Jangan pernah heran jika dalam waktu dekat ini, Jokowi akan mendapatkan gelar sebagai Bapak Burung Indonesia. Maklum saja, ketika banyak terjadi fenomena lelaki dimarahi istrinya habis-habisan karena terlalu banyak menghabiskan waktu dengan burung kesayangannya, Jokowi hadir mendobrak dan menjadi pembela bagi para lelaki “kedanan manuk” tersebut.
Beberapa waktu yang lalu, dengan mantap, Jokowi mengatakan bahwa hobi memelihara burung yang ada di Indonesia telah berhasil menggerakkan perekonomian kerakyatan mencapai Rp1,7 triliun per tahun.
“Ada pembuatan sangkar burung, kemudian makanan burung, jadi berkembang dan hitungannya tadi untuk perputaran Rp 1,7 triliun per tahun. Artinya di sisi penangkaran, pakan, sangkarnya, obat-obatannya,” kata Jokowi saat menghadiri festival dan pameran burung berkicau di Kebun Raya Bogor, Minggu 11 Maret 2018 lalu.
Seperti diketahui, Indonesia memang menjadi salah satu negara dengan jumlah burung endemik tertinggi di dunia. Hingga saat ini tercatat ada sekitar 1.660-an jenis burung yang ada di Indonesia. Dengan keanekaragaman ”burungi” ini, tak heran jika kemudian di Indonesia banyak muncul penggemar burung atau yang sering disebut sebagai “kicau mania”.
Dunia hobi burung menjadi salah satu hal yang tak terpisahkan di dalam masyarakat Indonesia. Di seluruh belahan nusantara, pasar burung hampir tak pernah sepi. Penangkaran burung banyak tersebar di mana-mana. Pembuatan sangkar, penjualan obat-obat burung, sampai rekaman audio kicau burung selalu menjadi hal yang banyak dicari, terutama oleh para kaum lelaki.
Karenanya, apa yang dikatakan oleh Jokowi tentang potensi hobi memelihara burung dalam bidang perekonomian Indonesia itu menjadi sangat penting posisinya.
Yah, setidaknya, besok, para suami yang dimarahi istrinya karena terlalu fokus sama burung peliharaannya jadi punya bahan untuk berkilah.
“Bu, aku tidak sedang bersenang-senang sama burung, aku sedang berusaha ikut menggerakkan perekonomian kerakyatan,”
Agaknya memang benar apa kata orang Jawa soal burung, “Mending kedanan manuk, tinimbang manuke edan,”