Kata Financial Planner, Merokok dan Ngopi Bikin Kita Miskin

MOJOK.COApakah dengan tidak merokok dan ngopi masalah kemiskinan teratasi? Orang bisa jadi lebih boros ketika merasa sudah sukses berhemat dalam jumlah besar.

Sahabat Celenger yang gemar menghitung pengeluaran tetapi tetap boros,

Saya tertawa tertahan saat seorang teman perempuan menceritakan pacarnya, yang menurutnya begitu boros dan tidak bertanggung jawab dengan pengeluarannya. Usia 30 tahun, pekerjaan mapan, gaji nyaris 40 juta tetapi uangnya kerap habis untuk memuliakan hobinya yang nggak jelas. Mulai dari otomotif hingga betapa keranjingannya dari kafe ke kafe. Hedon banget!

“Serius. Itu coba ngapain dibela-belain beli motor second yang harganya senilai 4 Nmax baru! Itu belum pengeluaran berantainya; ganti spare parts, belanja jaket, kacamata, helm, sepatu, dan perlengkapan tambahan yang kalau untuk beli 4 Nmax lagi kayaknya juga sisa banyak. Nah, udah disayang-sayang begitu motor lebih banyak ngejogrok di rumah dari pada jalannya. Padahal penampilan dah “Hell’s Angels” banget.”

“Belum selesai! Itu habis bulan masih aja sering pinjem. Lah emang gajiku seberapa? Itu kan artinya nombok. Kapan punya rumahnya kalau gitu caranya? Kapan nikahnya jugaa….”

Banyak orang tetap berumah tangga walau kondisi keuangannya saat single morat marit. Nggak masalah. Menikah memang untuk menyatukan dua pribadi yang ingin menjalani hidup bersama dan mengatasi semua hambatan yang ada.

Repot juga kalau menunggu uang terkumpul sejumlah tertentu baru menikah. Biasa memang yang dipikirkan orang yang mau menikah itu ongkos perayaannya, dan itu acap kali mengganjal bahkan mengakibatkan rencana pernikahan batal.

Tetapi akan jadi masalah besar kalau dua pribadi yang sudah dewasa belum mempunyai visi yang jelas dalam mewujudkan tujuan finansialnya. Apakah setelah menikah masih akan tetap mempertahankan kebiasaan boros, menghentikan, atau justru semakin menjadi? Sebenarnya boros itu relatif. Ada yang tidak dapat mengontrol pengeluarannya yang berlebih, ada juga yang boros tapi untuk sesuatu yang produktif. Nanti pembahasan akan sampai ke sana.

Entah ada kaitannya apa nggak dengan skor ujian kompetensi dasar yang meliputi membaca, matematika, dan sains (PISA test) negeri ini yang terhitung rendah, peringkat 62 dari 70 negara yang disurvei. Dalam keseharian penduduk berkode +62 masih saja kerap ditemui opini maksa yang mengukur kesejahteraan seseorang dengan “metode seandainya”.

Opini “seandainya” yang justru memaksa

Para perencana keuangan atau yang lebih beken disebut financial planner kerap menggunakan metode tersebut.

Misalnya begini. Kalian merokok, merknya A Mild isi 16 dengan harga 23.500, per hari habis satu bungkus. Seandainya tidak merokok A Mild setahun, maka kalian akan menyelamatkan uang setidaknya 8,46 juta per tahun.

Seandainya tidak ke coffeeshop selama setahun, maka kamu bisa menabung kurang lebih 18,25 juta, jika rata-rata anggaran ngopi sebesar 50 ribu per hari. Dari dua pos pengeluaran itu saja sudah hampir 27 juta dapat kita tabung.

Seandainya itu diterapkan, tidak merokok dan tidak ngopi, maka banyak hal bisa kita lakukan tiap tahun. Tiap tahun beli Nmax atau umroh. Bagaimana kalau uang tersebut diinvestasikan saja? Maka para financial planner segera akan menyajikan “metode seandainya” tersebut ke dalam beberapa ilustrasi.

Seandainya didepositokan dengan tenor 12 bulan dan bunga 5,5% maka uang kopi dan rokok tersebut di tahun berikutnya menjadi 28,3jt. Bagaimana kalau 10 tahun? Dengan asumsi harga naik “hanya” 7% per tahun saja dan jumlah konsumsi tetap, maka 10 tahun mendatang kita akan mempunya uang setidaknya 283 juta.

Itu baru deposito, di mana bunganya hampir tidak ada beda dengan tabungan. Walau bunganya lebih rendah dari inflasi, setidaknya uang kita selamat dari penggunaan yang tidak perlu.  Seandainya uang rokok dan kopi diinvestasikan ke pasar uang, saham, atau emas, Maka proyeksi pertambahan tiap tahunnya berpotensi lebih dari 10%.

Semula saya berniat menghitungkan, tetapi larikan-larikan angka yang muncul nantinya takutnya justru membuat kita terlalu jauh memikirkan uang. Hahahaha.

Seandainya, seandainya, seandainya…

Pertanyaanya, apakah kemudian benar kita akan mempunyai sejumlah uang seperti perhitungan sederhana tersebut setelah 10 tahun hanya dengan tidak merokok dan ngopi?

Mungkin saja. Cara paling sederhana tinggal cek rekening orang yang tidak merokok dan ngopi maupun yang telah memutuskan berhenti membelanjakan uangnya untuk rokok dan kopi selama bertahun-tahun.

Namun harus diingat, kita, para pelaku ekonomi ini, sebagian besar tidak punya kecakapan seperti sepeda motor dengan sistem combo break. Tekan satu rem saja sudah menghentikan putaran roda depan dan belakang secara serentak.

Tidak merokok dan ngopi lalu kemiskinan teratasi?

Kecenderungan umum yang terjadi, orang akan mengalihkan konsumsinya ke kebutuhan lainnya. Misalnya membeli “hal lain” yang sebelumnya tidak dibeli atau menambah frekuensi nonton di bioskop misalnya. Pertimbangannya sederhana saja, karena mereka merasa telah melakukan pengiritan dengan tidak merokok dan ngopi. Hal yang terjadi kemudian, mereka seperti mempunyai energi tambahan untuk menambah konsumsi.

Serius. Tidak perlu melihat orang yang mendapatkan tambahan penghasilan. Orang yang merasa berhasil memangkas pos yang dianggap boros, pada gilirannya justru menjadi pihak yang sering melakukan lompatan konsumsi. Semula sebulan belanja beras 20 kg jadi belanja 30 kg, semula lauknya tahu dan tempe sudah cukup jadi rajin beli sate kambing.

Apalagi kalau merasa piawai dalam hitungan matematika ekonomi, orang itu mendadak jadi polisi moral. Mereka kerap menyorot kelompok penghasilan rendah. Jamak terjadi mereka akan mengatakan, “Sudah penghasilannya rendah, eh separo pendapatannya untuk merokok dan ngopi di warkop. Kok nggak kasihan dengan keluarganya, sih?”

Familier sekali kan dengan pernyataan tersebut? Mereka lupa bahwa hal-hal kecil tersebut bagi mereka justru bersifat rekreatif dan di titik tertentu mendongkrak produktivitas. Ya jangan kemudian pernyataan ini dibelokkan sebagai kampanye melawan masyarakat anti-tembakau.

Stereotyping boros dan merugikan tersebut pada gilirannya juga menghantam kaum kelas menengah juga. Mereka disorot karena kebiasaannya yang suka ngopi di kedai-kedai yang terhitung mahal, di mana sekali nongkrong angkanya bisa melebihi angka yang dijadikan ilustrasi di atas.

“Nge-Bucks, yuk!” Itu artinya kita diajakin ngopi di Starbucks, bukan kok terus ngebakso di Bang Kumis, Malihhh!

Dulu kita menduga warkop waralaba tersebut mahal. Tetapi di banyak kota, tumbuh dan menjamurnya kedai yang menyediakan kopi specialty yang lebih fresh, baik rasa maupun penyajiannya menjadikan angka 50 ribu dalam ilustrasi di atas menjadi angka yang terlalu kecil untuk disebutkan. Permasalahan sekarang apakah kita kemudian akan menganggap itu sebagai beban yang memberatkan, atau pengeluaran produktif?

Bertemu dengan teman merupakan bentuk rekreasi untuk mengendurkan stres dari rutinitas. Jangan dikira orang yang mengalami stres karena pekerjaan cukup diselesaikan dengan pulang ke rumah secepat mungkin.

Kehidupan sosial yang seimbang menjadi salah satu kunci sukses dan bahagia, baik dalam dunia kerja maupun rumah tangga. Eh, pulang ke rumah pikiran sudah enteng dan siap berinterasi dengan penghuninya. Ini ngomongin keluarga ya, jangan berpikir keluarga tak kasat mata.

Juga soal manfaat berjejaring. Lumrah terjadi orang bertemu dengan sahabat maupun klien di tempat yang paling mudah: kedai kopi! Dari pertemuan-pertemuan kecil tersebut, tak jarang mendatangkan peluang atau bahkan penghasilan tambahan yang besar. Jadi memang ini masalah sudut pandang. Sekali lagi, kamu akan menganggap sebagai beban yang memberatkan, atau pengeluaran produktif?

Lha kalau semua pengeluaran yang sifatnya pemborosan dianggap tidak berguna, dan semua saran memberatkan kita biarkan saja. Lama-lama hidup kita akan dijajah financial planner.

“Mas dan Mbak sudah kerja 10 tahun belum punya rumah kan, masih ngontrak padahal sudah punya anak dua? Sudah nggak merokok dan ngopi juga kan? Sekarang coba jangan makan nasi dan lauk. Mulai besok makan pepaya saja ya, saya yakin kalian bisa!”

“Jelas bisa dong. Jangan kuatir, Mas Finplan. Kita itu aslinya memang berevolusi dari Beo kok…”

Eh tapi serius, berubah dari makan nasi ke makan pepaya itu masalah gampang, orang dapat informasi kalau 3 butir nastar sama dengan sepiring penuh nasi pun kita telan.

Exit mobile version