Pengalaman KKN di Desa Sendiri, Sama-sama Menakutkan Seperti KKN di Desa Penari

Pengalaman KKN di Desa Sendiri, Overthinking Seperti Nonton Film KKN di Desa Penari. MOJOK.CO

Ilustrasi Pengalaman KKN di Desa Sendiri. MOJOK.CO

MOJOK.CO – Kuliah Kerja Nyata (KKN) di luar pulau memang menyenangkan, tapi pernahkah kamu KKN di desa sendiri? Inilah yang dirasakan Hana, mahasiswa kampus pendidikan di Yogyakarta.

Kala itu, COVID-19 sedang ganas-ganasnya menyerang dan membuat kampusnya mengubah kebijakan KKN. Kampus menyarankan mahasiswa untuk KKN di desa sendiri atau desa yang masih dekat dengan domisilinya. Satu tim sepakat untuk menjalani KKN di desa tempat Hana tinggal, yakni sebuah desa di Bantul yang mepet Kota Yogyakarta.

Sayangnya, ini bukan berita baik bagi Hana. KKN di desa sendiri justru menghantuinya, layaknya nonton film KKN di Desa Penari. Bukan karena desanya mistis atau berhantu. Namun, ia dihantui rasa cemas dan overthinking.

Pasalnya, kampus melarang program kerja (proker) yang terjun langsung ke warga, alias online saja. Baginya mungkin ini sama menakutkannya dengan KKN di Desa Penari.

Warga mengira tim KKN meminta dana

Teman-temannya santai saja mengusulkan pembuatan aplikasi, menyebar pamflet, serta proker sederhana lainnya. Tapi tidak dengan Hana, “Aku kan orang sini. Nanti gimana kalau dirasani kenapa KKN kok nggak turun lapangan?” katanya kepada reporter Mojok belum lama ini.

Apes, ternyata segala kecemasan Hana itu terjadi, bahkan lebih parah dari dugaannya. Pernah suatu hari, ia mendapatkan keluhan bahwa warga menyangsikan proker KKN timnya. Waktu itu, warga meminta Hana dan tim membantu kegiatan lomba voli untuk anak-anak TPA di desa.

Terekam jelas di ingatannya bahwa ketua panitia, yang mana merupakan tetangganya sendiri, meyakinkan bahwa tim KKN tak perlu pusing memikirkan dana. “Kalian nggak usah pusing, ini kan acara dari desa dan dananya juga takmir yang menanggung,” pungkas ketua panitia. Tugas tim KKN waktu itu hanyalah membelikan hadiah, konsumsi, dan membantu persiapan teknis.

Jauh panggang dari api, namanya juga manusia, ada saja miskomunikasi. Salah satu anggota tim KKN diajak ngobrol oleh Pak RT lalu pulang ke pondokan dengan wajah kusut. Ternyata, tim mereka mendapat keluhan dari warga soal penggunaan dana.

Rekannya mengatakan, “Kata Pak RT, warga ngeluh kenapa kok anak KKN bikin proker malah uangnya minta ke takmir.” Sontak hal itu membuat Hana menangis karena masalah uang sangatlah sensitif menurutnya.

Menjadi tumbal KKN untuk terjun ke masyarakat

Hal yang tak kalah melelahkan bagi Hana adalah bagaimana ia selalu menjadi tumbal untuk kegiatan yang mengharuskan interaksi intens dengan masyarakat. Tiap ada pertemuan penting dengan perangkat desa, Hana selalu menjadi perwakilan tim.

Meski senang berbicara di depan umum, baginya sangat berbeda jika itu harus dilakukan di depan tetangganya sendiri. Ia malah takut, minder, dan pekewuh atau tidak enakan. “Misal aku nggak setuju sama tetangga tuh malah pekewuh kalau mau ngoreksi kesalahan mereka,” terangnya.

Mindernya Hana ini jugalah yang membuatnya sungkan membela diri saat warga mengira timnya meminta duit kepada takmir. Ingin hati membela diri, tapi lagi-lagi, Hana sangat tahu bahwa orang-orang yang mengeluhkan KKN-nya adalah tokoh masyarakat yang disegani.

Akhirnya, teman-temannya mencoba menjelaskan seadanya. Untunglah Pak RT pengertian dan memahami duduk perkara. “Tapi jujur, sampai detik ini aku masih ngerasa nggak enak karena kejadian itu. Masalah uang bagiku benar-benar sensitif,” ungkap Hana.

Kerja keras berakhir di bak sampah

KKN sudah berakhir, tentu saja hati Hana terasa lega. Ia pun menjalani hari-hari normalnya seperti dulu. Cuaca begitu cerah, matahari pagi membuat Hana bersemangat menjalani hari. Jleb.

Belum sempat beraktivitas, tiba-tiba ia melihat bank sampah yang selama ini bangun bersama tim sekarang sudah menjadi rongsokan. Pasalnya, bank sampah adalah proker utama tim KKN dan telah mengorbankan banyak tenaga, waktu, serta dana.

Hana bercerita, timnya sampai kurang tidur demi mengerjakan proker utama tersebut. Mulai dari mengecat tiner sampai memotong bambu pun mereka lakukan. Soal dana, mereka susah payah memutar otak untuk memotong anggaran bagi proker lain.

Bahkan, Hana dan teman-temannya rela merogoh kantong pribadi mereka yang pas-pasan itu. Sambil memelas, Hana menumpahkan kesedihannya pada saya, “Ya Allah, bank sampah itu berdarah-darah kita bikinnya.”

Di lubuk hati terdalam, Hana sangat tahu bahwa ini hal yang normal terjadi. Menurutnya wajar jika proker KKN akan dibuang oleh warga. Namun, ia menyesali mengapa ia harus menyaksikan semua ini. Hatinya semakin nyeri saat melihat bank sampah itu telah menjadi rongsokan, dibuang tepat di depan rumahnya sendiri.

Reporter: Viola Nada Hafilda
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Bertahan Hidup di KKN dengan Cara Cinlok dan Selingkuh

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version