MOJOK.CO – Saat berkunjung ke kawasan wisata Jalan Malioboro, Kota Yogyakarta, kita akan dengan sangat mudah menjumpai andong. Kendaraan roda empat yang ditarik kuda ini bisa kita jumpai berjejer di sepanjang jalan sambil beberapa kali para kusirnya menawarkan jasa.
Meskipun keberadaan andong begitu banyak di sepanjang Jalan Malioboro, nyatanya predikat “Kampung Andong” justru tersemata kepada salah satu kawasan di Bantul. Kawasan ini adalah Kampung Kenalan, Padukuhan Nglaren, Kalurahan Potorono, Kapanewon Banguntapan.
Saat kita mengunjungi Kampung Andong ini, sepanjang mata memandang bakal terlihat andong-andong terparkir di depan rumah. Sementara di halaman belakang terdapat kandang bagi kuda-kuda Pak Kusir.
Lantas, mengapa Yogyakarta punya kaitan yang erat dengan andong dan bagaimana sejarahnya?
Sapi lebih dulu eksis ketimbang kuda
Sejarah mencatat, sebelum masyarakat Nusantara lazim menggunakan andong pedati lebih akrab sebagai moda transportasi.
Sekilas, antara pedati dan andong nyaris serupa. Bedanya memang hanya terletak pada jumlah roda dan hewan penariknya. Andong memiliki empat roda dengan kuda sebagai penariknya, sedangkan pedati beroda dua yang ditarik sapi.
Pedati sudah menjadi alat transportasi sejak masa kerajaan-kerajaan kuno. Raja Majapahit Hayam Wuruk, misalnya, dalam kunjungan-kunjungannya ke wilayah-wilayah vassal, ia menaiki pedati untuk rute perjalanan jauh.
Sementara rute dekat, tenaga manusia seringkali digunakan sebagai penariknya. Pedati masih jadi moda transportasi andalan sepanjang abad ke-14 dan ke-15.
Tenaga sapi, juga masih digunakan bertahun-tahun kemudian. Bahkan, dalam serangan Raja Mataram, Sultan Agung, ke Batavia pada abad ke-17, mereka masih menggunakan sapi. Tercatat, kala itu bala tentara Armada Bahureksa dari Mataram membawa 150 ekor sapi dalam penyerangan.
Awalnya andong tercipta buat kalangan elite saja
Memasuki abad ke-19, pedati mengalami transformasi. Jumlah rodanya ditambah. Hewan penariknya pun juga berganti menjadi kuda karena alasan lebih bertenaga dan cepat. Transformasi ini sekaligus menandai juga status sosial masyarakat kala itu.
Melansir laman Kemendikbud, ide soal andong pertama kali dicetuskan insinyur Belanda yang bernama Charles Theodore Deelman. Ia merupakan seorang ahli irigasi Belanda yang bertugas untuk membangun sejumlah objek strategis di Jakarta.
Konon, istilah “delman”, nama lain andong, berasal dari kata “Deelman” pada nama Charles.
Sejarah juga mencatat, selama era kolonialisme Hindia Belanda, andong menjadi moda transportasi penting dan mewah yang hanya dapat digunakan oleh bangsawan dan tuan tanah. Sementara masyarakat biasa hanya bisa berjalan kaki, pakai gerobak, atau masih menggunakan pedati karena harga sapi jauh lebih murah ketimbang kuda.
Di Yogyakarta sendiri, keberadaan andong dimulai dari berdirinya Keraton Yogyakarta. Kala itu para Raja Mataram menggunakan alat transportasi ini sebagai kendaraan pribadinya.
Pada awal abad ke-19 hingga abad-20, transportasi ini menjadi salah satu penanda sebagai status sosial priyayi keraton yang dimulai ketika keraton dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono VII.
Kemudian, pada masa kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono VIII, andong mulai digunakan oleh masyarakat umum, meskipun masih terbatas dan diperuntukkan pada para pedagang saja.
Lambat laun, layanan andong bisa digunakan oleh semua orang. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, transportasi ini semakin jarang ditemukan dan sering kali hanya ada di lokasi-lokasi wisata seperti Jalan Malioboro saja.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Misteri Suara Andong Dini Hari di Jogja dari Kesaksian Warga hingga Kusir Malioboro
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News