Mengonsumsi Pangan Lokal, Menyelamatkan Bumi dan Merawat Tradisi

pangan lokal mojok.co

Suasanan workshop Punk Pangan: Konsumsi Pangan Lokal adalah Perlawanan. (Purnawan S. Adi/Mojok.co)

MOJOK.COMengonsumsi pangan lokal punya beragam manfaat. Tak hanya sebagai upaya merawat tradisi yang sudah diwariskan turun temurun, namun juga sebagai upaya menyelamatkan bumi.

Diah Widuretno dari Sekolah Pagesangan, Gunungkidul menjelaskan bahwa sistem pangan lokal ditandai dengan komponen produksi, konsumsi, dan distribusi bahan pangan yang masih dilakukan dalam radius jarak yang dekat.

Proses sirkulasi bahan pangan yang dekat itu membuat kualitas kesegaran terjaga. Lebih dari itu, ini bisa juga jadi upaya untuk mengurangi krisis iklim yang ternyata disumbang banyak dari sistem pangan global.

“Semakin dekat, semakin segar. Semakin jauh proses rantai distribusi pangan membuat lebih banyak dampak buruk yang ditimbulkan,” ujar Diah.

“50 persen kerusakan lingkungan dan kenaikan suhu disumbang produksi dan distribusi pangan. Sistem produksi pangan begitu massif,” lanjutnya dalam workshop Punk Pangan: Konsumsi Pangan Lokal adalah Perlawanan yang digelar Minggu (28/8).

Diah mencontohkan, terigu dari gandum yang biasa digunakan sebagai bahan berbagai pangan pokok untuk pemenuhan kebutuhan karbohidrat masyarakat itu berasal industri pangan besar. Lahan yang digunakan tidak dalam skala kecil, namun berasal dari ribuan hingga jutaan hektar.

Beberapa bahan pokok pangan global seperti gandum sangat rentan terhadap kenaikan suhu. Kenaikan suhu akibat pemanasan global bisa memicu krisis pangan. Maka pangan lokal bisa jadi salah satu cara untuk mengurangi ketergantungan pada hal-hal tersebut.

Lebih lanjut, Diah menjelaskan setidaknya ada dua alasan mengapa kita patut mencoba memanfaatkan pangan lokal untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Pertama terkait aspek ketelusuran, pangan lokal lebih mudah untuk ditelusuri sumbernya. Kita dapat mengetahui bagaimana pangan itu diproduksi hingga didistribusi karena bersumber dari sekitar tempat tinggal. Dengan itu, kualitas pangan baik secara kandungan maupun dampak yang dapat ditimbulkan dari proses distribusinya dapat kita pahami secara lebih mendalam.

Kedua yakni upaya untuk kritis terhadap sumber pangan. Kritis dengan cara mengidentifikasi sumber pangan lokal yang bisa dimanfaatkan jika terjadi kenaikan suhu yang menyebabkan pangan pokok yang diproduksi masif seperti padi dan gandum terganggu.

“Contohnya umbi-umbian. Kenapa kok umbi dianggap pangan yang kompatibel terhadap kenaikan suhu bumi? Karena seperti singkong, ganyong, dan talas lebih adaptif. Tapi kenapa tidak dikonsumsi massal? Karena politik pangan yang berkiblat pada sistem pangan global,” jelasnya.

Pangan lokal, merawat tradisi

Sekolah Pagesangan merupakan inisiatif warga di Wintaos, Girimulyo, Panggang, Gunungkidul yang tergerak untuk melestarikan sistem pangan lokal yang sudah ada turun temurun. Kondisi geografis di sana yang relatif terisolir dan berada di atas lahan kars membuat masyarakat hidup adaptif.

“Kondisi alam seperti itu, jadi orang sana membuat sistem pangan yang membuat mereka bisa bertahan sampai sekarang,” jelasnya.

Bagi warga di sana, ketentraman dapat dirasakan jika urusan pangan sudah aman. Ada kesatuan antara apa yang diproduksi di lahan sekitar dengan apa yang mereka konsumsi sehari-hari.

“Mereka punya daya hidup dengan situasi yang terbatas,” ujarnya.

Tahun 80-an misalnya, setiap rumah warga di Wintaos memiliki lumbung pangan yang disebut juga pesucen. Pesucen menjadi hal yang sakral dan suci, tempat menyimpang bahan pangan seperti jagung, sorgum, hingga jali-jali.

Meski kini tradisi itu mulai tergerus modernisasi, mereka masih tetap berusaha mempertahankan. Sembari melakukan adaptasi dengan situasi saat ini.

Workshop Punk Pangan: Konsumsi Pangan Lokal adalah Perlawanan yang digelar di Kancane Coffee & Tea Bar jadi acara pembuka di ulang tahun Mojok yang kedelapan. Selain Diah, hadir juga Monika Swastyastu dari komunitas studi pangan Bakudapan yang ikut memandu diskusi terkait isu pangan lokal.

Acara berlangsung interaktif, usai pemaparan informasi dan diskusi, peserta diajak menyaksikan langsung proses memasak pangan lokal yang dilakukan ibu-ibu dari Sekolah Pagesangan.

Pengolahan umbi-umbian seperti kimpul, singkong hingga tempe dari kacang koro yang berasal dari kebun-kebun di Wintaos. Semua itu merupakan makanan yang biasa warga konsumsi sehari-hari. Peserta antusias menjajal setiap menu yang dimasak di samping panggung utama itu.

Reporter: Hammam Izzudin
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Ancaman Krisis Pangan Bisa Mendorong Perpindahan Masyarakat Global

Exit mobile version