Rebo Wekasan, Seputar Mitos Bala dan Ijazah Amalan dari Para Kiai

rebo wekasan

Doa Rebo Wekasan

MOJOK.CORebo Wekasan adalah istilah yang merujuk pada Rabu terakhir Safar, bulan kedua pada penanggalan Hijriyah. Rebo Wekasan sendiri diyakini banyak orang sebagai hari diturunkannya ribuan bala bencana ke bumi. 

Keterangan mengenai bala bencana tersebut dapat ditemukan dalam kitab Kanzun Najah Was-Surur fi Fadhail Al-Azimah was-Suhur karya Abdul Hamid Quds, seorang ulama Nusantara yang tergolong prolifik di zamannya. Dalam kitab ini, Abdul Hamid menerangkan, “Banyak para wali yang memiliki pengetahuan spiritual yang tinggi mengatakan, bahwa setiap tahun Allah menurunkan 320.000 macam bala bencana ke bumi. Semua itu pertama kali terjadi pada Rabu terakhir bulan Safar.”

Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jatim, Yusuf Suharto mengatakan, kesialan atau bala bencana yang melekat pada masyarakat sejatinya juga dialami sejak masyarakat  Arab pra-Islam

Bangsa Arab, lanjut Yusuf, sering mengatakan Safar adalah bulan Tasa’um (bulan sial). Anggapan ini telah masyhur di kalangan umat jahiliah dan hingga kini masih banyak orang yang mempercayainya.

“Kesialan itu bagi yang merasa sial sebagaimana hadits ‘Wat thayru li man tathayyara.’ Ada juga hadis ‘lā ‘adwā, wa lā thiyarata, wa lā hāmmata, wa lā shafar’ atau tak ada penularan penyakit, tak ada kesialan karena suatu tanda, tak ada kesialan karena burung hantu, dan tak ada kesialan dalam bulan Shafar,” kata Ustadz Yusuf dilansir dari Universitas Islam Nusantara.

Senada dengan Yusuf, Rais Aam PBNU, KH. Miftachul Akhyar menjelaskan pandangannya, menurutnya kesialan bulan Safar hanya bagi orang yang meyakininya saja, tetapi bagi orang yang beriman meyakini bahwa setiap waktu, hari, bulan maupun tahun selalu ada manfaat dan mafsadah, ada yang berguna dan ada madlaratnya. 

“Hari bisa bermanfaat bagi seseorang, tetapi juga bisa nahas bagi orang lain. Artinya, hadis ini jangan dianggap sebagai suatu pedoman, bahwa setiap Rabu akhir bulan adalah hari nahas yang harus kita hindari. Karena ternyata pada hari itu, ada yang beruntung, ada yang buntung. Tinggal kita berikhtiar meyakini, bahwa semua itu adalah anugerah Allah. Wallahu ‘A’lam.”

Meski banyak perbedaan pendapat, Rebo Wekasan hingga saat ini masih banyak dipercaya masyarakat sebagai hari penuh sial dan sakit. Setiap tiba malam Rebo Wekasan, banyak pesantren dan masyarakat yang menggelar tirakatan guna memohon dihindarkan dari bala dan bencana. 

Ijazah Amalan Rebo Wekasan dari Para Kiai

Soal amalan Rebo Wekasan, KH. Abdul Kholik Mustaqim, Pengasuh Pesantren al-Wardiyah Tambakberas Jombang pada suatu wawancara dengan NUOnline mengatakan, para ulama yang menolak adanya bulan bala dan hari bala Rebo Wekasan berpendapat (dikutip dengan penyesuaian): 

Pertama, tidak ada nash hadits khusus untuk akhir Rabu bulan Shafar, yang ada hanya nash hadits dhaif yang menjelaskan bahwa setiap hari Rabu terakhir dari setiap bulan adalah hari naas atau sial yang terus menerus, dan hadits dha’if ini tidak bisa dibuat pijakan kepercayaan.

Kedua, tidak ada anjuran ibadah khusus dari syara’. Ada anjuran dari sebagian ulama tasawuf, tapi landasannya belum bisa dikategorikan hujjah secara syar’i. 

Ketiga, tidak boleh, kecuali hanya sebatas sholat hajat lidaf’il bala’ al-makhuf (untuk menolak balak yang dihawatirkan) atau nafilah mutlaqah (shalat sunah mutlak) sebagaimana diperbolehkan oleh Syara’, karena hikmahnya adalah agar kita bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Sementara itu, Mursyid Thariqah Qadiriyyah, KH. Ahmad Luthfi Hakim menyatakan jika amaliah Rebo Wekasan telah dikenal oleh sebagian orang, tetapi sebagian lainnya belum banyak mengenal. “Yang percaya sesuai ilham sebagian salihin, silahkan. Yang tidak meyakini, juga tidak apa-apa,” terangnya pada sebuah diskusi daring bertajuk Reaktualisasi Amaliah Rebo Wekasan di Tengah Masyarakat Moderen yang digelar Universitas Islam Nusantara.

Terkait amalan-amalan Rebo Wekasan, Mojok telah menghimpun beberapa ijazah dari para kiai:

Ijazah Rebo Wekasan dari Mbah Moen

Maimoen Zubair adalah seorang ulama kharismatik dari Sarang, Rembang. Mbah Moen, begitu banyak murid menyebutnya, memberikan ijazah amalan Rebo Wekasan. 

“Jika Rebo Wekasan, salatlah 4 rakaat. Membaca Surah Al-Kautsar 17 kali, Al-Ikhlas 5 kali, Al-Falaq dan Annas. Ada banyak bala dari selatan, makan akan tertolak kembali lagi ke selatan makanya dibacakan Al-Falaq dan An-Nas,” jelas Mbah Moen.

Ijazah dari Guru Sekumpul

Guru Sekumpul atau Guru Muhammad Zaini bin Abdul Ghani al-Banjari, ulama sekaligus tokoh kharismatik dari Kalimantan memberikan ijazah khusus yang dapat diamalkan pada Rabu terakhir bulan Safar.

“Disunnahkan pada malam dan hari Rebo Wekasan membaca Surah Yasin sekali, ketika sampai pada lafaz salamun Apulam mir Rabbir Rahiim diulang 313 kali, kemudian membaca shalawat munjiyat dan membaca doa selamat,”

BACA JUGA: Merayakan Kembalinya Sikap Kritis NU

Exit mobile version