Jalan Klitih Pelajar Yogya: Orang Tua Terimpit Ekonomi, Alumni Lebih Ditakuti

pelaku klitih mojok.co

Pelajar pelaku klitih di Yogyakarta. (Dok. Polda DIY)

MOJOK.COPelajar pelaku klitih terjebak dalam situasi yang membuat mereka berada dalam situasi kekerasan. Satu sisi orang tua mereka terdesak secara ekonomi, apalagi saat terjadi pandemi. Di sisi lain, mereka berada dalam lingkaran pergaulan senior dan alumni sekolah.

Akar masalah ini sekaligus dapat menjadi pendekatan sebagai solusi klitih, selain langkah-langkah formal seperti rencana penyediaan sekolah khusus dari Pemda DIY. Pegiat pendidikan, Muhammad Nur Rizal, menjelaskan bahwa perubahan-perubahan serta tekanan yang muncul akibat pandemi bisa menjadi salah satu hal yang memicu aksi klitih oleh para remaja.

Menurutnya, banyak anak remaja harus menghadapi perubahan dinamika di dalam keluarga, sekolah, relasi pertemanan, serta lingkungan masyarakat. Dalam situasi yang demikian kompleks, anak sulit untuk memenuhi kebutuhannya akan ruang ekspresi diri.

“Manusia butuh aktualisasi diri. Tapi belakangan ini anak muda tidak punya ruang untuk berekspresi baik di sekolah, di keluarga, maupun di masyarakat sekitarnya,” ucap penggagas Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) yang berbasis di Sleman ini, Minggu (17/4).

Ketika pembelajaran dilaksanakan sepenuhnya secara daring, menurut dia, banyak aktivitas yang bagi para siswa dapat menjadi ruang untuk berekspresi, berkarya, dan berinteraksi hilang. Demikian juga ruang interaksi di lingkungan masyarakat.

Anak banyak menghabiskan waktu di rumah, namun masalahnya banyak keluarga tidak memiliki relasi yang baik. “Banyak orang tua mengalami efek pandemi dan terpuruk secara ekonomi sehingga mereka lupa untuk membangun kedekatan dan komunikasi yang intensif dengan anak,” kata Rizal yang juga pengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM).

Padahal, anak juga mengalami banyak persoalan baru,, sehingga perlu mendapat perhatian dan pendampingan dari orang tua. Hal ini membuat relasi antara anak dengan orang tua semakin jauh, dan banyak anak melarikan diri ke dunia teknologi.

“Ketika ruang interaksi dan partisipasi berkurang, anak lari ke dunia teknologi. Bagi sejumlah anak, ketika dia terpapar pada hal-hal negatif dia kemudian mencoba menerapkannya,” imbuhnya.

Menurut Rizal, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa sejumlah perubahan pada perilaku kejahatan, termasuk aksi klitih. Untuk itu, sejumlah pendekatan dapat dilakukan untuk mencegah remaja terlibat dalam aktivitas negatif seperti klitih, salah satunya dengan menciptakan lingkungan yang positif.

“Lingkungan positif harus dimaknai sebagai lingkungan yang memberi rasa aman bagi siswa untuk melakukan kegiatan sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, juga dimaknai dengan adanya peran masyarakat yang terkecil dalam membangun kegiatan yang partisipatif,” paparnya.

Selain itu, sekolah dan keluarga perlu membangun penalaran dan kesadaran anak, memperbanyak ruang refleksi dalam proses belajar dan mendorong anak untuk mengenali potensi, keunikan, dan emosinya. Anak menurutnya perlu lebih banyak terlibat dalam kegiatan belajar yang berbasis masalah, di mana anak didorong untuk melakukan aktivitas yang positif bagi masyarakat.

“Anak tidak boleh teralienasi dari masyarakat. Belajar membangun rasa empati, dan sejak muda dia mengerti bahwa ilmu pengetahuan, keterampilan diri, dan kompetensi sosialnya bermanfaat bagi orang lain, dengan begitu anak tidak merasa sebagai useless generation,” ujar Rizal.

Aksi klithih mendapat banyak sorotan setelah meninggalnya DAA, pelajar SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta, pada Minggu (3/4) lalu. Adapun peneliti Jogja Police Watch (JPW), Baharudin Kamba, menyoroti keterlibatan alumni sekolah dalam aksi klitih. Ia menawarkan beberapa cara yang diharapkan dapat memutus mata rantai kejahatan jalanan ini.

Pertama, kata Kamba, melakukan pemetaan dan pendataan para alumni atau senior yang tentunya berpengaruh di geng sekolah atau geng pelajar.

“Selanjutnya, pemerintah setempat dapat melakukan pengenalan atau silaturahmi kepada para alumni atau senior ini. Tentunya pengenalan ini butuh waktu yang tidak sebentar dan tidak ujug-ujug,” kata dia.

Setelah pengenalan atau silaturahmi yang lama itu, pemerintah setempat dapat menawarkan atau membuka lowongan pekerjaan bagi para alumni atau senior ini. “Di sela-sela memberi pekerjaan bagi para “alumni” atau senior ini, pemerintah setempat ngobrol dari hati ke hati agar para “alumni” atau senior ini membantu pemerintah untuk menekan aksi-aksi klitih di Yogyakarta. Dipastikan kedua belah pihak merupakan orang lokal Yogyakarta.”

Yang terakhir, monitoring dan evaluasi atau monev secara berkala atas langkah tersebut harus terus dilakukan. Pendekatan ke alumni itu, menurutnya, karena para pelaku klitih selama ini lebih takut, lebih patuh dan lebih manut sama para senior atau alumni ketimbang pada orangtua atau sekolah. “Salah satu penyebab munculnya aksi klitih juga adalah adanya peran alumni atau senior di sekolah,” ujarnya.

Reporter: Arif Hernawan
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Polda DIY Tangkap Pelaku Klitih Pembunuh DAA dan kabar terbaru lainnya di KILAS.

Exit mobile version