Mengenal HIK Solo: Serupa Angkringan Jogja, Sudah Ada Sejak Masa Penjajahan

Mengenal HIK Solo: Serupa Angkringan Jogja, Sudah Ada Sejak Masa Penjajahan MOJOK.CO

Ilustrasi Mengenal HIK Solo: Serupa Angkringan Jogja, Sudah Ada Sejak Masa Penjajahan. (Mojok.co)

MOJOK.COTernyata sedikit masyarakat Yogyakarta yang paham dengan istilah HIK. Banyak yang menyebut HIK sama dengn angkringan. 

Belakangan, teman saya yang berasal dari Solo cukup terkejut karena masyarakat Yogyakarta sedikit yang mengenal istilah HIK. Katanya, tempat makan ini punya perbedaan mendasar dengan angkringan.

HIK, konon berasal dari singkatan “hidangan istimewa kampung” ini memang merupakan lokasi kuliner yang lazim kita temui di Solo dan sekitarnya. Saat berkunjung ke Solo, belum lengkap rasanya jika belum nongkrong di HIK.

Sebenarnya, saya sempat menjelaskan bahwa warga Yogyakarta lazim menyebut HIK dengan istilah angkringan. Namun, teman saya tetap ngotot bahwa meski angkringan dan HIK itu sekilas sama, tetap ada beberapa perbedaan di dalamnya.

Jika menggali akar sejarahnya, kemunculan HIK memang sudah ada sejak masa kolonial Hindia Belanda. Hal ini tak lepas dari transformasi Kota Solo yang kala itu jadi salah satu kota besar dan pusat keramaian.

Seperti apa sejarahnya?

Sejarah munculnya HIK di Solo

Melansir laman resmi Warisan Budaya Tak Benda Kemendikbud, sejarah HIK sudah bermula sejak masa kolonial Hindia Belanda, tepatnya awal abad ke-20. Pada 1902, Solo mulai bertransformasi sebagai kota yang ramai. Beberapa titik sudah teraliri listrik, yang bikin suasana malam jadi lebih terang.

Alhasil, situasi itu pun memacu pertumbuhan kota. Pertunjukan layar tancap di alun-alun, bioskop di Taman Kebonrojo dan Sriwedari, serta urbanisasi yang unik, mulai jadi fenomena lazim.

Hal tersebut akhirnya bikin beberapa pedagang dari Klaten untuk datang ke Solo. Pada malam hari, misalnya, mereka mulai menjajakan makanan ringan kepada penonton pertunjukan malam. Kala itu, makanan yang mereka jual masih dipikul–bukan pakai gerobak atau lapak.

Para penjual ini biasanya berkeliling. Mereka mencari titik-titik keramaian seperti taman Sriwedari dan Pasar Pon. Para pedagang makanan inilah yang diklaim sebagai pencetus HIK.

Laman Kemendikbud juga mencatat, Mbah Karso Dikromo, adalah salah satu dari sekian pedagang yang sukses dalam perantauannya di Solo pada 1930-an. Pada saat itu, ia merintis usahanya dengan jualan terikan, yakni makanan dari Jawa Tengah berkuah kental dengan lauk tempe atau daging. 

Lambat laun, menu jualannya makin beragam. Ia mulai menjual aneka minuman, sate-satean jeroan, hingga nasi kucing. Menu-menu ini hingga saat ini menjadi makanan yang wajib ada dalam setiap warung HIK.

Apa bedanya dengan angkringan?

Banyak yang mengklaim kalau antara HIK dan angkringan itu sama. Hanya istilahnya saja yang beda. Di Solo, punya sebutan HIK, sementara warga Yogyakarta lazim menamainya angkringan.

Menu-menu yang disajikan pun serupa. Mulai dari nasi kucing, sate jeroan (sundukan), gorengan, hingga teh dan susu jahe. Menu tambahan biasanya menyesuaikan dengan selera masyarakat setempat.

Namun, sebenarnya ada sedikit pergeseran makna untuk hari ini. Di Solo, HIK lebih identik dengan tempat nongkrong yang menyajikan menu-menu angkringan. Artinya, menu-menu dijual bukan lagi pakai gerobak dorong, melainkan sudah ada lapak khusus.

Mirip-mirip coffee shop, tapi menjual menu angkringan.

Sementara yang kita anggap sebagai angkringan, yakni menu tradisional yang cara menjualnya dengan gerobak dorong, orang Solo lebih akrab menyebutnya wedangan.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Menikmati Uniknya Angkringan Majas yang Rasa dan Harganya di Luar Nalar

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

 

Exit mobile version