MOJOK.CO – Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) akhirnya resmi disahkan DPR. Pengesahan UU ini menjadi jawaban banyak pihak sebagai payung hukum penanganan kekerasan seksual setelah 10 tahun mangkrak.
Pasca pengesahan UU TPKS, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) menggandeng perguruan tinggi, salah satunya UGM, dalam upaya mengimplementasikan regulasi tersebut di lapangan. Sebab pemerintah akan membuat peraturan turunan dari UU tersebut.
“UGM menjadi bagian dari lahirnya UU TPKS. Kami mohon bantuannya terkait sosialisasi, aturan pelaksanaan UU melalui lima PP (peraturan pemerintah-red), lima perpres (peraturan presiden-red). Bagaimana UU, regulasi yang sudah melalui proses yang panjang ini benar-benar implementatif di lapangan,” ujar Menteri PPA, I Gusti Ayu Bintang Darmawati usai menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Rektor UGM, Panut Mulyono di UGM, Selasa (17/05/2022).
Keterlibatan kampus, menurut Bintang untuk melakukan pendampingan pemerintah untuk menyelesaikan isu-isu perempuan di Indonesia. Apalagi isu perempuan dan anak sangat kompleks dan multisektoral.
Karenanya Kementerian PPA membangun kolaborasi dengan UGM. Sebab kasus kekerasan seksual di Indonesia seperti gunung es. Berbagai kasus terus bermuculan dalam beberapa waktu terakhir.
“Ketika kita ada, ketika kampus mengeluarkan peraturan rektor, masyarakat sudah merasa korban (kekerasan seksual) akan mendapatkan keadilan, perlindungan, akhirnya banyak (kasus) terungkap,” tandasnya.
Sementara Panut mengungkapkan UGM memang memiliki keterlibatan aktif dalam sejumlah aturan terkait kekerasan seksual. Mulai dari Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (kemendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di perguruan tinggi hingga UU TPKS.
“Seperti yang Bu Menteri (Bintang) sampaikan, turunan undang-undang (TPKS) dalam bentuk perpres, peraturan pemerintah yang lebih rendah kan harus dibuat agar menjadi pedoman bagi implementasi di lapangan, UGM sangat concern bagaimana UU ini implementatif,” paparnya.
Ditambahkan Tenaga Ahli Pusat Studi Wanita UGM, Sri Wiyanti Eddyono, Sejumlah isu perlu menjadi prioritas pemerintah dalam membuat turunan UU TPKS. Diantaranya kekerasan seksual berbasis online yang semakin melonjak pasca pandemi COVID-19.
“Soal kekerasan seksual berbasis online kan luar biasa sekarang,” tandasnya.
Sri menyebutkan, berdasarkan data dari Komnas HAM, kasus kekerasan seksual di Indonesia pasca pandemi naik 400 persen lebih. Padahal penanganan dan penegakan hukum kasus semacam itu masih sulit dilakukan.
Banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk penanganan kasus kekerasan seksual. Mulai dari tenaga ahli Teknologi Informasi (TI) yang mencari keberadaan pelaku hingga peran lintas sektoral dalam menangani informasi dokumen elektronik.
Belum lagi pembiayaan pembiayaan untuk korban kekerasan seksual. Tak hanya untuk memberikan keamanan namun juga logistik dan pembiayaan bagi pendampingannya.
“Nah ini yang menurut saya menjadi problem yang harus segera ditangani,” imbuhnya.
Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Purnawan Setyo Adi