MOJOK.CO – Menkominfo Johnny G. Plate mengungkapkan rencananya untuk melebur 24.400 aplikasi ke dalam satu super app. Menanggapi hal itu, Pakar keamanan siber Doktor Pratama Persadha mengingatkan agar pemerintah jangan mengabaikan sisi keamanan yang biasanya menjadi celah.
Pratama Persadha yang juga Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC mencontohkan kasus kebocoran data Electronic Health Alert Card (e-HAC) milik Kementerian Kesehatan RI. Menurutnya, kebocoran itu terjadi karena sistem e-HAC sudah tidak dipakai dan tidak segera di-takedown (copot).
Pratama mengapresiasi langkah pembuatan super app atau aplikasi all in one lantaran dianggap bisa merampingkan aplikasi pemerintah yang jumlahnya terlalu banyak. Selain itu, rencana ini juga bisa menghemat anggaran yang dibelanjakan untuk aplikasi-aplikasi yang kurang bermanfaat.
“Hal tersebut merupakan langkah yang baik karena nantinya jika berjalan dengan baik, lebih efisien, dan menghemat anggaran hingga mencapai puluhan triliun rupiah,” kata dosen pascasarjana pada Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) ini ketika dikonfirmasi di Semarang, Sabtu (16/7).
Namun, ia mengingatkan jangan sampai aplikasi-aplikasi yang sudah tidak terpakai diabaikan begitu saja. Sebab bisa menimbulkan permasalahan. Ia mencontohkan seperti yang terjadi di Electronic Health Alert Card (e-HAC) milik Kementerian Kesehatan RI.
Jika dilihat saat ini, lanjut Pratama, pemerintahan banyak membuat aplikasi yang jumlahnya bisa dibilang tidak sedikit, sangat sektoral, dan antarinstitusi kementerian tidak terintegrasi dengan baik.
Bahkan, setiap kementerian dan lembaga negara memiliki aplikasi yang hampir mirip dengan sistem yang berbeda-beda yang membuat semua data dan layanan terpisah-pisah. Belum lagi pengelolanya yang terkadang tidak jelas karena masih dilakukan oleh vendor.
Menurut Pratama, hal semacam ini juga terjadi di instansi lainnya, bahkan bila dihitung di pemerintah daerah pasti ada saja sistem yang sudah lama tidak terpakai namun masih “hidup”.
“Ini membuat lahirnya ancaman baru, yakni pertama soal anggaran, lalu soal data yang simpang siur dan ketiga soal keamanan sistem itu sendiri,” kata Pratama yang pernah sebagai Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (sekarang Badan Siber dan Sandi Negara) Pengamanan Teknologi Informasi (TI) KPU pada Pemilu 2014.
Sebelumnya, keluhan tentang banyaknya aplikasi yang tak berguna secara optimal disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Menurutnya, aplikasi yang tersebar di kementerian dan lembaga ini menggembosi anggaran negara.
“Bayangkan kita punya 24.000 aplikasi dan setiap kementerian/lembaga itu punya 2.700 database sendiri-sendiri,” ujar Sri Mulyani dalam side event “G20: Festival Ekonomi Keuangan Digital” di Bali pada Senin (11/7/2022).
Merespons hal itu, Menkominfo Johnny G. Plate memastikan bahwa pihaknya bakal penutup aplikasi-aplikasi tersebut secara bertahap dan menggantinya dengan aplikasi super.
“Dari 24.000 aplikasi itu, kami pelan-pelan mulai lakukan shutdown atau ditutup, dan pindahkan pelan-pelan,” ungkapnya.
Penulis: Hammam Izzudin
Editor: Purnawan Setyo Adi