Sejarah Mencatat, Ibu-ibu Arisan Pegang Peran Berkembangnya Masjid Syuhada Kotabaru

masjid syuhada yogyakarta mojok.co

Masjid Syuhada Yogyakarta (pariwisata.jogjakota.go.id)

MOJOK.COMasjid Syuhada merupakan salah satu masjid terbesar yang ada di Yogyakarta. Menurut catatan sejarah, ada peran perempuan dalam tumbuh dan berkembangnya masjid ini. 

Masjid Syuhada merupakan salah satu masjid agung yang berada di Yogyakarta. Mulai dibangun pada 1950, masjid ini merupakan “hadiah dari republik” karena jasa besar Yogyakarta dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia di masa revolusi.

Sejak peresmiannya, Masjid Syuhada mengalami banyak transformasi. Dari yang awalnya sebagai sekadar tempat ibadah, lalu menjadi rumah bagi aktivisme sosial pada 1960-an.

Namun, tahukah kalian bahwa di balik sejarah tumbuh dan berkembangnya Masjid Syuhada, terdapat peran perempuan di dalamnya?

Peran ibu-ibu arisan

Beberapa tahun sebelum Masjid Syuhada dibangun, sebuah kelompok dari komunitas muslim hadir di Kotabaru. Kelompok inilah yang kemudian menjadi pelopor kegiatan keislaman di salah satu masjid bersejarah di Jogja itu.

Menurut catatan sejarawan UNY, Yuanda Zara, dalam penelitiannya berjudul “Syuhada Mosque and its Community in Changing Yogyakarta, 1950s-1980s”, sekitar tahun 1943 beberapa perempuan di Kotabaru bikin kelompok arisan dan pengajian. Kelompok ini diberi nama Perhimpunan Pengajian Puteri Kotabaru (PPPK).

Pada masa awal berdirinya, anggota PPPK mencapai 400 orang. Mereka tidak hanya terdiri dari perempuan yang tinggal di Kotabaru, tetapi juga dari daerah lain di Yogyakarta.

Awalnya, kegiatan PPPK diisi oleh pengajian dan arisan, sesuai namanya. Lambat laun, kegiatan meluas dan mencakup masalah lain seperti pendidikan dan keuangan. Sejak saat itu, namanya kemudian berubah menjadi Pengajian Puteri Yogyakarta (PPY).

“Para anggota PPY inilah yang aktif  dalam mengumpulkan uang selama pendirian Masjid Syuhada,” tulis Yuanda Zara, dikutip Selasa (22/8/2023).

Halaman selanjutnya…

Memperluas agenda kegiatan

Memperluas agenda kegiatan

Akhirnya, pada 1952 Masjid Syuhada pun resmi berdiri. Atas dedikasinya dalam menggalang dana selama pembangunan, beberapa pihak pun mengusulkan agar PPY dapat ruangan khusus di masjid tersebut.

Usulan itu pun terealisasi. Alhasil, PPY makin masif mengadakan kegiatan di Masjid Syuhada. Ini tak terbatas pada agenda pengajian, karena di berikut hari PPY mulai aktif bergerak di bidang literasi dan kegiatan sosial.

Kegiatan-kegiatan ini sangat populer sehingga banyak perempuan di seluruh Jogja yang akhirnya ikut berpartisipasi.

Kata Yuanda, Syuhada pun akhirnya tampil beda dari kebanyakan masjid di Indonesia pada masa itu—yang kegiatan keagamaannya hampir selalu terselenggara sepenuhnya oleh laki-laki. Di masjid ini, nyatanya  benih-benih upaya keagamaan pelopornya adalah para perempuan.

“Para perempuan ini memainkan peran penting dalam menciptakan dasar bagi kegiatan-kegiatan di Syuhada,” tegasnya.

Alhasil, peran aktif PPY ini cukup menjadikan Masjid Syuhada sebagai satu di antara masjid besar di Indonesia pada 1950-an yang paling mengakomodasi kebutuhan perempuan.

Misalnya, yang paling beda, di Masjid Syuhada juga ada ruangan khusus bagi perempuan di lantai dasar untuk ruang ganti pakaian dan tata rias. Kata Yuanda, hal ini merupakan sebuah terobosan, mengingat mayoritas muslim kala itu melihat masjid sebagai wilayah laki-laki—dan bersepakat bahwa perempuan lebih baik melakukan salat di rumah.

“Oleh karena itu, Syuhada menegaskan bahwa mereka menyambut baik perempuan dan mengakui salah satu kebutuhan utama perempuan: tata rias wajah,” jelas Yuanda.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Masjid Syuhada Kotabaru: ‘Hadiah’ dari Republik Sekaligus Simbol Politik

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version