Saya baru nonton film pemenang Police Movie Festival 2017 yang berjudul Kau Adalah Aku yang Lain karya Anto Galon. Film ini memang lagi kontroversial dan jadi topik diskusi di antara teman-teman fesbuk saya. Sebabnya, film ini disinyalir menyudutkan umat Islam, rumah sakit, dan—bahkan!—polisi. Teman-teman saya pada nanya, “Film gitu kok malah dimenangkan ya?”
Tema Police Movie Festival 2017 kali ini adalah unity in diversity. Yang dicari film-film dengan tema persatuan dalam keragaman dengan mengedepankan citra kepolisian. Gampangnya, film yang dibuat harus ada polisinya. Semacam Bhineka Tunggal Ika-ic police story gitu.
Lepas dari polemiknya, banyak yang bilang film ini adegan-adegannya ganjil. Pertama, saat adegan Pak Polisi bawa anaknya berobat. Sudah tahu anaknya sakit gawat, kok malah antre di puskesmas? Kenapa nggak langsung ke UGD? Tambah lagi satpam puskesmas bukannya ngasih saran, “Pak, kalau kondisi anaknya gawat, langsung aja ke UGD. Nggak perlu antre,” malah cuma ngomong, “Maaf, ini sudah peraturan.” Denger kata-kata kayak gitu kan malah bikin sakitnya jadi dobel.
Kedua, di adegan ambulans terhalang pengajian dan seorang jamaah gondrong bertampang Mad Dog menolak membuka blokade. Dilihat dari suasana pengajiannya, tampaknya bukan pengajian garis keras karena ada tarian sufi ala Rumi. Film ini juga ditutup dengan ustadz pemimpin pengajian tersebut menyampaikan pesan toleransi. Maka, janggal rasanya di pengajian yang demikian terdapat jamaah yang tengil kayak Mbah Mad Dog itu.
Islam garis keras bukannya anti sama acara sufi-sufian yang nari-nari gitu ya? Atau jangan-jangan Mbah “Mad Dog” tadi sebenarnya bukan jamaah atau panitia acara itu? Jangan-jangan panitia pengajiannya juga nggak kenal dia? Hadeh~
Berkaca dari kontroversi tersebut, izinkanlah saya yang sebagai filmmaker handmade pedesaan ini berbagi tips bikin film yang tidak rentan boikot karena dituduh menyudutkan “Islam”.
Hindari Genre Religius
Film berisi dakwah belum tentu bisa diterima umat Islam juga lo. Lebih aman bikin film laga, sepanjang tidak berlatar Majapahit. Kenapa? Selain kostumnya rentan kena blur sensor, belakangan sejarah Majapahit sedang di titik kritis. Nanti muncul lagi debat, Gaj Ahmada itu muslim atau bukan.
Bikinlah film laga yang kekinian kayak The Raid. Eh, tapi harus hati-hati juga sih. Di The Raid Redemption ada adegan orang habis salat terus berangkat bunuh orang. Ya memang, yang dibunuh penjahat semua sih … tapi jaga-jagalah daripada bikin salah paham.
Juga jangan bikin film bergenre horor yang setannya nggak mempan dibacain Ayat Kursi. Lebih baik menciptakan karakter ustadz yang mampu ngalahin hantu pemakan sate. Jangan lupa, masukin khotbah sebelum ending. Karakter ustadznya Habib Rizieq juga boleh. Jadi gampang malah, nggak perlu Ayat Kursi lagi, setannya udah lari lihat FPI. Takut dipersekusi.
Hindari Film Monster atau Kaiju
Jangan bikin film model Ultraman dan Godzilla. Mereka ini kalau perang, gedung aja rubuh, apalagi masjid dan musala. Gawat kan kalau perangnya sampai ke Arab, terus dekat-dekat Kakbah. Okelah, Ultraman perang di Arab nggak apa-apa, tapi di gurun pasir aja. Eh, tapi nanti malah nggak selesai-selesai ding. Soalnya Amerika dan Iran ikut turun tangan. Terus kita di Indonesia jadi perang juga. Di medsos.
Apa? Harus banget ada monsternya? Baiklah … monster kadal aja ya. Kayak Godzilla gitu. Jangan unta. Nanti dituduh menista binatang islami.
Hindari Antagonis Berjenggot dan Bersorban
Berjenggot nggak apa-apa, tapi kudu ditambahin tato. Kasih sorban nggak apa-apa, tapi dikasih lampu wasiat sekalian biar dikira sekuel Jin dan Jun. (Dadah dulu ke si Jun dan biro travel umrahnya).
Juga jangan pakai karakter LGBT dan putri duyung. Nanti diboikot kayak Starbucks. Apalagi LBGT Syiah Liberal Marxis. Waduh. Bikin karakter yang aman-aman ajalah, kayak Unyil misalnya. Pakai kopiah dan sarung walau agak jail. Tapi jangan bikin yang macam Upin dan Ipin, itu Malaysia punya. Nanti perang klaim hak cipta lagi malah capek.
Hindari Simbol Kontroversial
Jangan memasang simbol-simbol yang bakal memicu kemarahan umat. Palu arit misalnya. Implikasinya, kalau ada adegan yang perlu ngesyut duit seratus ribu, ya jangan di-close-up. Atau ganti kartu debit. Negara komunis kayak Rusia, Tiongkok, Vietnam, atau Korea Utara juga jangan sampai masuk list lokasi syuting. Kali aja situ iseng kan, bikin Jilbab Traveler 2: Love Sparks in North Korea. Ribet, palu arit nongol di mana-mana. Dan untuk Tiongkok, selain komunis dia juga aseng. Dobel kafirnya.
Ya kalau kepaksa mau nggak mau harus ke Tiongkok kayak Haji Backpacker, tolong sisipkan angka 212. Tiga angka ini sakti banget sekarang. Saya aja curiga Wiro Sableng yang mau dilayarlebarkan sama Angga Dwimas Sasongko itu film islami. Tapi, mungkin filmnya bakal bikin polemik karena 212-nya dijadiin tato di dada.
Selektif Memilih Aktor/Aktris
Kalau karakternya seorang muslimah ya jangan pakai Gal Gadot. Selain doi Yahudi, emang situ mampu bayar? Paling aman sih meng-casting muslimah lokal aja, seperti Mbak Jum. Sayangnya dia tidak terkenal. Saya juga nggak tahu dia siapa.
Hindari Animasi
Bagi Islam garis keras jelas animasi itu dosa. Menggambar makhluk bernyawa saja nggak boleh, apalagi dihidupkan dalam film.
Memang sih, banyak juga muslim yang nggak masalah sama animasi selama bukan hentai dan nggak disembah. Amannya, jangan bikin film yang isinya dewa-dewa kayak Saint Seiya, Thor, dan lain-lain. Bikin aja yang karakternya bukan makhluk hidup seperti Transformer. Transformer kan robot kaleng, benda mati, yang dengan seizin Allah, mereka kena Allspark lalu hidup. Allspark jelas bukan roh.
Tapi kalau bikin film robot kayak Transformer, tetap nggak boleh muncul tokoh manusia ya. Dan adegan perangnya Autobot versus Decepticon jangan sekali-sekali sampai ngerusak masjid.
Gitu aja tipsnya. Saya sarankan, sebelum mulai syuting, konsultasi dulu dengan MUI. Kalau dapat lampu hijau, pasang logo halal di opening credit. Kalau mau bikin film laris, sejak script development Anda sudah harus bikin naskah yang hebat. Coba minta tolong Jonru. Jangan salah lo, dia penulis fiksi yang hebat.