Pekerja Digital di Indonesia Hampir Mati Dikoyak Internet Lemot. Begini kok Dituntut Produktif

ilustrasi Masih Jadi Misteri, Kantor Indihome di Kala Gangguan Pakai Provider Apa mojok.co

MOJOK.CO Tidak bisa disangkal kalau kecepatan internet di Indonesia memang kacrut. Walau sudah lebih baik, tetap saja kacrut. Pekerja digital di Indonesialah yang paling tersiksa menghadapinya.

Mau survei dari lembaga apa pun, kecepatan internet di Indonesia masih tergolong lemot, pake banget.

Laporan Speedtest terbaru bahkan menyebutkan bahwa Indonesia berada di urutan ke-121 dari 139 negara dalam urusan kecepatan internet. PR ini tampak nggak selesai-selesai dari zaman Pak Tifatul Sembiring nyeletuk, “… memangnya kalau internet cepat mau dipakai buat apa?” FYI, pernyataan ini sempat viral pada 2014.

Masalahnya, pekerja digital terhitung paling tersiksa dengan kondisi ini. Mereka menanggung ketakutan hantu deadline dan internet lemot turut andil bikin kondisi makin tertekan. Ketika Mojok bertanya kepada pekerja digital tentang jengkel tidaknya menghadapi internet lemot, jawabannya bisa ditebak: penuh amarah.

“SUDAH PASTI, BUNDA! Seringnya pas mati lampu atau hujan, itu internet auto kacrut,” ujar Fhai, kreator konten di salah satu media online, mengatakan kepada Mojok. 

Internet lemot di Indonesia bukan hanya hadir melalui angka survei dari lembaga resmi. Kami meninjau langsung kecepatan internet salah satu provider di Indonesia yang dicek dari area Purwokerto, Jawa Tengah. Hasilnya, kecepatan fix broadband paling prima berada di angka download 20 Mbps dan upload 3,7 Mbps.

Untuk perbandingan, kami mewawancara seorang pekerja digital yang berbasis di Singapura, negara tetangga yang jaraknya cuma sejengkal di peta itu. Kecepatan fix broadband di Singapura berada di angka download 290 Mbps dan upload 98 Mbps. Sebuah fakta yang membagongkan. Kalaupun ada selisih antara kecepatan Indonesia dan Singapura, angkanya masih terlalu jauh untuk disandingkan, terasa nggak level.

“… ya semakin baik kualitas internetnya makin lancar kerjanya, makin singkat waktu tunggunya. Dan ini ngaruh ke mana-mana, termasuk ke mood,” kata Andika Kurniantoro, senior DevOps engineer di Illumina Singapura, kepada Mojok.

Kecepatan internet dan produktivitas pekerja digital itu setali tiga uang, sudah menjadi kebutuhan, bahkan bukan hanya bagi pekerja yang berdomisili di Indonesia. Di Singapura sendiri, menurut Andika, harga berlangganan internet dengan paket kecepatan 1 Gbps sekitar 40 dolar Singapura dan itu setara dengan biaya hidup tiga hari. Tergolong murah untuk layanan secepat itu. Di Indonesia, 2019 silam IndiHome pernah menyatakan menyediakan paket wifi dengan kecepatan 1 Gbps. Harganya waktu itu: Rp17,5 juta.

Secara teknis Indonesia belum bisa menyediakan kecepatan internet seciamik negara lain karena masalah sistem. Indonesia membedakan antara bandwidth lokal dan internasional. Mustahil bagi pelanggan untuk memperoleh internet cepat dengan harga yang masuk akal. Padahal pekerja digital berurusan dengan kecepatan, dituntut selalu online, dan responsif terhadap perkembangan isu sosial.

“Makin cepat internet makin cepat lo ngumpulin informasi makin cepat artikel selesai. Perform artikel juga bakal bagus,” Fhai menjelaskan pentingnya internet cepat dari kacamatanya sebagai kreator konten. Sedangkan ketika pekerja digital harus berurusan dengan klien, problemnya bakal lebih kompleks.

“… ada klien butuh cepet, butuh hari itu juga atau besok, susah tuh. Apalagi video yang sampai 2 GB lebih, beberapa video lagi, butuh seharian nggak bisa ditagih cepet,” tambah Sabilurrosyad, videografer media online yang tinggal di Jakarta. Nggak hanya kreator konten yang berjibaku dalam unggahan tulisan yang merasa tersiksa. Mereka yang mendedikasikan diri sebagai videografer juga pusing.

Videografer Mojok sendiri mengatakan lamanya waktu mengunggah konten YouTube membutuhkan waktu berjam-jam tergantung ukuran file. Semakin besar ya semakin perlu banyak istigfar, berdakwah, kalau sempat ya umrah sekalian untuk menunggu pekerjaan selesai.

Atmosfer work from home rupanya juga jadi kendala baru bagi pekerja digital. Untuk menyiasati tagihan internet, mereka perlu mencari rumah tinggal atau indekos yang tarif sewanya sudah termasuk fasilitas wifi. Kalau tidak tentu bisa boncos membayar tagihan internet sendiri. Belum lagi jika kantor lepas tangan dan tak mau membiayai kebutuhan internet karyawan, rasanya seperti kiamat sugro. Sudah lemot, mahal pula, semakin sedih saja siksa dunia kepada pekerja digital di Indonesia.

Kalau ditanya “internet lancar buat apa?” tentu jawabannya bakal selesai dijabarkan sampai besok lusa. Mulai buat cari informasi, cari inspirasi, upgrade diri, dan tentu saja buat cari kebahagiaan sebagai oase di tengah panasnya kemarahan klien. Lebih serius lagi, kecepatan internet itu bisa membuka banyak peluang.

“… self-driving car ini peluang kan, tapi kan susah dicapai kalau infrastruktur internetnya nggak bagus. Teknologi-teknologi ini butuh near-real time data transfer lho. Ya pilihannya cuma internet yang berkualitas (5G yg bagus),” jelas Andika. Percuma juga kita punya imajinasi yang warna-warni seperti pelangi SpongeBob, tapi tidak didukung dengan internet yang baik. Pupus sudah harapan.

Bagi pekerja digital, kebutuhan internet sudah mirip kebutuhan pokok yang memang harus ada bagaimana pun kondisinya. Kalau kebutuhannya tidak terpenuhi dan tuntutannya macam-macam ya nggak mashok. Masih menurut Andika Kurniantoro, peran regulator itu sangat penting. Di Singapura sendiri, ketika provider mati seharian, otoritas berhak memberikan penalti. Provider pun harus ganti rugi ke pelanggan yang dianggap dirugikan. 

Kalau di Indonesia, boro-boro sih. Mati seharian solusinya tetap restart modem. Paling jauh customer service bakal ngasih alasan kalau sedang ada perbaikan kabel. Begitu terus sepanjang tahun.

Terkadang kita patut curiga internet lemot di Indonesia adalah sebuah konspirasi agar netizen nggak kebablasan barbarnya. Maklum, internet lemot saja netizen Indonesia sudah setara tentara siber super kuat. Sasaran yang sudah ditumbangkan sejauh ini adalah GothamChess, bule Korea Selatan yang rasis di Omegle, akun Microsoft, dan akun Instagram All England.

BACA JUGA Netflix Rilis Indeks Kecepatan ISP Indonesia, Telkom Jadi yang Paling Lambat dan artikel KILAS lainnya. 

Exit mobile version