MOJOK.CO – Stasiun Ngabean, bangunan mangkrak yang terletak di kawasan Terminal Ngabean, ternyata menyimpan nilai sejarah. Stasiun kecil ini pernah dilewati oleh Kereta Api (KA) jenazah Sri Susuhunan Pakubuwono X.
Kalau cermat, kalian akan melihat bangunan tua di sisi selatan kompleks Terminal Ngabean. Bangunan yang dicat putih-biru itu adalah Stasiun Ngabean, stasiun bikinan Belanda yang aktif digunakan sejak 1895 hingga 1980-an.
Stasiun Ngabean terakhir melayani penumpang Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) atau yang sekarang disebut dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI) pada 1973. PJKA memutuskan untuk menutup layanan stasiun itu karena moda transportasi kereta kalah saing dengan transportasi darat lain seperti mobil dan bus. Namun, stasiun itu masih terpakai untuk angkutan tebu pabrik Gula Madukismo hingga 1980-an.
Secara fisik bangunan ini sebenarnya masih terlihat kokoh. Plat nama stasiun bertuliskan “Ngabean”, lengkap dengan keterangan ketinggian stasiun “+100 m” masih terpampang jelas di salah satu dinding. Di sekitar bangunan stasiun itu juga masih terdapat tiang sinyal keluar dan masuk kereta api, bekas wesel, dan sisa batang rel kereta api lengkap dengan bantalannya.
Menyimpan Sejarah
Tidak sekadar bangunan mangkrak, Stasiun Ngabean menyimpan cerita sejarah berharga. Dilansir dari Susur Rel 2015 Kompas, stasiun ini pernah dilewati oleh KA jenazah Raja Kasunanan Surakarta Sri Susuhunan Pakubuwono X yang menuju tempat pemakaman Raja-raja Mataram di Imogiri, Bantul.
KA jenazah itu dipesan dan dirancang khusus oleh Pakubuwono X sejak 1909. Ia memesan ke perusahaan Belanda bernama Werkspoor. Kereta itu selesai dibuat pada tahun 1914 dan dibawa ke Hindia-Belanda pada tahun 1915. Sepanjang keberadaannya di Hindia-Belanda, KA jenazah itu baru digunakan satu kali yakni untuk mengantar jenazah Pakubuwono menuju pemakamannya di Imogiri.
Pakubuwono X yang tutup usia pada 1 Februari 1939 itu bukanlah sosok yang sembarangan. Ia dinilai berhasil mempersatukan trah kerajaan Mataram yang terpecah menjadi Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta sejak 1755. Ia juga banyak berperan di balik layar dalam mendukung pergerakan nasional memperjuangkan kemerdekaan. Termasuk, mendukung pendirian organisasi Serikat Dagang Islam di Surakarta pada 1905.
Pakubuwono X juga dikenal menjadi pendorong modernisasi di Jawa. Pada masanya ia sudah menciptakan sistem kredit rumah bagi warga kurang mampu. Fasilitas publik seperti pasar, stasiun kereta, rumah sakit, dan sekolah masif didirikan di masa kepemimpinannya yang selama 46 tahun. Pasar Klewer dan Stasiun Solo Balapan adalah salah satu warisannya.
Reaktivasi yang hampir mustahil
Sempat ada harapan untuk mengaktifkan kembali jalur-jalur kereta api dan stasiun lama yang ada di Yogyakarta. Mengingat jalur-jalur itu memiliki nilai sejarah dan bisa menjadi daya tarik wisata. Namun, harapan itu sepertinya sulit terwujud. Apalagi sebagian besar jalur kereta api itu sudah tidak tampak jejaknya.
Asal tahu saja, rel dari Stasiun Tugu ke Stasiun Ngabean bercabang ke dua arah yakni ke Brosot dan Pundong. Kedua jalur sama-sama dibangun oleh perusahaan swasta Hindia Belanda, Nederland Indische Spoorweg Maatschappij (NISM),
Sayangnya, jalur rel Ngabean-Pundong ini tidak meninggalkan banyak bekas. Pada 1943-1944, Jepang membongkar rel jalur sepanjang 27 km untuk dikirim ke Burma. Pada saat itu Jepang membutuhkannya untuk pembangunan jalur kereta api di Burma. Secara total, kurang lebih ada 901 km rel kereta api dari Indonesia yang diangkut ke sana.
Kejadian itu membuat jalur kereta sulit dikenali. Belum lagi jalurnya telah berubah menjadi lahan sawah atau jalan. Hanya ada beberapa tanda yang masih bisa dikenali, seperti pondasi jembatan rel kereta api di dekat Ring Road Selatan Yogyakarta. Tepatnya di Jalan Ngipik Raya, Karanglo, Banguntapan, Bantul. Selain itu ada beberapa jejak jembatan bekas rel kereta api ke Pundong. Salah satunya, jembatan di Kali Bulus, Desa Paten, Kelurahan Sumber Agung, Kecamatan Jetis, Bantul, yang masih tampak pondasi kunonya.
Sementara jalur KA ke arah ke Sewugalur kondisinya lebih baik. Melacaknya hingga Stasiun Palbapang Bantul relatif tidak lebih sulit walau memang sebagian besar sudah terpendam di tanah.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Purnawan Setyo Adi