Sejarah Kampung Ketandan: Pecinan yang Dipakai Belanda Buat untuk “Mendisiplinkan” Komunitas Tionghoa

Sejarah Kampung Ketandan: Pecinan yang Dipakai Belanda Buat untuk "Mendisiplinkan" Komunitas Tionghoa MOJOK.CO

Atraksi barongsai di Kampung Ketandan. (jogjakota.go.id)

MOJOK.COSaat berkunjung ke kawasan wisata Jalan Malioboro, kita akan menemui gapura besar dengan tiang berukiran naga. Tingginya sekitar tujuh meter, tulisan “Kampung Ketandan” terukir jelas lengkap dengan arsitektur khas Tionghoa.

Ya, kawasan ini merupakan kawasan pecinan Kampung Ketandan. Lokasinya tak jauh dari Keraton Yogyakarta, tepatnya di sebelah utara Pasar Beringharjo.

Cakupan kawasan Kampung Ketandan cukup luas. Ia melingkupi sepanjang Jalan Ahmad Yani, Jalan Suryatmajan, Jalan Suryotomo dan Jalan Los Pasar Beringharjo. Selain luas, ia juga cukup terkenal karena menjadi titik pusat perayaan Tahun Baru Imlek tiap tahunnya.

Kendati demikian, yang perlu kita ketahui, Ketandan bukan satu-satunya kampung pecinan di Yogyakarta. Selain Ketandan, ada kawasan pecinan lain yakni Beskalan, Pajeksan, dan Kranggan

Lantas, sejak kapan komunitas Tionghoa mulai masuk dan tinggal di Yogyakarta, serta seperti apa sejarah awal terbentuknya Kampung Ketandan?

Masuknya kelompok Tionghoa ke Yogyakarta

Eksistensi komunitas etnis Tionghoa di Yogyakarta sudah ada sejak berdirinya Kesultanan Yogyakarta. Mereka, yang sebagian besar adalah pedagang, sudah hidup menetap dan berdampingan dengan masyarakat setempat.

Sejak permulaan abad ke-17, komunitas Tionghoa memang sudah berbondong memasuki Hindia Belanda. Bahkan, pemerintah sampai membentuk Kapitan Cina (Kapitein der Chinezen) yang bertugas untuk mengatur kawasan pecinan di penjuru Hindia Belanda.

Misalnya, ada Tjong Yong Hian yang jadi Kapitan Cina di Medan, kemudian Oey Dji San di Tangerang, hingga Khouw Kim An di Batavia. Sementara di kawasan Yogyakarta, jabatan kapten diisi To In.

Bahkan, kalau mau menelusuri lebih jauh lagi, keberadaan etnis Tionghoa di Hindia Belanda juga tak main-main. Menurut Thomas B Ataladjar dalam Toko Merah (2003), pada 1740 mereka bahkan melawan VOC karena merasa kecewa dengan kebijakan yang merugikan mereka. 

Alhasil, terjadilah peristiwa berdarah “Geger Pecinan” yang menewaskan 10 ribu orang Tionghoa di Surabaya, Banyumas, Pacitan, Madiun, Malang, Surakarta, hingga Yogyakarta.

Sejarah terbentuknya Kampung Ketandan

Akibat peristiwa berdarah tersebut, pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai memantau dengan serius gerak-gerik orang-orang Tionghoa. Pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan pergerakan (passenstelsel) untuk membatasi wilayah tinggal Tionghoa (wijkertelsel).

Alhasil, di suatu kawasan, orang-orang Tionghoa harus disatukan dalam tempat tertentu agar mudah mereka awasi. Pada 4 September 1916, Residen Yogyakarta Cornelis Canne menetapkan pembagian perkampungan Tionghoa di Yogyakarta menjadi empat: Kranggan, Malioboro, Ngabeyan, dan Ketandan.

Salah satu alasan mengapa empat wilayah ini dipilih sebagai kawasan pecinan karena sejak masa Sri Sultan HB III, daerah itu merupakan tempat tinggal “tondo”. Tondo sendiri merupakan sebutan untuk pegawai yang menarik pajak etnis Tionghoa untuk diserahkan pada Keraton Yogyakarta.

Pedagang mulai memadati jalanan Malioboro

Seiring berjalannya waktu, Kampung Ketandan semakin ramai dengan orang-orang Tionghoa. Sejak 1920-an, jalanan Malioboro memang mulai dipadati dengan aktivitas-aktivitas perekonomian. 

Kala itu, ruas jalanan ini terbagi menjadi tiga: Residentielaan (sebagian Jalan Margo Mulyo ke arah selatan), Patjinan (Jalan Margo Mulyo ke arah Malioboro) dan Jalan Malioboro. Patjinan, kala itu, dipakai untuk mengidentifikasi kawasan pecinan.

Hingga 1925, di kawasan pecinan sudah ada sekitar 55 lapak/toko pedagang Tionghoa. Mulai dari yang menjual makanan, candu, hingga membuka jasa barbershop. 

Sebagai informasi, pada masa itu area jualan memang dibagi berdasarkan kelompok etnis. Orang-orang Tionghoa dapat jatah jualan di kawasan Petjinan, sedangkan golongan Eropa buka toko di sepanjang Jalan Malioboro hingga Toegoe Weg (Jalan Sudirman). Adapun orang-orang-orang pribumi, India dan Arab berjualan di sekitar Toegoe Weg.

Selain itu, pengusaha Tionghoa juga mulai membuka bisnis hotel untuk menandingi penginapan kelas wahid semacam Hotel Tugu, Hotel Mataram, Hotel Centrum maupun Grand Hotel de Djokdja (Grand Inna Malioboro).

Dua hotel milik orang Tionghoa yang paling terkenal saat itu antara lain Hotel Trio di ruas Toegoe Weg No. 8 (sekitaran Bank Mandiri Cabang Sudirman) milik Tjoa Boen Hian; dan Hotel Hwa Kiauw di ruas Patjinan No. 502 (sekitar Ramayana Mall Selatan).

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Menelusuri Sejarah Kelenteng Liong Hok Bio, Bangunan Indah di Jantung Kota Magelang

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

 

Exit mobile version