Kotabaru, Permukiman Orang-orang Eropa yang Dibangun Bukan dengan Patokan Arah Angin 

Kotabaru, Permukiman Orang-orang Eropa yang Dibangun Bukan dengan Patokan Arah Angin 

Salah satu pertunjukan di Kotabaru Avond Fest di kawasan Kotabaru, Kota Jogja, Jumat (30/6/2023). (Ardhias Nauvaly/Mojok.co)

MOJOK.COKawasan Kotabaru di Yogyakarta awalnya merupakan permukiman orang-orang Eropa yang mulai dibangun pada tahun 1917-1920. Berbeda dengan konsep tata kota di Yogyakarta tradisional yang menggunakan patokan arah angin, Kotabaru menggunakan konsep konsentris atau melingkar. 

Pesona Kotabaru ini yang oleh Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta munculkan kembali melalui Kotabaru Avond Fest di sepanjang jalan I Dewa Nyoman Oka, Jumat (30/6/2023). Festival yang berlangsung dari sore ini diisi dengan ragam kegiatan mulai dari diskusi sejarah, dansa, sampai jazz jalanan.

Caesaria Eka Yulianti, Kepala Bidang Industri Pariwisata Kota Yogyakarta, mengutarakan empat pilar Kotabaru  sebagai kawasan cagar budaya, antara lain: sejarah, garden city, premium, dan wisata malam. “Keempat pilar itulah menjadi sajian utama dalam festival ini,” kata Cesaria. 

Dari sisi sejarah, ada diskusi yang menceritakan Kotabaru dari beragam sisi. Pembicaranya ada Inajati Adrisijanti (pensiunan Guru Besar Arkeologi UGM), Romo Haruno Suryokusumo (Pastur pada Kolese St. Ignatius Kotabaru), dan Aprizal Apriandi (pemilik bangunan cagar budaya di Kotabaru). 

Perancang Kotabaru adalah Thomas Karsten yang juga arsitek dari Pasar Johar Semarang, Stasiun Solo Balapan, dan beberapa kawasan di Batavia. Sang arsitek mengusung konsep garden city dengan tata kota konsentris atau melingkar. Berbeda dengan tata kota Yogyakarta tradisional yang menggunakan patokan arah mata angin. 

Munculkan kembali garden city dalam bentuk Kotabaru Avond Fest

Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta coba memunculkan kembali konsep tata kota gardern city Kotabaru dalam bentuk festival. Di bawah pohon-pohon rindang bulevar, berjejer kios-kios jajanan yang menjual mulai jajanan elit seperti roti Prancis hingga jajanan pasar seperti jenang. 

Ada pula yang jualan kain etnik, kopi, dan buku. Uniknya, kios-kios ini dinamai sesuai situs kolonial yang ada di Jogja seperti Loji Kecil dan Loji Marlborough.

Seperti di taman, anak-anak pun bebas bermain. Festival yang konsepnya seperti hajatan komplek dengan menutup ruas jalan ini juga ramai oleh bocah-bocah yang berlarian kesana kemari. Bahkan, beberapa di antaranya pede saja berjoget di depan panggung utama, di hadapan penonton dan tamu undangan berkostum Indis dan Jawa.

Salah satu anak itu adalah Sulton. Dia datang bersama bapaknya, Igo, penampil badut asal Kotagede. Sulton, dengan boneka kapibaranya, mondar-mandir menemani bapaknya yang beratraksi di Kotabaru. Ketika Igo istirahat, Sulton belum habis tenaga. Sampai beberapa kali Igo geleng-geleng kepala.

Igo, alumnus Manajemen UPNVY angkatan 1996, senang dengan acara ini. Selain karena dia dapat kerja, festival ini mengingatkan kita perlunya ruang terbuka untuk rekreasi. “Sekarang ruang terbuka seperti lapangan dan sawah sudah habis karena pembangunan,” keluhnya.

Untuk dua pilar sisanya, premium dan wisata malam, festival ini berupaya membuka jalan Kotabaru menjadi penyeimbang Malioboro yang sudah begitu padat. Pernyataan ini dikeluarkan oleh Zandaru, Sekretaris Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta. 

Reporter: Ardhias Nuavaly Azzuhry
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Padat Padahal Masih Undangan, Beginilah Cara ArtJog 2023 ‘Balas Dendam’ Total

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version