MOJOK.CO – Kebijakan afirmatif keterwakilan minimal 30 persen di parlemen menjadi salah satu jalan mendorong partisipasi perempuan di dunia politik. Namun, tahukah kalian bahwa keterlibatan perempuan dalam politik sebenarnya memiliki sejarah yang panjang di Indonesia.
Sejak awal abad 19-an, perempuan sebenarnya sudah menunjukkan keterlibatannya di ranah publik dalam bentuk organisasi pergerakan pra-kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan. Beberapa organisasi perempuan yang tercatat saat itu ada Poetri Mardika di Jakarta (1912), Purborini (1917), Aisyiyah di Yogyakarta (1917), Wanita Susilo di Pemalang (1918), Wanito Hadi di Jepara (1919), dan Poetri Boedi Sejati (Surabaya, 1919).
Hingga akhirnya di era 1950-an, terdapat organisasi perempuan yang cukup progresif di zamannya bernama Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Organisasi itu merupakan metamorfosis dari Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) yang berdiri di Semarang pada 4 Juli 1950.
Gerwani tergolong organisasi yang modern saat itu karena mampu merancang program-program kerja guna mengembangkan diri dan berpartisipasi dalam politik. Program kerja pertama dan utamanya mengenai masalah hak-hak wanita dan hak-hak anak. Bahkan pada 1961, Gerwani mulai menitikberatkan perjuangannya pada masalah krisis ekonomi yang terjadi dalam negeri.
Sayangnya, organisasi beranggotakan 1,5 juta orang itu harus tumbang. Presiden Soekarno pada 1965 menginstruksikan Ormas untuk memilih pasangan partai politik dalam kerangka Nasakom. Gerwani akhirnya berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Saat itulah kehancuran Gerwani bermula. Sebagai organisasi sayap kiri PKI, Gerwani turut tertuduh dalam peristiwa G30S/PKI 1965. Organisasi perempuan terbesar ketiga di dunia itu dilabeli sebagai organisasi terlarang.
Ketika Orde Baru (Orba), organisasi perempuan tidak terlalu menonjol. Orba dengan trilogi pembangunannya menghendaki stabilitas politik. Dus, Orba membonsai partisipasi perempuan ke dalam wadah PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) dan Dharma Wanita. Kedua organisasi itu dinilai tidak memberi kontribusi dalam pengambilan keputusan politis, malah menjadi alat pelaksanaan program pemerintah yang selalu cenderung “top down“.
Reformasi
Menjelang dan pasca-jatuhnya Orba melalui gerakan Reformasi 1998, gerakan perempuan kembali menggeliat dalam wujud organisasi-organisasi masyarakat sipil. Komisi Nasional Perempuan (Komnas) Perempuan yang berdiri pada 15 Oktober 1998 adalah salah satunya. Komisi negara independen yang berfokus pada isu perempuan itu dibentuk berdasar Keppres 181/1998 yang kemudian diperbarui oleh Perpres 65/2005 dan Perpres 66/2005.
“Tantangan saat ini, masih adanya keraguan di kalangan masyarakat tertentu apakah perempuan siap dan mampu menjalankan fungsi dan peran di kancah politik,” jelas Anggota Bawaslu Kota Bogor Rika Handayani seperti dikutip dalam laman resmi Bawaslu Bogor Kota.
Persoalan lain, nilai sosial budaya tidak memberi akses dan kesempatan bagi perempuan untuk menduduki posisi sentral di lembaga-lembaga politik. Padahal, kemampuan intelegensi, manajerial,dan kemampuan kepemimpinan perempuan Indonesia memiliki kualitas yang memadai.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Purnawan Setyo Adi