MOJOK.CO – Generasi Milenial dikenal sebagai generasi yang kreatif tapi wegahan, malas, dan tidak tahan banting. Sungguh ciri-ciri itu adalah ciri manusia yang dibutuhkan untuk bekerja atau membuat start up!
Sahabat Celenger dimana pun tabunganmu berada, baik yang di bank, celengan, maupun di hati,
Dulu, saya hampir selalu terpingkal-pingkal kalo komedian Thukul lelah mengejek dirinya sendiri kemudian beralih mengejek teman-temannya, “kamu tuh ya, sudah mukanya pas-pasan, kalo saya perhatikan kok hidup isinya merintisssss terussss. Nggak capek apa. Lha terus kapan suksesnya?”
Sekarang, apa yang ada di benak kalian begitu mendengar perusahaan rintisan? Start up kalau istilah internasionalnya. Bukankah semua perusahaan memang pada awalnya merintis, mau skalanya besar atau kecil, dan terlepas modalnya 3T: Tipis, Tiris atau Tebal.
Faktanya, perusahaan rintisan merupakan perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan keberadaan teknologi yang dengan cepat mampu memindai kebutuhan kita, mengetahui, dan selalu berusaha untuk memenuhinya. “Tiba-tiba” saja skalanya masif, membuat kita tergantung, tak berdaya, dan tidak mungkin tanpa memanfaatkan keberadaan mereka.
Tiba-tiba saja untuk urusan tiket berbabagai moda transportasi kita memilih Traveloka tanpa harus pergi ke agen tiket. Tiba-tiba saja untuk urusan antar mengantar orang hingga makanan kita memencet GoJek, bukan mencari ojek pangkalan. Tiba-tiba saja urusan belanja kita dari kolor hingga motor masuk ke Tokopedia dan atau Bukalapak. Tidak sampai di situ saja, mereka terus membesar, menggerogoti dan “menggasak” perusahaan-perusahaan jasa keuangan dalam urusan bayar membayar.
Sejahtera dong pasti para pegawainya? Bisa jadi. Apalagi dalam waktu singkat perusahaan-perusahaan di atas masuk dalam kelompok perusahaan unicorn. Perusahaan rintisan yang bernilai di atas 1 milyar dollar. Kalau divaluasi dengan rupiah kita yang satu tahun ini hilir mudik dari 13ribu-15ribu berarti senilai 13 trilyun – 15 trilyun rupiah. Sebut satu saja dari unicorn tersebut, GoJek. Tahun ini perusahaan tersebut kalau divaluasi nilainya di atas 140 trilyun.
Tapi begini, ada benang merah dari setiap generasi yang menggunakan teknologi sebagai basis utamanya. Generasi “milenial” maupun “kolonial” sama saja, hal yang membedakan sebenarnya hanya umur dan didikan jaman saja. Intinya, yang muda selalu menghendaki kebaruan dan kesederhanaan.
Manusia dari generasi 90an seperti saya menjadi saksi masa peralihan dari mesin ketik ke program pengolah kata, Wordstar yang berbasis Dos. Di masanya, orang yang menguasai wordstar, untuk membuat judul satu artikel tampil di tengah harus memencet tombol kombinasi ctrl+apalah apalah di antara judulnya.
Itu sudah jauh lebih advance daripada penggunaan mesin ketik yang harus menghitung jumlah karakter dalam judul, kemudian dibagi dua dan harus memundurkan dari posisi tengah sekian hentakan backspace dengan jari. Bayangkan kesulitan yang dialami Pramoedya Ananta Toer. Hanya untuk urusan mengetik judul, memerlukan waktu yang dibutuhkan penulis sekarang untuk memproduksi lebih dua paragraf.
Itu belum kalau salah ketik, tidak cukup dengan memencet tombol backspace, selesai persoalan. Yang terjadi kertas harus dirobek, diuwel-uwel dan dilempar sambil mengatakan, jancuk! Belum kalau mendekati margin kanan mengetiknya harus melambat supaya tidak kebablasan. Serius, kekawatirannya itu persis orang tua saat melepas anaknya pergi dengan teman lawan jenis untuk pertama kali.
Eh, lha kok untungnya Tuhan itu maha baik. Tiba-tiba saja muncul anak muda, sekarang sudah tua sih, Bill Gates, yang mengenalkan sistem operasi komputer bernama windows. Tidak cukup berhenti di sistem operasi saja, dia juga menjadi bagian dari revolusi program pengolah kata yang kemudian disebut microsoft word dan masih kita gunakan hingga saat ini. Tinggal klak klik dengan mouse atau touch pad, semua urusan menjadi jauh lebih mudah, cepat dan membuat orang bertambah produktif.
Dua dekade kemudian muncul pemuda milenial paruh pertama, gen Y, Mark Zuckerberg. Dimana komputer tidak lagi menjadi urusan untuk ketik mengetik saja tetapi juga sebagai sarana untuk bergaul, menemukan teman lama juga baru, cinta lama yang mendadak hidup kemudian mati lagi, dan cinta asli juga palsu yang menghujam dada.
Perkembangan berikutnya bahkan lebih fantastis, media sosial menjadi penghubung dan pendorong kemajuan berikutnya untuk mengeruk keuntungan finansial, munculnya perusahaan-perusahaan start up. Bisa ngeselin untuk perusahaan yang terlibas tapi juga nguntungin untuk konsumen, lengkap!
Tidak ada lagi generasi yang gemes menunggu sistem operasi berbasis windows maupun mac kapan memperbarui interface. Hal-hal seperti itu menjadi tidak menarik lagi bahkan terasa usang. Sekarang, para penggunanya lebih menanti fitur apa yang dimunculkan facebook, twitter, dan tentu saja instagram yang semakin fenomenal itu.
Setidaknya 5 tahun terakhir ini, menurut pindaian google, Indonesia menjadi negara yang terbesar dan tercepat perkembangan ekonomi berbasis internet atau ekonomi digital se Asia Tenggara. Untuk tahun 2018 saja nilainya sebesar 27 milyar dollar. Berapa rupiah itu? Menggununglah pokoknya, cukup untuk mengubur cinta lama beserta kenangannya yang tronjal tronjol, kadang muncul kadang nongol kadang ngga mau hilang. Hiks.
Jadi bisa dibenarkan jika Pemerintah Indonesia kemudian menargetkan ada seribu start up hingga tahun 2020 nanti. Implikasi kebijakannya memang harus seperti itu kalau melihat data penetrasi internet. Ini bicara di luar fungsi pokok pemerintah dalam mensejahterakan warga negara dari mulai urusan perut hingga pendidikan ya. Target tersebut dapat jadi salah satu crash program untuk penyediaan lapangan kerja.
“Wah pasti banyak lowongan untuk lulusan teknologi informasi dong, Om?”
Secara teknis, ya! Dan faktanya menyatakan demikian. Sampai tahun 2018, menurut perusahaan yang bergerak dalam membantu penyediaan SDM untuk perusahaan start up, kebutuhan tenaga kerja di bidang teknologi informasi masih defisit. Ironis, melankolis dan bisa membuat Indonesia menangis kalau target seribu start up gagal tercapai!
Loh, loh terdengar aneh. Kok bisa perusahaan tersebut kekurangan tenaga kerja padahal banyak lulusan teknologi informasi dan banyak orang yang menguasai teknologi informasi non-akademis tersedia? Banyak faktor yang mempengaruhi saya kira.
Kalau menurut seorang pengusaha sukses yang tidak perlu saya sebut namanya, dan belum tentu mau juga disebut namanya. Dalam kajian ontologi, anak milenial adalah wegahan! Tau maksudnya? Bukan lagi persepsi tapi sudah nyata adanya kalau anak milenial identik dengan “mendahulukan rasa tidak mau”. Mau sukses tapi nggak mau kerja keras, mau melihat matahari terbit tapi nggak mau bangun pagi, dan mau kaya tapi nggak mau menabung.
Hih!
Begini ya, Mas Pengusaha Sakses yang tahun ini mulai merayapi dan menyukai syahdunya usia 40an. Sebagai pemerhati masalah kemilenialan, tidak ada itu istilah “wegahan”. Kalaupun mengatakan “tidak mau”, sangat mungkin mereka hanya enggan menjalan saran-saran yang tidak produktif menurut pikiran mereka.
Sebagai seorang pengusaha sukses dan sekaligus pemerhati “kemalasan” silahkan saja bersebrangan dengan pendapat tersebut. Saya maklum. Tetapi cobalah sekali-sekali bicara dengan putrinya atau putra mahkota kerajaan bisnisnya yang lebih suka pesen telor dadar melalui gofud daripada mempraktekkan sendiri kemampuan masak di dapur. Mereka lebih tau cara membuat bagaimana uang benar-benar bekerja untuk mereka dan bahkan memohon-mohon untuk antri masuk rekening.
Nah, kalau ada milenial mengatakan “nggak mau”, berarti dia tau cara untuk berbuat lebih baik. Tidak harus selalu dalam kerangka mengembangkan bisnis dan atau membesarkan usahanya secara ekspansif, tetapi bisa jadi sudah tidak menempatkan uang sebagai tujuan hidupnya.
Selama kita belum bisa mengurai apa yang menjadi kehendak anak milenial, generasi sebelumnya hanyalah dipandang sebagai anak kolonial yang sok asyik. Padahal mereka yang sebenarnya paling tau, seperti apa seharusnya perusahaan start up beroperasi. Mereka sangat mungkin lebih tau bagaimana kuasa kapital yang meraja dapat memangsa kesejahteraan orang-orang yang bekerja atas perintah sistem.
Ada dua faktor pokok yang harus dibenahi agar tenaga kerja di perusahaan start up tidak defisit lagi dan menggagalkan target pemerintah di tahun 2020. Buat mereka kerja santai tapi jangan diarahkan untuk malas, dan kurangi gajinya tetapi mereka boleh lebih santai lagi dalam bekerja.
Faktor budaya kerja
Perusahaan startup identik dengan padat modal dan padat teknologi. Tentu jadi masalah bagi orang yang belum siap kerja independen, maunya kerja diperintah orang, dan juga memenuhi amanah orang tua untuk jadi PNS. Kerja enak, tidak harus cekatan, tidak perlu berpikir inovatif, tinggal menjalankan perintah.
Tetapi tidak menutup kemungkinan perusahaan rintisan tersebut budayanya masih seperti korporasi jaman kolonial yang masih eksis hingga kini: tidak menghargai pendapat bawahan, tidak ada program pengembangan karir, tidak ada piknik ke luar negeri dan memberikan beban kerja yang “kurang milenial”.
Ingat! Kaum milenial merupaan anak kandung work life balance, kerja seminggu libur seminggu hahaha.
Faktor penghasilan
Jangan dikira kaum milenial itu mengabdi pada uang semata. Mereka juga seperti generasi sebelumnya yang begitu takut akan dosa. Nah, selain takut azab ilahi, mereka juga takut tidak kuat menanggung godaan kalau gajinya besar.
Bukan apa-apa, godaan itu tidak harus terkait dengan halal dan haram, tetapi terkait dengan khilaf dan khilaf sekali. Baru sebulan kerja, sudah pingin piknik ke Botswana, Zimbabwe dan Uganda. Hanya untuk membuktikan kalau nenek moyang manusia modern itu berasal dari Afrika. Bagus sih, tetapi itu kan boros!
Di kesempatan berikutnya bisa saja saya sampaikan perusahaan-perusahaan startup yang sebenarnya diinginkan milenial paruh kedua yang sering kita tuduh malas dan tidak tahan banting itu. Perusahaan yang kalau mengambil untung tidak berlebihan, sayang customer seperti sayang pada pacar sendiri, keluarga sendiri, dan juga tidak perlu ngasih “rapor nafsu makan C”, hanya gara-gara kita jarang pesan makanan.
Jadi memang sudah selayaknya para sarjana milenial paruh kedua membuat perusahaan start up. Untuk apa kerja di sana kalau tidak bahagia? Tapi kan kasihan Om Nabiel, siapa nanti yang bantuin dia?