MOJOK.CO – Ponsel Vivo S1 mengingatkan kita pada geliat kehidupan seorang sarjana yang baru lulus. Kira-kira, worth it nggak, ya?
Belum lama meluncurkan V15, Vivo melahirkan ponsel baru yang katanya smart and stylish. Produk ini mengawali perjalanan seri baru, yaitu S1 alias ponsel Sarjana. Apakah dia siap mengarungi kerasnya dunia nyata, seperti jutaan sarjana lainnya?
Dengan harga Rp3,6 juta, Vivo S1 adalah solusi hemat bagi pecinta Vivo yang mendambakan tingginya resolusi kamera selfie hingga 32MP dan teknologi AI Face Beautify. Saya sendiri juga bingung apa pentingnya; swafoto, kan, jarang dibuat dengan diperbesar berkali-kali, apalagi dicetak besar. Narsis itu mah!
Tapi, kira-kira “sunatan” apa saja yang harus terjadi dengan selisih Rp500 ribu antara Vivo S1 ini dan Vivo V15? Atau, justru ada peningkatan?
Sunatan pertama jelas berupa poni yang kembali muncul di Vivo S1 dan, tentu saja, mengganggu all-view experience. Ukurannya juga sedikit lebih kecil, yaitu 6.38 inci, jika dibandingkan dengan V15 di 6.53 inci. Akan tetapi, teknologi justru meningkat dari IPS LCD di V15 ke Super AMOLED di S1. Tampilan lebih cerah, warna lebih akurat, dan nyaman untuk mata.
Yakin, deh, sekalinya menggunakan AMOLED, pasti rasanya aneh untuk kembali ke LCD.
Sunatan kedua terletak pada sensor utama kamera belakang. Jika V15 memberikan resolusi 24MP, Vivo S1 turun ke 16MP dan mengandalkan Sony IMX499. Ukuran per piksel sama, begitu juga dengan ultrawide dan depth sensor yang sama persis. Berfoto di terang maupun gelap akan menyenangkan dengan aperture yang cukup imbang, f/1.78 tepatnya.
Oleh karenanya, di atas kertas, seharusnya dia mampu membuat Vivo S1 bersaing dengan kamera 25MP di Samsung Galaxy A50. Secara overall, cukup lah. Lagian, memang mau dicetak sebesar apa?
Sunatan ketiga—entah, sih, ini sunatan atau bukan—adalah penurunan seri prosesor dari Mediatek Helio P70 di V15 ke P65 terbaru di Vivo S1. Teknologi core-nya naik dari Cortex-A73 dan A53 ke Cortex-A75 dan A55, tetapi susunannya berubah dari 4+4 ke 2+6 untuk menghemat daya. Alhasil, menurut Geekbench, performa prosesor keduanya sama saja. Mendengar namanya, para pengoprek pasti tidak bahagia.
Tak sampai di situ, demi memori internal 128GB yang lebih besar, RAM pun disunat dari 6GB menjadi 4GB. Poin ini sangat disayangkan karena RAM 4GB terlalu standar, bahkan bagi ponsel low-end dan banyak aplikasi membutuhkan di atasnya. Dengan prosesor yang setara, RAM 6GB mampu membuka 30% tab lebih banyak di browser tanpa perlu reloading dibandingkan RAM 4GB.
Yang paling mengecewakan tentu saja pengaturan di PUBG. Ketika Galaxy A50 mampu menembus smooth-extreme, Vivo S1 mentok dengan smooth-high. Apalagi menengok ke Realme 3 Pro yang bisa bermain Fortnite, lupakan saja anganmu, lah!
Skor AnTuTu boleh tinggi, yaitu 145000-an, tapi kalau jauh lebih menitikberatkan CPU dibandingkan GPU, jelas bukan preferensi anak muda.
Tak semuanya sunatan, Vivo juga memberikan peningkatan. Vivo S1 dibekali dengan baterai 4500mAh dan fast charging 18W yang mampu memberi nafas tambahan sekitar satu jam dibandingkan V15. Hal ini sangat sesuai dengan kegiatan anak muda yang banyak di luar rumah, malas mengisi daya dan membawa powerbank, serta jarang bertemu jodoh stop kontak. Soal kapasitas baterai, Vivo S1 tidak ada tandingan di kelasnya.
Berita baiknya lagi, colokannya masih mengandalkan microUSB 2.0 sehingga memudahkan pinjam-meminjam charger ketika lupa membawa. Akan tetapi, tanpa charger resmi, Anda akan kehilangan kemampuan fast charging. Maklum, prosesor yang digunakan adalah Mediatek dan Vivo harus membuat teknologi pengisian daya sendiri bernama AI Dual Engine 18W.
Satu lagi, S1 juga dibekali kemampuan reverse charging berbasis kabel USB OTG seperti Y17 untuk mengisi perangkat lain, tetapi hal ini tidak disarankan karena bisa merusak baterai keduanya.
Poin selanjutnya, dibandingkan V15 dengan sensor fingerprint di belakang, Vivo S1 memindahkannya ke dalam layar sesuai tren ponsel terbaru dan dinamai ScreenTouch ID. Hal ini memang lebih bergaya, tetapi saya lebih suka sensor di belakang dengan alasan kemudahan. Lagi pula, bertambahnya elegansi di sini tidak mampu menutupi kekecewaan akibat poni di layar.
Berikutnya, Vivo tampaknya jelas tak peka dengan keluhan warganet terkait tak adanya NFC di produk pesaing dengan harga setara. Sayang, ini terjadi lagi di Vivo S1. Padahal, keberadaannya amat penting untuk mengecek dan mengisi saldo kartu e-money tanpa perlu pergi ke minimarket atau ATM. Masa iya, sih, anak muda bergaya harus menanggung malu akibat kekurangan saldo di pintu tol atau gerbang KRL?
Namun begitu, Vivo S1 hadir dengan punggung glossy bak kaca dibalut warna gradasi yang bisa memantulkan efek ala berlian. Sayangnya, dua warna yang disodorkan, Cosmic Green dan Skyline Blue, sayangnya tidak menunjukkan gaya mewah.
Sama-sama bernuansa biru keunguan, cosmic green tampak lebih tua dan pekat dibandingkan skyline blue tentu lebih mudah dan soft. Urusan pilihan warna, masih jauh lebih menarik V15 dan bonus hilangnya poni. Lebih parahnya lagi, Vivo S1 sama sekali tidak cocok bagi mereka yang suka hidup simpel.
Tidak ada varian warna polos dan tidak ada yang lebih tidak norak.
Dengan peluncuran yang sedemikian hype, desain dan spesifikasi Vivo S1 memang tergolong standar sehingga tergolong overpriced meskipun masih lebih waras dari adiknya, Y17 yang berselisih harga Rp600 ribu dan masih mengandalkan Helio P35.
Apa? Bergaya? Gaya apa yang bisa kalian tunjukkan dengannya? Seperti sudah disinggung sebelumnya, saya lebih memilih Samsung Galaxy A50, Realme 3 Pro, atau kakaknya sendiri si V15.
Akan tetapi, jika Anda tetap mau membeli, monggo saja. Selama 16 hingga 22 Juli 2019, Vivo S1 dijual melalui mekanisme preorder dengan modal Rp3,7 juta untuk mendapatkan ponselnya sendiri, kartu XXI senilai Rp100 ribu, koin Shopee senilai Rp200 ribu, bluetooth headset, dan tripod. Di dalam kemasannya, Anda akan mendapatkan earphone, SIM card ejector, adaptor, kabel USB, dan jelly case transparan.
Tapi, yaaaah, seperti ulasan yang saya tulis ini, patut diingat kesimpulannya: sama seperti lulusan Sarjana baru, Vivo S1—meski bukan ponsel rendahan—sebenarnya tidak istimewa-istimewa amat. Hehe.