Angkatan Udara yang Minta Film G 30 S PKI Dihentikan, Panglima TNI Lupa?

Entah bagaimana menggambarkan kekecewaan aktivis HAM kepada Jokowi. Alih-alih menepati janji kampanyenya dengan menyelesaikan kasus Munir yang dokumen TPF-nya diklaim hilang di Sekretariat Negara, kasus penghilangan orang 1998, dan genosida ’65, pernyataannya setengah tahun ini justru membuat putus asa.

Yang terbaru adalah responsnya soal pemutaran film PKI. Wacana ini dimulai sejak minggu lalu ketika datang edaran dari Mabes TNI agar markas TNI di daerah memfasilitasi pemutaran film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI, film jadul yang jadi horor anak-anak ’80 hingga ’90-an.

“Perintah saya, mau apa memangnya? Yang bisa melarang saya hanya pemerintah,” kata Panglima TNI Gatot Nurmantyo dua hari kemarin saat ziarah ke makam Bung Karno. FYI, dua tahun lalu FPI sudah duluan bikin nobar film ini di Cawang, Jakarta Timur.

Bukannya melarang, di hari yang sama Presiden Jokowi justru bilang agar film itu dibuat “versi milenialnya”. Pernyataan Presiden itu dibalas lagi oleh Panglima TNI. “Ide yang luar biasa.”

Netizen, seperti biasa, selalu punya cara untuk menertawakan kekonyolan pemerintah. Misalnya dengan usul agar film itu dibintangi Reza Rahadian, aktor serbabisa yang lagi terkenal-terkenalnya. Biar sekalian Reza yang jadi semua tokoh di film itu. Pasti bisa. Pasti laku.

Berikut tanggapan beragam netizen soal ide membuat film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI versi milenial tersebut.

***

Do Ro: Beberapa catatan lain tentang film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI.

1. Selain sudah cukup lama terbongkar bahwa isinya fiktif, harus diakui secara sinematik film ini cukup baik karena menggandeng banyak seniman teater dan film tenar era 1970—1980-an (Arifin C. Noer, Embie C. Noer, Agus Jolly, Barkah, dll.). Bisa dikatakan ini proyek kesenian termahal yang pernah disponsori pemerintah Orde Baru. Biaya produksi konon 2 miliar (ada juga yang menyebur 800 juta). Untuk tahun 1982 sudah termasuk big project dan mungkin film termahal dengan setting properti artistik yang mahal dan dibuat semirip mungkin dengan setting 1965. Meski ada yang “bolong” juga, misalnya Aidit ternyata tidak merokok sedangkan di film ini digambarkan perokok berat.

2. Box office. Demikian istilah yang kerap digunakan dalam dunia perfilman yang juga terjadi pada film ini. Sayangnya, box office bukan terjadi secara alamiah layaknya film lain yang memang membuat banyak penonton rela keluar rumah/kantor, rela beli tiket dan pergi ke bioskop (seperti yang terjadi pada film-film Warkop DKI, Nya’ Abbas Akup, Suzzanna, dll.), melainkan ada aturan wajib tonton dari pemerintah ke setiap SD hingga SMA negeri/swasta. Jadi, kala itu pihak sekolah mengajak siswanya ke bioskop terdekat, booking waktu tertentu sehabis jam sekolah (dulu rata-rata sekolah berakhir pukul 12), kemudian dilanjutkan dengan pemutaran wajib tiap 30 September di TVRI, stasiun televisi satu-satunya kala itu.

3. Jauh sebelum film ini, Janur Kuning dan beberapa film sejarah perang gerilya Indonesia lainnya juga wajib ditonton pelajar SD sampai SMA era 1980-an. Caranya pun mirip, yaitu koordinasi dengan pihak sekolah untuk nonton di bioskop.

4. Dirilis 1983, menjadi box office terlama yang ditayangkan bioskop. Sampai dibuat sekuelnya, yakni Operasi Trisula dan Djakarta 1966. Beberapa aktor seperti Umar Kayam sebagai Sukarno dan Amoroso Katamsi sebagai Soeharto masih terlibat. Untuk film lanjutannya ini, daftar lengkap bisa dicek di Katalog Film Indonesia 1926—1995 Ensiklopedi Film Nasional yang disusun pengamat film J. B. Kristanto.

5. Semasa film ini tayang di bioskop, pemerintah juga sudah memikirkan “movie tie-in” atau produk lainnya yang berkaitan dengan film ini. Salah satunya novelisasi film, ditulis sastrawan kondang kala itu, Arswendo Atmowiloto, yang waktu itu bekerja sebagai redaktur di majalah HAI. Novelnya diterbitkan Sinar Harapan tahun 1986. Pemilihan nama penulis novelnya pasti punya alasan sama dengan pemilihan kru filmnya, yaitu Arswendo menjadi “jaminan mutu” novel yang laris era 1980.

Amin Mudzakkir: Harap diingat dulu yang meminta film G30S/PKI tidak lagi ditayangkan adalah Angkatan Udara. Panglima TNI sekarang melupakannya?

AE Priyono: Bisa jadi para sineas milenial akan membuang judul “G30S/PKI” lalu menggantinya dengan “G30S/TNI”. Mau apa?

Iqbal Aji Daryono: Jangankan bikin film tema ’65 yang tidak hitam putih dan menyajikan kedua belah pihak sebagai manusia-manusia yang tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah, lha wong bikin film cerita dengan tokoh pak polisi sebagai antagonis korup saja belum pada berani kok ….

Agus Mulyadi: Dibilangin lho, film G 30 S kalau mau dibikin milenial, itu adegan Aidit ngerokok diganti jadi Aidit ngevape, trus nanti asepnya bentuk lingkaran-lingkaran besar kecil yang saling tumpang tindih gitu …. Jelas milenial, artsy apalagi. Kalau perlu, bikin kantor PKI merangkap vape store. “Komunisma Vape Store, buka 24 jam, rasakan sensasi asap-asap penindasan.”

Iqbal Aji Daryono (lagi): Saya heran kenapa adegan Aidit merokok dianggap fitnah kepada Aidit (yang di kehidupan nyata tidak merokok itu)? Kebalik to ya! Itu fitnah kepada rokok! Mentang-mentang tokoh antagonis, terus biar lengkap jahatnya maka harus merokok. Wuuuuuu! Itulah bukti bahwa kaum antirokok adalah antek-antek Orba. Hoahahahaha!!! :p

Purnomo Trilaksono: Saya hanya akan menonton film G 30 S PKI kalau udah keluar yang kualitas full HD!

 

Exit mobile version