MOJOK.CO – Dari Desa Panggungharjo, Bantul, para santri mempelajari ilmu pengelolaan sampah. Semua dilakukan demi mewujudkan kemandirian ponpes agar terbebas dan tidak membebani lingkungan sekitar dengan sampah.
Sudah sejak lama pengelolaan sampah menjadi fokus utama warga Desa Panggungharjo. Salah satunya dibuktikan dengan pendirian Kelompok Usaha Pengelolaan Sampah (KUPAS) pada 2013. Maka ketika Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan ditutup sementara, mereka tidak kalang kabut.
Kemandirian ini kemudian mereka tularkan kepada pesantren-pesantren dari berbagai daerah melalui program bertajuk “Pesantren EMAS (Ekosistem Madani Atasi Sampah)”.
Pesantren Emas, siasat PWNU DIY atasi sampah
Pesantren Emas sendiri merupakan program inkubasi pendidikan pengelolaan sampah yang digagas Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta (PWNU DIY) di 12 pesantren di Jawa Tengah dan DIY. Beberapa di antaranya ialah Ponpes Daarul Qur’an Wonosari, Ponpes Jambu Cirebon, dan Ponpes Kempek Cirebon. Program ini berlangsung pada 3-31 Juli 2023.
Selama sebulan, 40 peserta yang merupakan pengurus pesantren diberikan materi dasar seputar pengelolaan sampah dan observasi lapangan di Desa Panggungharjo dan pesantren mitra. Setelah itu, barulah mereka diminta membuat perencanaan pengelolaan sampah di masing-masing pesantrennya.
Program ini dipimpin oleh Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta yang bekerja sama dengan KUPAS (Kelompok Usaha Pengelola Sampah) Desa Panggungharjo, Yayasan Fahmina Cirebon, serta PT. Pegadaian.
Pesantren, salah satu penghasil sampah yang banyak
Tidak bisa dimungkiri bahwa pesantren merupakan salah satu tempat yang mengasilkan sampah dengan volume yang banyak terutama sampah sisa-sisa dapur dari pengolahan makanan santri.
Wahyudi Anggoro Hadi, Lurah Panggungharjo, menulis dalam bukunya, Satu Bumi, bahwa sampah di daerahnya besar kemungkinan berasal dari selain warga tetap, yakni mahasiswa dan santri. Di Panggungharjo sendiri ada 3.600 santri yang bermukim di sana.
Fakta lapangan di Desa Babakan Cirebon unik lagi. Ada situasi di mana jumlah santri lebih banyak dari penduduk desa. Ketua Kebersihan Pesantren Kebon Jambu Cirebon Ahmad Rifa’i (21) mengonfirmasi hal tersebut.
“Sampai 2.000 kalau ditotal putra-putri,” kata Rifa’i.
Masih di Cirebon, situasi yang sama juga terjadi pada Pesantren Khas Kempek yang dihuni 7.000 santri. “Desa Kempek pasti sepi kalau santri sedang liburan,” tutur Arfan Maulana (20), salah satu ketua asrama di pesantren tersebut.
Pemilahan sampah dan mengurangi penggunaan plastik jadi kunci
Sejak dulu, Arfan sudah resah dengan persoalan sampah di pesantrennya. Sebab, penampungan sampah di dekat lapangan olahraga pesantrennya sering menumpuk. Namun, setelah tim kebersihannya berkunjung ke Desa Pnggungharjo pada 2022 silam, masalah sampah berangsur-angsur bisa teratasi meski masih jauh dari kata sempurna.
“Sudah dipilah, namun belum konsisten. Ada gedung yang belum menyediakan kotak sampah terpisah sehingga pemilahan di tingkat kamar menjadi sia-sia,” ungkapnya.
Salah satu solusi mengatasi sampah yang ia dapat ialah dengan mengurangi penggunaan plastik. Ilmu mereduksi sampah plastik ini ia dapatkan di pesantren Darul Qur’an Wonosari yang ia tinggali selama seminggu.
“Mereka tidak menggunakan uang tunai melainkan kartu elektronik terbitan pesantren sehingga sedikit mengurangi jajan di luar yang sulit dikontrol penggunaan plastiknya,” tutur Rifa’i.
Kebijakan konkret dari pengurus Ponpes jauh lebih penting dari sekadar infrastruktur
Meski demikian, ia masih melihat ada kekurangan di pengelolaan sampah Pesantren Darul Qur’an Wonosari. Pengelolaan sampah di pesantren tersebut kurang terorganisir pengelolaannya. Padahal, secara infrastruktur pesantren tersebut sudah memadai, salah satu ukurannya ialah mereka sudah memiliki mesin cacah untuk botol plastik.
“Sayangnya, sampai sekarang mereka belum sekalipun menjual hasil sampah tercacah,” katanya, lalu memastikan bahwa pesantrennya mesti siap secara manajerial sebelum alat-alat didatangkan.
Menurut kedua pengurus pesantren ini, pengelolaan sampah bukan hanya soal alat-alat. Arfan misalnya, menganggap bahwa pengelolaan sampah butuh kebijakan yang konkret dari pemilik pondok pesantren yakni kyai dan nyai pengasuh.
Baginya, target akhir berupa melepaskan ketergantungan pada layanan Dinas Lingkungan Hidup perlu rencana jangka panjang yang dirancang dari level pengasuh.
Rifa’i pun demikian, menekankan pentingnya sosialisasi langsung oleh pengasuh. “Kalau Tim Kebersihan yang sosialisasi melulu, satu kepengurusan akan habis hanya untuk menghimbau. Lain cerita bila dari pengasuh langsung, pasti nurut semua santrinya,” cetus santri yang sejak OSIS MTs selalu jadi bagian kebersihan ini.
Penulis: Dhias Nauvaly
Editor: Iradat Ungkai