MOJOK.CO – Di tepi kali Loji Pekalongan berdiri bangunan bekas Fort Peccalongan. Bangunan tersebut dulunya berfungsi sebagai benteng pertahanan VOC. Kini, bangunan tersebut masih gagah berdiri meski berubah fungsi.
Pekalongan selama ini terkenal dengan sebutan Kota Batik. Industri batik berkembang di wilayah yang terletak di pesisir utara Pulau Jawa ini. Batik sudah menjadi identitas kota ini sejak dulu kala. Bahkan pada logo daerah Pekalongan, terdapat logo “canting” yang menjadi simbol batik.
Namun kali ini, Mojok tidak akan membahas perihal batiknya. Kami justru tertarik dengan gambar “benteng” yang juga terpampang jelas di bagian atas logo kota. Benteng tersebut merujuk pada bangunan bersejarah yang masih gagah berdiri di jantung kota Pekalongan. Kini benteng tersebut beralih fungsi menjadi rumah tahanan negara (rutan). Letaknya di tepi kali loji, di belakang belakang Museum Batik.
Fort Peccalongan, benteng kokoh sisa kejayaan VOC di Pekalongan
Pembangunan Benteng Pekalongan tak terlepas dari adanya Perjanjian Giyanti. Di salah satu poinnya mengatur tentang berkurangnya wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di pesisir Pulau Jawa, termasuk di Pekalongan. Kemudian pada 1740-1742 di Batavia (Peristiwa angke) terjadi perlawanan warga Tionghoa terhadap Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
Peristiwa yang populer juga dengan nama Geger Pecinan ini dampaknya merembet ke daerah lainnya. Banyak warga Tionghoa yang terbunuh namun benteng-benteng VOC berhasil direbut. Pascaperistiwa tersebut, VOC memperkuat pertahanan dengan membangun benteng di daerah Bugisan Pekalongan pada 1753.
Benteng tersebut bernama Fort Peccalongan atau Fort de Beschermer yang berarti benteng sang pelindung. Luas tanahnya ada di angka 7.435 m2, sedangkan luas bangunannya 1.720 m2. Pelukis Denmark yang menjadi pasukan VOC, Johannes Rach pernah melukis wujud benteng ini dari dua sisi pada 1775. Kini lukisan tersebut tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)
Menurut anggota Komunitas Heritage, Dirhamsyah, benteng tersebut dibangun untuk mengawasi pelabuhan yang ada di Krapyak. Kehadiran benteng tersebut memudahkan pasukan VOC memantau kapal-kapal yang masuk lewat pelabuhan melalui Kali Loji.
“Dulu juga masih ada armada di depannya, sekarang sudah dibangun rumah warga,” kata Dirham, melansir dari Kompasiana.
Dulu benteng itu juga berfungsi untuk mengawasi wilayah sekitar yang masih berupa hutan belantara. Menurut dokumen Residance Rothen Buhler (1786), kala itu Pekalongan saat itu masih sedikit, lebih banyak hewan buas di hutan. Penduduk Pekalongan saat itu rata-rata berprofesi sebagai petani. Ini yang membuat kota Pekalongan dulu menjadi sentra pangan Kerajaan Mataram, lumbung padinya terdapat di Wiradesa.
Pengambilalihan dan perubahan fungsi benteng ini
Tatkala VOC bangkrut pada 1799, pemerintah Hindia Belanda mengambil alih Fort Peccalongan. Fungsinya tak banyak berubah yakni sebagai tempat pertahanan sekaligus pengawasan. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah mengambil alih benteng Fort Peccalongan–tepatnya pada 1950.
Fungsi benteng kemudian benar-benar berubah yakni menjadi lembaga pemasyarakatan alias lapas (LP II). Kemudian pada 1985 Kementerian Kehakiman mengubah fungsinya menjadi Rumah Tahanan kelas II A. Penyebutannya sudah bukan lagi benteng, melainkan Rutan Loji.
Benteng Pekalongan telah melakukan mengalami empat kali renovasi. Pertama pada 1976, dengan membangun gedung kantor lapas. Kedua dan ketiga pada 1989, dengan membangun pagar pembatas dan pagar inspeksi. Terakhir pada 2009, dengan peninggian tembok penjara setelah ada kasus narapidana kabur melewati tembok tersebut.
Alih guna bangunan ini menjadi rutan banyak memunculkan ketidaksetujuan dari budayawan dan sejarawan. Mereka berharap bangunan bersejarah ini difungsikan sebagai museum atau sanggar budaya.
Penulis: Iradat Ungkai
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Kantor Pos Pekalongan: Bangunan Penting dan Bersejarah, namun Diabaikan Warga Kotanya Sendiri
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News