Tepatkah Ungkapan “Namanya Juga Anak-Anak” yang Kerap Disuarakan?

Namanya-juga-bocah-MOJOK.CO

MOJOK.CO Ramainya reaksi netizen terkait video viral yang menampilkan kecelakaan anak saat bermain di playground dan diikuti aksi tendang oleh orang tua mendorong banyak orang untuk berpikir lebih keras. Sebenarnya, salah siapa ini? Apakah tepat jika kita hanya berujar, “Namanya juga anak-anak”?

Sejak beberapa hari belakangan, sebuah video viral beredar di lini masa beberapa media sosial. Dalam video ini, tampak seorang anak laki-laki sedang bermain ayunan di sebuah playground. Sialnya, seorang anak perempuan melintas di belakangnya, tersenggol ayunan, hingga jatuh terpental.

Yang menjadikan video ini bertambah ramai dikomentari banyak orang adalah kemunculan bapak si anak perempuan yang lantas menendang bocah laki-laki tadi. Kejadian ini diikuti dengan kemarahan orang tua anak laki-laki kepada si bapak.

Hadeh, ribet banget, ya, jelasinnya? Ya, gitu lah, ya, pokoknya.

Reaksi bapak dari anak perempuan dalam video ini langsung mendulang reaksi. Kisruh love-hate netizen pada tindakan bapak ini pun dimulai. Sebagian besar netizen meyakini bahwa tindakan kekerasan tidak bisa dibetulkan, sekali pun si anak melakukan kesalahan. Di lain sisi, tak sedikit pula yang mencoba memahami reaksi refleks dari seorang bapak yang melihat anaknya terluka.

Ridwan C’bungsu: Sebuah perbuatan si bapak itu g patut di conto apalagi diarena tmpat bermain anak ,no kekerasan pak inget kita negara hukum ada undang” nya ..

Anita Ramlie: Padahal yg ditendang jg ga paham ada apa. Orang lg asik main ayunan tau2 ditendang. Mana dia liat sih di belakangnya ada siapa.

Angkling Aji Pangestu: Mungkin bapaknya itu reflek liat anak nya lagi posisi kayak gitu.. yang penting sama” kepala dingin , juga harus tetep di awasi anak nya

Namun, terlepas dari benar atau tidaknya tindakan bapak tadi, sesungguhnya ada pelajaran besar yang bisa kita amati bersama. Tanpa bermaksud menyudutkan maupun membela pihak manapun, merupakan kewajiban kita para orang tualah segala tindak-tanduk anak kita, khususnya di tempat umum. Sayangnya, atas segala tindakan anak yang sekiranya merugikan pihak lain, kita cenderung terbiasa untuk berkata, “Namanya juga anak-anak.”

Sebelum muncul kasus di atas, sebuah thread khusus di media sosial pernah ramai membahas perihal kebiasaan orang dewasa meyakini kalimat “Namanya juga anak-anak” yang sesungguhnya kurang tepat. Kini, munculnya kasus penendangan anak di playground pun mendorong seorang netizen, Fissilmi Hamida, untuk menyuarakan pendapatnya yang serupa.

Berikut cuplikan tulisannya:

Pernahkah kalian menemui orang tua yang cuek dan sibuk bermain HP saat anaknya bermain di playground? Aku sering. Terlalu sering. Padahal para orang tua ini tahu pasti bahwa anaknya pecicilan, petakilan, kasar, suka bermain ekstrim, dan suka memukul orang. Padahal, orang tua ini jelas tahu bahwa anak mereka masih sangat kecil dan sangat butuh pengawasan. Atau kalian salah satu dari orang tua yang begini?

Di sebuah playground di sebuah mall, Zi pernah menangis karena dilempar memakai mobil mainan (bukan mobil kecil, tapi mobil yang bisa dinaiki itu) oleh seorang anak yang usianya sekitar 7 tahunan. Padahal aku sudah mengawasi Zi dan memintanya jauh-jauh dari anak itu. Tapi tiba-tiba saja si anak dengan begitu cepat melukai Zi.

Sigap, aku tegur anak itu karena Zi sampai membiru. Tapi anak ini justru berkata kasar. Kalau saja bukan anak-anak, ingin sekali aku memukuli anak ini. Aku datangi ibu si anak yang sedang sibuk bermain HP. Tanggapannya? Tidak ada permintaan maaf. Dengan tetap sibuk bermain HP, si ibu hanya bilang “ya wajar lah, Mbak. Namanya juga anak-anak.”

Kesal, aku protes ke penjaga hingga akhirnya si anak ini diminta keluar dari playground karena memang tingkahnya membahayakan anak lainnya. Walaupun sempat terjadi adu mulut dengan ibu si anak yang tidak terima.

Baca tulisan lengkapnya di sini:

Melalui tulisannya, Fissilmi menekankan hal-hal yang seharusnya menjadi pembelajaran semua orang: pentingnya mengawasi anak saat bermain, khususnya di tempat umum, diikuti dengan kesigapan diri untuk memberi arahan, nasihat, dan teguran pada anak jika diperlukan. Tak lupa, ia juga menyoroti playground di beberapa tempat yang masih menyediakan beberapa mainan yang berpotensi bahaya dan tidak disertai dengan pemisahan area anak berdasarkan umur.

Kami yakin, tidak ada orang tua di dunia ini yang akan rela melihat anaknya sakit dan terluka. Namun demikian, membimbing anak pun menjadi agenda nomor satu bagi para orang tua, baik pada hal-hal terpuji yang ia lakukan maupun pada upaya meluruskan kesalahan-kesalahan yang tidak sengaja ia lakukan.

Bagi anak-anak, orang tualah pihak yang dapat diandalkannya. Kalau sekali saja kita melibatkan kekerasan dan emosi tidak terarah di dalamnya, yakinkah kita bahwa mereka akan tetap baik-baik saja?

Exit mobile version