Perasaan Saya ketika Dianggap Polisi Bahasa alias Grammar Nazi

tidak punya hobi hobby pengertian hobi macam-macam hobi memasak sepeda brompton mojok.co

tidak punya hobi hobby pengertian hobi macam-macam hobi memasak sepeda brompton mojok.co

Beberapa hari setelah rubrik Versus ini tayang perdana, Mas Puthut menunjuk saya jadi pemimpin redaksi. Kalau orang kira itu berkah, bagi saya ini tanda-tanda bakal pegel boyok dua hari sekali. Di Mojok jadi redaktur enak, setor naskah, kelar. Jadi pemred, bangun paling pagi, tidur paling malam, Bung.

Ini bukan mengeluh lho ya. Nanti ada yang lapor Ivan Lanin lagi seperti ketika saya menulis ini. Dikira saya mengeluhkan pekerjaan editor. Uda Ivan nasihatnya sudah benar, ya kudu sabar. Ya saya sabar tho, masih kerja jadi editor. Kalau nggak sabar, saya sudah pulang kampung dan jualan soto. Itu usul ibu saya waktu kuliah saya sudah masuk semester 12 dan belum ada tanda-tanda akan lulus.

Justru kalau saya mengenang masa lalu, saya bersyukur ada orang yang percaya saya bisa jadi pemimpin. Tepat bulan ini saya satu tahun jadi kru Mojok, dan sayalah orang yang untuk jadi pemred di sini harus melalui jalan makadam. Kerasss dan bergelombang.

Arlian Buana itu begitu masuk Mojok langsung jadi pemred. Eddward S. Kennedy cuma butuh setengah tahun. Agus Mulyadi atau Aditya Rizky sih memang nggak minat: Agus sibuk syuting karena honornya lebih besar dan memang dia hanya sibuk mengejar harta, harta, dan harta, sedangkan Kak Adit malah lebih asyik jadi dosen dan membesarkan toko online Mojok Store.

Saya? Begitu masuk tahun lalu karena Edo yang waktu itu pemred memutuskan hijrah ke Jakarta untuk (((membina))) Kumparan.com, praktis redaksi Mojok tinggal saya dan Agus. Di saat yang sama Mas Puthut kasih pengumuman: mulai sekarang nggak ada jabatan pemred di Mojok. Empat bulan kerja, Mojok diumumkan akan tutup. Eh, pas buka lagi, Kak Arli kembali ke Mojok dan langsung jadi pemred. Begitu masa jabatannya habis, Arman Dhani datang dan jadi plt. pemred. Saya hitung, butuh sebelas bulan jadi kru Mojok agar semua kekuasaan itu jatuh ke tangan saya juga. *Tertawa  seperti Leily Sagita*

Bagaimana semua kisah itu kemudian berhubungan dengan polisi bahasa dan grammar nazi di judul tadi bermula dari rapat perdana selepas saya tambah kerjaan naik pangkat.

Selain penyuntingan isi, saya lumayan cerewet di persoalan tata bahasa. Terutama kalau lagi mood. Ya maklum, pekerjaan sambilan saya proofreader alias penyelia bahasa. Itu pekerjaan di penerbitan yang mana seseorang membaca dan mengoreksi salah tik, sederhananya demikian.

Bertahun-tahun menggeluti profesi itu otomatis bikin mata saya jadi kayak detektor salah tik sekaligus tambah minus 1,5. Halah, jangankan salah tik, spasi dobel di buku atau di web saja saya bisa tahu kok. Bahkan kadang, ketika lagi naik motor dan tertahan di lampu merah cukup lama, hiburan selingan saya adalah mengoreksi bahasa-bahasa aneh di baliho-baliho perempatan.

Buat dunia kami para korektor, mencapai skill detektor tentu adalah suatu kebanggaan. Di level dewa, seseorang bahkan bisa mengoreksi dua ratus halaman naskah dalam sehari. Kamu baca buku sehari kuat berapa halaman? Ini ngoreksi lho. Dijamin, proofing tools di MS Word aja bakal minder.

Buat orang yang suka ngoreksi, pekerjaan kayak gini menyenangkan. Bahagia rasanya melihat naskah yang tadinya amburadul, kadang spasinya nggak ada, kadang huruf kapitalnya nggak konsisten, atau penulisnya suka lupa pedoman dasar bikin kalimat adalah ada subjek dan predikat, bisa jadi lebih bersih dan enak dibaca. Tapi, buat yang nggak suka? N E R A K A. Dan golongan semacam ini yang selalu menyederhanakan orang dengan keahlian rumit hasil dari menekuni EYD, EBI, kamus, buku sintaksis, dan makalah morfologi ini sebagai “orang yang suka mencari-cari kesalahan”.

Inilah hidden agenda saya di Mojok, terutama ketika kekuasaan sudah di tangan. Situs web luar negeri tingkat salah tiknya bisa kayak DP rumah OKE-OCE alias nol persen, kenapa situs Indonesia nggak?

Dalam rangka agenda itu, di rapat perdana saya ngomyang soal salah tik. Redaktur, omeli. Pengelola medsos, omeli. Sutradara Movi, omeli. Betapa aktifnya saya mengomel hari itu bikin saya terkagum-kagum pada diri sendiri sekaligus sadar, wow, saya punya bakat jadi wali kota Surabaya.

Namun, anak-anak kantor punya pembalasan cara mereka. Sehari kemudian tahu-tahu anak-anak kantor bikin status di Facebook, bikin bercandaan yang topiknya soal saya ngomel tentang salah tik. Tiga hari kemudian, saya ditodong ikut syuting Movi. Temanya? Saya jadi polisi bahasa yang songong dan menyebalkan. Fak, ini namanya menjatuhkan citra saya sebagai wanita lemah lembut yang disayangi teman dan calon mertua.

Gara-gara video Movi itu, saya jadi objek perundungan di obrolan bersama teman maupun di grup WhatsApp. “Hati-hati ngetik chat di sini,” tulis seorang teman, “ada polisi bahasa.”

Jangkrik.

Sampai hari ini perundungan itu terus berlangsung. Perasaan saya? Senang-senang aja. Justru bagus kan? Pertama, saya tahu kelak mereka yang pernah saya cereweti akan berterima kasih kepada saya karena mereka justru terlatih jadi teliti. Kedua, misal mereka ada proyek editing buku, kelas tata bahasa, atau seminar bahasa Indonesia, mereka pasti ingat saya. Mereka aja yang nggak sadar, sebenarnya ini hidden agenda saya untuk mempromosikan bahwa editor dan proofreader itu mahapenting. Poin bahwa apakah benar saya polisi bahasa atau grammar nazi, itu urusan belakangan.

Kalau di dunia bisnis, ini namanya marketing tingkat tinggi.

Kuis: Ada yang bisa menemukan spasi ganda di tulisan ini?

Exit mobile version