Belum pernah sepanjang usia dewasa saya mengalami yang namanya ‘inscure’ terhadap tubuh sendiri kecuali sejak kemarin ketika saya ditanya bapak kos. “Kamu aslinya dari mana?” tanya bapak kos ketika saya mampir ke rumah sekaligus tokonya. Saat itu saya akan mengambil kunci kosan yang saya titipkan karena ada perbaikan keran air kamar mandi.
“Asli Pandeglang, Pak,” kata saya. Spontan si bapak kos bilang, “biasanya orang Pandeglang kan putih-putih, kok kamu beda sendiri?”
Seperti bapak kos, di masyarakat cantik itu putih?
Seketika rasa percaya diri saya terjun bebas. Apalagi si bapak kos bilang begitu dengan raut serius. Saya cuma diam menampilkan senyum meringis mendengar komentar si bapak kos.
Terlepas dia seorang bapak-bapak, tapi dia tetaplah seorang laki-laki. Dan bila yang mengomentari tampilan atau fisik kita itu laki-laki rasanya seperti sebuah pukulan dan penjustifikasian bahwa memang kita sebagai perempuan “tidak menarik” atau “tidak cantik” setidaknya bagi saya pribadi.
Sejujurnya saya tidak marah dengan komentar spontan si bapak kos tadi. Saya paham bahwa beliau tidak bermaksud merendahkan saya. Tapi setidaknya pendapat bapak kos tadi sedikit memberikan gambaran. Bahwa begitulah pandangan umum yang hidup di masyarakat mengenai kecantikan perempuan yang diidentikan dengan kata “putih”.
Hal ini menunjukan bahwa pola pikir patriarki masih melekat dalam masyarakat. Setidaknya di lingkungan sekitar saya, yang memang masih cukup konservatif.
Betapa melelahkan menjadi cantik
Meski sekarang banyak beauty vlogger, influencer, publik figur yang mengkampanyekan untuk self love, mencintai tubuh sendiri, diri sendiri, tetap saja doktrinasi bahwa cantik itu ejaannya putih telah melekat dalam pandangan masyarakat. Hal ini diperparah dengan dominasi iklan yang menampilkan bahwa bentuk ideal kecantikan itu seperti perempuan Asia Timur (baca: Korea Selatan, Jepang, dan China.
Betapa tanpa kita sadari bahwa tubuh kita bukan lagi milik kita tapi telah menjadi komoditas industri. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki menjadi sasaran berbagai produk kecantikan yang umumnya menawarkan impian “cerah, putih, dan glowing”. Disertai janji diperoleh secara instan bahkan ada yang berani menawarkan dalam waktu satu minggu atau sekian kali pemakaian.
Jujur sebagai perempuan bukannya saya tidak goyah dan tidak menginginkan segala wujudiyah kecantikan versi umum tadi. Tapi saya berpikir betapa melelahkanya segala rangkaian menuju “cantik” itu. Seperti kata Ester Lianawati dalam bukunya ‘ada serigala betina dalam diri setiap perempuan’ bahwa “jangan jadikan kecantikan sebagai tirani, kita bukan tahanan dalam tubuh kita sendiri”.
Punya definisi kecantikan sendiri
Tidak salah juga bukan dosa, jika kita sebagai perempuan punya definisi kecantikan sendiri yaitu sebuah kecantikan konvensional (standar umum). Yang berdosa adalah jika kita harus menyakiti tubuh kita sendiri hanya demi kata cantik. Jika dengan tampil full makeup, modis, terlihat glowing membuatmu nyaman dan percaya diri, maka itu bagus karena bisa membuatmu bahagia. Asal jangan mendefinisikan kecantikan dalam satu kata sehingga mengandung makna yang sempit.
Cantik bukan hanya sebatas warna kulit, tinggi badan, berat badan ideal, ukuran pakaian dengan nomor S atau M. Namun, ia adalah integrasi dari kepribadian yang unik, wawasan yang luas, spiritualitas, dan empati terhadap sesama. Untuk kemudian seiring usia bertambah, angka bukanlah musuh kecantikan. hingga kita gandrung dan terobsesi untuk selalu tampak “awet muda” dalam konteks tampilan fisik. Seperti kata Nawal el Shadawi, “Aku bangga dengan keriput-keriputku, setiap lerutan di wajahku mengisahkan cerita hidupku. mengapa aku harus menyembunyikan usiaku?”
Wartini Sumarno, kp. babakanangka 19/10 Ds. Kadudampit Kec. Saketi Kab. Pandeglang Banten wartinibp@gmail.com
BACA JUGA Jika Kalian Suka Tampil Nyentrik, Jangan Coba-coba Kuliah di UIN dan keluh kesah lain dari pembaca Mojok di UNEG-UNEG.
Keluh kesah dan tanggapan Uneg-uneg bisa dikirim di sini