, penelitian Burhanuddin dkk. berjudul “Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Paska Orde Baru” menunjukkan, mayoritas caleg pada Pemilu 2019 lalu melakukan praktik politik uang.

Dalam pemetaannya, 19,4-30,1 persen caleg terlibat. Bentuknya pun beragam, mulai dari “serangan fajar”, bagi-bagi amplop saat kampanye, maupun bagi-bagi duit dalam acara-acara seperti open house.

Alhasil, Indonesia pun menempati urutan ketiga negara dengan praktik politik uang termarak. Kita hanya kalah dari Uganda dan Benin.

Meski praktiknya begitu marak, yang jadi pertanyaan berikutnya adalah, apakah praktik ini benar-benar efektif dalam mendulang suara pemilih?

Marak tapi tak efektif

CEO lembaga survei politik PollMark Indonesia Eep Saefulloh Fatah, menegaskan bahwa meski marak, politik uang sebenarnya tak begitu efektif.

Dalam artian, praktik ini sebenarnya tak memberi keuntungan elektoral yang signifikan kepada caleg yang melakukannya.

“Dalam praktik pemilu, ada dua pertanyaan yang harus kita bedakan. Pertama, apakah politik uang itu marak? Dan yang kedua, apakah politik uang itu efektif?,” ujarnya Eep dalam diskusi daring bertajuk “Dinamika Pilpres 2024:  Peta Saat Ini”, dikutip Senin (24/7/2023).

Memang, ia sendiri tak bisa memungkiri bahwa praktik ini semakin marak. Dari sejumlah survei yang lembaganya lakukan, Eep mengaku, mayoritas responden—terutama di daerah-daerah—masih sering menerima uang dari kandidat maupun partai politik.

“Mayoritas responden mengakui menerima uang atau pemberian yang lain, dari kandidat atau partai politik agar mereka memilih pihak pemberi,” katanya.

Namun, Eep menegaskan bahwa “marak” dan “efektif” merupakan dua hal yang berbeda. Meski praktik politik uang masih kerap dijumpai, ini bukan berarti mengindikasikan bahwa ia efektif untuk memenangkan suatu kandidat dalam pemilu.

Terima duitnya, tapi pilih caleg lain

Eep melanjutkan, nirefektifnya politik uang bagi seorang caleg sebenarnya sudah bisa dilihat secara saintifik. Ia menyebut, sepanjang 2012 hingga 2018, PollMark membuat kajian yang mencakup 142 survei.

Survei-survei ini menggunakan metode multistages random sampling dengan melibatkan 123 ribu responden.

Hasilnya menunjukkan bahwa politik uang tidak terbukti efektif bagi seorang kandidat. Pasalnya, kebanyakan masyarakat memang menerima uangnya, tapi memutuskan untuk memilih calon lain.

“Semakin kesini, trennya juga konsisten: semakin banyak pemilih yang mengatakan menerima uangnya, tetapi pilihan saya adalah soal yang lain,” kata Eep.

Ia menjelaskan, banyak pemilih di berbagai daerah yang semakin mandiri secara politik. Banyak di antaranya mereka yang tidak banyak terpengaruh oleh ketokohan berskala besar atau nasional dalam menentukan pilihan.

Kata Eep, mereka umumnya juga membentuk pilihannya dalam lingkungan berskala sangat kecil berbasis diri, keluarga dan pertetanggaan. Selain itu, pemilih pun juga telah memahami bahwa pilihan mereka di bilik suara sepenuhnya hanya mereka yang tahu. Sebab, tidak ada cara untuk membuktikan, ketika dia tidak memilih calon yang memberinya uang.

“Pada saat yang sama, politik uang semakin marak, apa yang terjadi? Pemilih semakin cerdas, kandidat dan partai politik semakin tidak cerdas,” pungkasnya.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Kenapa Sih Perempuan Rentan Jadi Sasaran Politik Uang?

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version