Jogja Darurat KDRT, Ironisnya Hanya Sedikit yang Diproses Hukum

kdrt mojok.co

Ilustrasi kekerasan. (Mojok.co)

MOJOK.COKasus KDRT di Jogja tergolong tinggi. Ada 156 laporan hingga Agustus 2022. Namun, hanya sedikit kasus yang bisa diproses secara hukum.

Beberapa hari terakhir, kasus terkait kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ramai diperbincangkan. Mulai dari penyanyi dangdut Lesti Kejora yang melaporkan suaminya. Lalu,  pasangan Baim-Paula yang dikecam karena membuat konten prank laporan KDRT.

Namun, sejatinya, di Jogja sendiri, kasus soal KDRT cenderung tinggi. Berdasarkan laporan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB), hingga Agustus 2022 saja telah ditemukan 156 kasus KDRT di DIY. Laporan ini dicatat dalam Sistem Informasi Gender dan Anak (SIGA).

Kepala DP3AP2KB Edy Muhammad menjelaskan bahwa total ada 156 kasus sampai dengan Agustus, dan itu tercatat di SIGA. Artinya, ini data gabungan termasuk dari lembaga lain, seperti Rifka Annisa dan lainnya.

Ia menambahkan, kasus KDRT tidak cuma dialami oleh perempuan saja, tapi juga anak-anak. Bahkan, dibarengi juga dengan kekerasan seksual. Pihaknya pun akhirnya memperpanjang masa kerja sama dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) guna memberikan pendampingan dan pertimbangan hukum kepada para korban.

Berdasarkan data yang ada, ironisnya, dari 156 kasus yang ditemukan, kurang dari seperempat atau hanya 24 kasus yang maju ke meja hijau. Sisanya berakhir dengan cara damai alias kekeluargaan, yang salah satunya ditengahi oleh lembaga Rumah Restorative Justice (RRJ) bikinan Kejaksaan Tinggi DIY bersama Pemkab Bantul.

Salah satu kasus yang ditengahi oleh RRJ adalah perkara yang melibatkan suami istri, Sinyo (37) dan Vita (40) di Bantul, awal tahun ini. Saat itu, Vita melaporkan KDRT yang dilakukan suaminya. Meski proses hukum sempat bergulir, pada akhirnya kasus itu berakhir damai setelah ditengahi RRJ.

Kepala Kejaksaan Tinggi DIY Katarina Endang Sarwestri menyebut, tujuan RRJ dibentuk agar semakin banyak tindak pidana ringan dapat diselesaikan dengan cara musyawarah dengan melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama. Bahkan, ke depan ia mengharapkan lebih banyak lagi dibentuk RRJ di wilayahnya.

Namun, Sosiolog UNY Sasiana Gilar Apriantika, cukup menyayangkan akhir damai yang diputuskan RRJ untuk sejumlah kasus KDRT di Jogja. Ia menyadari, bahwa lembaga tersebut memang dibangun dengan tujuan baik, yakni pengendalian sosial di level lokal. Namun, jika tak ada identifikasi level kejahatan yang jelas, justru bakal menimbulkan masalah ke depannya.

“Harus ada identifikasi yang jelas dari RRJ terkait kejahatan ringan, menengah, atau berat, yang bisa atau tidak bisa untuk direstorasi [didamaikan],” ujarnya kepada Mojok, Kamis (6/10/2022).

“Dalam konteks KDRT, ini harusnya masuk ranah pidana, sudah ada undang-undangnya juga. Jadi, harusnya dalam penanganannya pun masuk ke wewenang penegak hukum, bukan lagi RRJ,” sambungnya.

Sasiana juga khawatir, jika semua perkara terkait KDRT diputuskan damai oleh RRJ, malah bakal menurunkan kesadaran (awareness) masyarakat soal bentuk-bentuk kekerasan domestik dalam keluarga.

“Dulu KDRT dianggap aib, jadi tidak banyak dilaporkan. Kini, masyarakat sudah mulai aware soal isu ini, terutama jika ia menimpa perempuan. Jika KDRT selalu berakhir damai, dikhawatirkan justru menurunkan kesadaran publik bahwa ini isu serius,” tegasnya.

Kendati demikian, akademisi yang fokus di diskursus perempuan dan gender ini tetap memahami, mengapa hari ini masih banyak kasus KDRT yang berakhir secara damai. Bahkan, banyak yang tidak dilaporkan.

“Ada normalisasi kekerasan dalam keluarga atas nama pernikahan. Pernikahan dianggap sakral, mengikat secara agama dan hukum negara. Maka, ketika terjadi kasus KDRT, korban pun memilih untuk bertahan daripada dianggap mengotori kesakralan tersebut,” ujar Sasiana.

Faktor budaya dan stereotype, lanjutnya, juga ia anggap sebagai alasan lain yang menyebabkan mengapa banyak korban pada akhirnya memilih diam ketika terjadi kekerasan domestik dalam keluarga.

“Ketika memilih melapor dan akhirnya cerai, korban dianggap egois karena tidak memikirkan nama baik keluarga, nasib anaknya, dan belum lagi jika ada gosip tetangga. Bagaimanapun, ini preseden yang tidak baik,” pungkasnya.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Film Paranoia Angkat Tema KDRT yang Kompleks Meski Nanggung

Exit mobile version