Mengenang Djoko Pekik Lewat Karya, dari Lukisan Berburu Celeng hingga Stasiun Ngabean

Mengenang Djoko Pekik Lewat Karya, dari Lukisan Berburu Celeng hingga Stasiun Ngabean mojok.co

Lukisan karya Djoko Pekik (Foto: IG/platarandjokopekik)

MOJOK.CO Djoko Pekik meninggal dunia pagi tadi pukul 8 di RS Panti Rapih Yogyakarta. Maestro lukis Indonesia ini meninggalkan sejumlah karya yang sarat akan perjuangan rakyat dan keberpihakan terhadap buruh.

Djoko Pekik lahir di Grobogan, Jawa Tengah pada 2 Januari 1937. Sejak kecil ia sudah mencintai dunia seni, terutama seni lukis. Ia lantas menyeriusi cintanya dengan belajar seni rupa di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) Yogyakarta pada 1956-1961.

Dalam perjalanan hidupnya, Djoko Pekik pernah bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra–lembaga yang terafiliasi dengan PKI. Di Lekra, ia berkembang menjadi pelukis yang memiliki kepekaan tinggi terhadap isu-isu sosial kerakyatan. Saat peristiwa G30S pecah, rezim memenjarakan Djoko selama 7 tahun.

Sejak era orde lama sejatinya publik sudah mengenal Djoko sebagai seniman produktif. Kendati demikian, namanya mulai melambung tinggi pada akhir 90-an. Tidak lain karena lukisannya “Indonesia 1998: Berburu Celeng” menggemparkan publik di era orde baru.

Berburu Celeng di era orde baru

Lukisan ini menampilkan seekor celeng yang tertangkap dan diarak oleh dua orang pengidap busung lapar. Banyak yang menganggap lukisan tersebut penanda zaman, karya yang mampu mendokumentasikan peristiwa reformasi.

Banyak yang menafsirkan celeng tambun berkulit hitam yang tertangkap sebagai perwujudan Soeharto. Dua orang bertubuh kurus yang menggotongnya diasosiasikan sebagai rakyat jelata. Sedangkan kerumunan orang-orang yang menyaksikannya merupakan seluruh rakyat Indonesia.

”Ibaratnya itu seperti rakyat telah berhasil menangkap celeng,” ujar Busayawan Sindhunata di acara Pekik’an Jejeran Djoko Pekik pada, Senin (29/5/2023), dilansir dari Kompas.id.

Kendati demikian, Djoko Pekik menampik tafsir tersebut. Baginya, lukisan yang tersebut hanyalah peristiwa perburuan babi hutan yang kerap ia saksikan di tempat kelahirannya Purwodadi.

“Biarlah, banyak orang menafsir celeng itu sebagai simbol Presiden Suharto yang lengser pada 1998. Tetapi, saya tidak ingin menyampaikan hal seperti itu. Saya tetap melukis celeng seperti yang pernah saya lihat di Purwodadi,” ujar Djoko Pekik, melansir Kompas.com.

Lukisan ini kemudian dibeli seorang kolektor dengan harga Rp1 miliar. Lukisan Berburu Celeng ini tergabung dalam Trilogi Lukisan Celeng karya Djoko Pekik. Dua lainnya ialah Susu Raja Celeng (1996) dan Tanpa Bunga dan Telegram Duka (1999).

Baca halaman selanjutnya…

Kisah buruh dalam lukisan kereta

Kisah buruh dalam lukisan kereta

Tak melulu soal celeng, beberapa karya Djoko Pekik juga mengangkat seputar dunia buruh. Sebut saja lukisan Keretaku Tak Berhenti Lama (1989) yang membicarakan solidaritas buruh.

Dalam sebuah wawancara, Djoko menjelaskan bahwa masinis dalam lukisan ini sedang menjumpai buruh-buruh lain yang hendak pulang, tapi kesulitan mendapat angkutan. Masinis lalu menghentikan kereta agar buruh-buruh bisa menumpang.

Djoko juga memiliki lukisan Keretaku Hari Ini dan Stasiun Ngabean (1988). Keduanya berkaitan dengan dunia perkeretaapian. Lukisan Stasiun Ngabean membawa nostalgia tersendiri bagi warga Jogja. Pintu masuk menuju masa lalu. Sebab kini stasiun tersebut sudah tidak aktif. Dulu, stasiun tersebut menjadi penghubung jalur Yogyakarta–Palbapang–Sewugalur. Lukisan penanda zaman.

Yang fana adalah waktu, Djoko Pekik, karya-karyamu abadi!

Penulis: Iradat Ungkai
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Maestro Lukis ‘Berburu Celeng’ Djoko Pekik Meninggal Dunia

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version