MOJOK.CO – Kuliner masyarakat adat memiliki kekayaan rasa yang otentik. Padahal proses pembuatannya tidak memerlukan banyak bumbu maupun bahan-bahan yang mahal.
Silvy Motoh dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menganggap, kuliner masyarakat adat adalah pengetahuan berharga yang perlu dilestarikan. Silvy menjelaskan, ada dua kategori kuliner masyarakat adat, yaitu masakan yang biasa disajikan ketika ritual atau upacara adat (seperti kedukaan, pernikahan, kelahiran), dan masakan untuk konsumsi sehari-hari.
Sajian yang dimasak khusus untuk ritual biasanya memiliki makna tersendiri. Memasak daging sapi, misalnya, hanya daging bagian-bagian tertentu yang dipilih, kemudian disajikan kepada para tetua adat. Berbeda dari masakan harian yang kerap menjadi santapan warga. Penggunaannya sebagai masakan sehari-hari, maka bahan dan proses memasaknya pun cenderung mudah.
Hanya saja, komunitas adat kerap kali tidak percaya diri akan kekayaan kuliner mereka. Mereka berpikir bahwa makanan sehari-hari mereka terlalu sederhana untuk disajikan bagi tamu yang datang dari kota.
“Ketika kami mengadakan acara di kampung mereka, mereka berusaha keras untuk memasak makanan modern untuk kami,” jelas Silvy. Oleh karenanya, AMAN berupaya memastikan komunitas adat tetap memasak makanan yang biasa dimasak, sehingga mereka merasa dihargai.
Bahan-bahan mudah diperoleh dan terjangkau
Kuliner masyarakat adat untuk keperluan sehari-hari kebanyakan terbuat dari bahan-bahan yang berada di sekitar mereka tinggal. Tidak jarang bahan-bahan itu diperoleh dengan memetik dari kebun sendiri. Salah satunya, bahan-bahan untuk memasak Rumpu Rampe, makanan adat dari NTT.
Rumpu Rampe memiliki arti banyak dan beragam. Nama ini cerminan dari bahan-bahan pembuatanya yang memang banyak sekali. Mama Siti, warga asli NTT, menambahkan, tidak ada bahan sayuran yang wajib digunakan untuk memasak Rumpu Rampe. Apa saja yang ada di kebun boleh ditambahkan.
“Karena itu, mencari bahannya tidak susah. Tinggal petik saja dari kebun sendiri. Tapi, yang umum digunakan adalah campuran dari daun pepaya, bunga pepaya, jantung pisang, dan daun ubi atau daun singkong. Semua tinggal direbus, lalu diiris-iris dan diberi bumbu,” jelas Mama Siti.
Kuliner adat yang berasal dari Sulawesi Tengah, Uta Kelo, juga terdiri dari bahan yang mudah diperoleh dan ramah di kantong. Panganan yang mirip sayur lodeh itu sama-sama menggunakan terong dan santan. Uniknya, Uta Kelo menggunakan daun kelor dan daun pisang mentah.
Silvy menjelaskan, kuliner adat kebanyakan memang menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitar mereka. Sehingga lebih sederhana dan ramah lingkungan. Dalam memasaknya pun tidak memerlukan minyak goreng maupun peralatan mewah. Cukup kayu bakar dan pembungkus alami, seperti bambu dan daun pisang.
Kuliner masyarakat adat yang minim bumbu tapi kaya rasa
Rata-rata kuliner masyarakat adat dimasak dengan bumbu minimalis. Silvy yang berasal dari Sulawesi Tengah bercerita, di kampungnya hanya ada tiga bumbu andalan yaitu garam, daun jeruk purut, dan cabai rawit, termasuk untuk memasak daging sapi.
“Masakan terasa sangat enak, karena menonjolkan rasa alami dari bahan segar,” jelas dia. Bahkan, masyarakat di daerahnya dulu tidak mengenal bawang. Baru beberapa waktu terakhir, banyak modifikasi makanan dengan menambahkan bumbu bawang.
Silvy juga mencontohkan bumbu ulat sagu di Halmahera, Maluku, yang hanya menggunakan bawang merah, garam, dan cabai rawit. Bahkan terkadang dimakan tanpa bumbu, hanya dibakar begitu saja. Hal serupa juga dilakukan oleh warga Kalimantan atau Sulawesi ketika memasak ular sawah.
Untuk Uta Kelo, walaupun masakannya mirip dengan sayur lodeh, bumbu-bumbu yang digunakan jauh lebih sederhana. Hanya perlu bawang merah dan cabai rawit. Cita rasa yang dihasilkan pun cenderung gurih dan pedas. Rasa manis alami didapat dari daun kelor. Yang menarik, tekstur dan rasa pisang mentah yang ketika matang jadi seperti kentang.
Memasak Rumpu Rampe tidak kalah simpel. Cukup menggunakan garam, bawang merah, bawang putih, dan cabai yang dihaluskan. Kemudian, ditumis dengan daun jeruk. Walau penggunaan bumbunya sederhana, Rumpu Rampe memiliki cita rasa pahit, asin, manis, pedas yang menyatu. Campuran rasa ini mencerminkan Rumpu Rampe yang sering kali disajikan ketika ada acara kumpul-kumpul, seperti kumpul keluarga besar, arisan, atau saat menyambut tahun baru.
“Rumpu rampe berfungsi sebagai pelengkap makanan saat acara, disajikan dengan berbagai hidangan lain. Kami meyakini makanan ini juga berperan sebagai obat herbal yang dipercaya mencegah malaria,” Mama Siti menambahkan.
Cara memasak yang unik
Kuliner adat memiliki cara memasak yang unik dan sulit diterapkan di tengah masyarakat urban. Seperti memasak makanan adat Kalimantan Barat, Manok Pansoh. Makanan yang satu ini memerlukan bambu. Aroma bambu bakar menjadi salah satu ciri khasnya.
Penduduk urban mungkin agak sulit mereplika Manok Pansoh karena kini tidak mudah lagi mendapatkan bambu. Ditambah lagi, bagi yang tidak terbiasa, membuat perapian dari kayu bakar bisa menjadi hal menantang. Menjaga api tetap stabil pun juga memerlukan trik. Api harus terus ditiup agar tidak mati.
Sementara untuk Rumpu Rampe, tantangannya adalah mengurangi rasa getir daun dan bunga pepaya, tapi tidak sampai hilang sama sekali. Sebab, kalau pahitnya benar-benar hilang, rasanya justru menjadi kurang sedap. Salah satu caranya, bisa diterapkan dengan meremasnya dengan garam agar getahnya jauh berkurang. Setelah itu, direndam dalam air mendidih selama tiga hingga lima menit.
Begitu pula dengan memasak Uta Kelo, memasak daun kelor untuk Uta Kelo perlu benar-benar pas. Kalau terlalu matang, daunnya akan terasa pahit.
Sehat tanpa penyedap
Kuliner adat yang kebanyakan dibungkus daun, seperti daun jati, daun jagung, dan daun pisang memberi aroma khas pada masakan. Ini tidak tergantikan oleh pembungkus makanan lain. Oleh karenanya, makanan masyarakat adat tidak memerlukan aroma sintetis untuk menggoda selera.
Begitu juga dengan penggunaan perasa alami. Silvy bercerita, warga di kampungnya kerap menggunakan daun kedondong untuk menambahkan rasa asam pada masakan. Fungsinya berbeda dari daun jeruk purut yang hanya sebagai penambah aroma, tapi tidak menambahkan rasa asam. Daun kedondong terasa segar karena tidak perlu melewati pemrosesan apa pun.
“Di samping itu, kuliner masyarakat adat cenderung jarang menggunakan minyak, apalagi dalam jumlah banyak. Misalnya, jika memasak dengan bambu, kita tidak perlu menggunakan tambahan minyak. Minyak yang digunakan adalah minyak alami dari bahan protein, misalnya ayam,” jelas Silvy.
Memasak dengan cepat juga membuat kandungan vitamin tetap terjaga. Misalnya, memasak Manok Pansoh tak perlu waktu lama karena ayamnya sudah dipotong kecil-kecil. Dengan begitu, sari alami ayam tidak hilang, tapi ayam tetap empuk dan lezat. Sementara daun kelor yang mampu memperbaiki kondisi gizi buruk di NTT juga hanya perlu dimasak sebentar saja.
Pengetahuan kuliner adat tidak boleh dikesampingkan
Kuliner adat merupakan warisan dari nenek moyang yang diharapkan tidak berhenti sampai di generasi tertentu dan perlu dilestarikan. Silvy melihat, selain melalui festival kuliner, maraknya reality show kompetisi memasak bisa menjadi kendaraan yang tepat untuk mempromosikan makanan komunitas adat.
“Misalnya, peserta diminta membuat makanan dari daun kelor. Jangan melulu diminta membuat sesuatu dari bahan impor. Dengan begitu, peserta bisa bantu mempromosikan daun kelor, sekaligus mendorong mereka untuk menggali kembali identitas dirinya yang berasal dari daerah,”terangnya.
Yang perlu diperhatikan, makanan komunitas adat boleh saja dikomersialkan, asal pemilik pengetahuan akan kuliner tersebut, yaitu Masyarakat Adat, tidak dikesampingkan dan tetap mendapatkan keuntungan.
“Ini kan pengetahuan mereka. Jangan sampai makanan kaya budaya seperti ini diklaim sebagai menu khas mereka oleh orang yang punya modal besar. Padahal, cara memasaknya sudah dimodifikasi mengikuti selera pasar, sehingga cita rasa aslinya tidak lagi terjaga,” tutupnya.
Sumber: Rilis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Penulis: Kenia Intan