MOJOK.CO – Njoto dalam lintasan sejarah kerap disebut sebagai salah satu elit PKI yang menonjol. Di usia yang muda ia sudah mengendalikan koran terbesar ‘Harian Rakyat’ dan menjadi orator ulung yang pernah dimiliki PKI.
Bulan September sudah pasti jadi bulan rutin hantu PKI ‘dibangkitkan’ lagi. Bulan ini nama PKI dan tokoh-tokohnya selalu disebut-sebut. Bukan soal kontroversi peristiwanya yang kali ini akan kita bahas. Namun, salah satu elit PKI yang sering kita dengar namanya: Njoto.
Njoto merupakan anggota politbiro PKI selain DN. Aidit, M. Lukman, Sudisman, dan Sukirman. Sepak terjangnya pernah dikupas oleh Muhidin M. Dahlan dari Warung Arsip di program Jas Merah Mojok. Tayangannya bisa kalian saksikan di sini.
Gus Muh, sapaan dari Muhidin M. Dahlan, setidaknya menyoroti dua hal yang identik dengan Njoto. Pertama, sebagai jurnalis yang hebat. Lalu, kedua, sebagai orator dan ahli debat yang termasyhur. Bagaimana Njoto menjalankan peran ini dengan luar biasa, mari kita bahas satu-satu.
Njoto sebagai jurnalis
Njoto sebagai seorang jurnalis tentu saja terkenal karena kepiawaiannya dalam menulis dan membesarkan koran milik PKI ‘Harian Rakjat’. Njoto yang lahir pada tanggal 17 Januari 1927 mengasah kemampuan jurnalistiknya di Yogyakarta dan menimba ilmu dari seorang tokoh bernama Siaow Giok Tjhan. Profil tokoh ini bisa kalian lihat di sini.
Sejak usia yang masih belia, 23 tahun, Njoto sudah masuk dalam jajaran elit PKI. Ia ditugaskan untuk membangun media massa sebagai basis propaganda partai. Media massa ini berbentuk koran dengan nama ‘Harian Rakyat’. Koran ini sebelumnya milik Siaow Giok Tjhan yang kemudian dipasrahkan kepada Njoto untuk dibesarkan dan dikelola secara profesional.
Di tangan Njoto, ‘Harian Rakyat’ berkembang pesat dengan rekor oplah yang pernah menyentuh 60.000 eksemplar. Koran ini terbit setiap hari. ‘Harian Rakyat’ kemudian berubah menjadi mimbar dan halaman depan PKI. Jargonnya ‘untuk rakyat hanya ada satu harian, Harian Rakyat!’
Pasar utama dari ‘Harian Rakyat’ tentu saja anggota PKI. Koran ini dikelola oleh kader partai yang menjadi wartawan profesional. Mereka sebelumnya digodok terlebih dahulu di Akademi Abdul Rivai, sebuah lembaga pers milik PKI yang melatih kadernya untuk menjadi jurnalis yang berideologi dan profesional.
‘Harian Rakyat’ mewartakan berita daerah, nasional, dan internasional berimbang. Karena dikelola dengan profesional koran ini juga menerima banyak iklan yang masuk. Namun, karena bahasanya yang lugas dan konfrontatif, ‘Harian Rakyat’ pernah 9 kali dibredel oleh pemerintah hingga tahun 1965. Sebuah rekor tentu saja.
Ketika ‘Harian Rakyat’ dibredel, Njoto memobilisasi pimpinan partai untuk melakukan protes dengan cara yang cerdas. Turun ke jalan menjadi loper koran. Profil besar koran ini adalah Njoto. Setiap tanggal 31 januari, di hari ulang tahun ‘Harian Rakyat’, Njoto selalu menulis artikel reflektif yang sangat panjang di koran ini.
Njoto sebagai juru debat
Sebagai seorang juru debat PKI, kemampuan Njoto tak perlu diragkukan lagi. Ruang editorial ‘Harian Rakyat’ misalnya, menjadi ruang kecil ia berdebat dengan musuh-musuh PKI. Bahkan, salah satu debat terpenting dalah sejarah pers adalah debat Njoto dengan Burhanuddin Mohammad Diah. Harian Rakyat Vs Merdeka. Topiknya Sokarnoisme.
Selain sebagai seorang juru debat, Njoto juga memiliki kemampuan sebagai orator yang sangat segar. Pada usia 25 tahun ia berorasi di depan ratusan siswa SMA di Bojonegoro. Dalam orasinya ia menyebut PKI menyokong setiap usaha memberantas demoralisasi, bukan hanya di kalangan pelajar tapi siapapun—termasuk dirinya sendiri—yang melakukan demoralisasi. Penyebab demoralisasi adalah film cabul, buku cabul, dan musik cabul.
Debat paling monumental yang melibatkan nama Njoto terdapat di sidang-sidang Dewan Konstituante terutama sesi penentuan dasar negara tahun 1956-1958. Salah satunya, perdebatan yang melibatkan PKI dan Masyumi soal sila pertama Pancasila. M. Natsir, ketua Masyumi, berpidato panjang lebar soal negara islam dan syariat islam.
Namun, Njoto punya pandangan lain. PKI mengusulkan ‘kemerdekaan beragama dan berkeyakinan hidup’. Alasannya kalimat itu paling cocok dengan politeisme yang masih eksis di bumi Nusantara. Seperti Kaharingan, Tengger, Kejawen, Sunda Wiwitan, Marapu, Permalim, dll. Perdebatan panas ini kemudian melahirkan sila ‘Ketuhanan yang Maha Esa’. Bagaimana kisah selengkapnya tentang Njoto, bisa kalian saksikan lewat link di bawah ini:
Penulis: Purnawan Setyo Adi