Dulu Primadona, Kini Jalur Juwana-Batang jadi Neraka di Pantura

Gubernur Jateng mengecek ruas Jalan Batangan di Pati, Jawa Tengah. Jalan ini selalu jadi keluhan masyarakat, sampai dapat julukan jalur neraka di pantura MOJOK.CO

Gubernur Jateng mengecek ruas Jalan Batangan di Pati, Jawa Tengah. Jalan ini selalu jadi keluhan masyarakat. (Jatengprov.go.id)

MOJOK.COJalur Juwana-Batang punya julukan sebagai jalur neraka di Pantura. Bagaimana tidak, tiap tahun jalanan ini selalu mengalami kerusakan yang berimbas pada macet parah. Padahal, zaman dahulu, jalur ini menjadi primadona penyokong perekonomian Hindia Belanda.

Jalur Pantai Utara Jawa alias Pantura sudah eksis sejak masa Kerajaan Mataram Islam. Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels kemudian melakukan revitalisasi jalan ini saat  memimpin (1808-1811).

Daendels memasukkan jalur Pantura dalam proyek raksasanya, Jalan Raya Pos, yang membentang 1.000 kilometer dari Anyer, Banten hingga Panarukan, Jawa Timur.

Lekas setelah pembangunan Jalan Raya Pos di Pantura rampung, ia segera jadi jalur yang vital. Seperti yang kita tahu, memasuki abad ke-20, ada puluhan pabrik gula  atau suikerfabriek yang dibangun di sekitaran Pantura. Jalur Juwana-Batang pun segera ramai oleh lalu lintas kendaraan pengangkut gula.

“Jalur Gula” Pulau Jawa

Sejarah mencatat, ada puluhan pabrik gula (PG) yang pemerintah Hindia Belanda dirikan di sekitar Jalan Pantura. Salah satu yang terkenal, dan berada di rute Juwana-Batang adalah PG Cepiring yang berlokasi di Kendal.

Penelitian Libra H. Inagurasi dari Universitas Indonesia (2010) menunjukkan, PG Cepiring sudah berdiri sejak masa Tanam Paksa 1835. Ia dimiliki perusahaan perkebunan bernama Maatschapij tot Exploitatie der Kendalsche Suikerfabrieken.

Berdasarkan catatan Libra, ada empat pabrik gula yang berdiri di Karesidenan Semarang, lokasi PG Cepiring berada. Hingga 1905, terdapat 15 ribu pribumi, 400 orang Tionghoa, dan 100 orang Eropa yang bekerja di pabrik-pabrik tersebut.

Memang, Libra mencatat, jalur kereta api masih menjadi pilihan utama untuk distribusi gula-gula hasil produksi. Namun, setelah Jalan Raya Pos di Pantura buka, jalur ini menjadi rute alternatif pengiriman gula maupun bahan mentah dari Jawa Barat dan sebaliknya.

Kala itu, Jalan Raya Pos tepat berada di sebelah selatan PG Cepiring. Alhasil, jalan ini pun menjadi satu dari tiga jalur yang PG Cepiring pakai untuk mendistribusikan gula.

Menurut catatan Libra, PG Cepiring punya tiga jalur utama. Jalur kereta, yang sebagian besar untuk distribusi gula ke wilayah-wilayah Surakarta, Yogyakarta, dan sekitarnya. Jalur laut, melalui perahu di Kali Bodri yang terhubung ke laut, dipakai untuk mengirim gula ke Batavia.

Sementara jalur Juwana-Batang, jadi rute untuk mengirimkan hasil produksi ke wilayah-wilayah Pantura lain, seperti Pekalongan dan Cirebon. Sangat vital, bukan?

Jalur neraka Pantura yang mulai ramai sejak 1920

Memasuki abad ke-20, jalur kereta api lebih efektif dalam pengiriman hasil produksi gula. Namun, jalan raya, khususnya di Pantura, tetap menjadi primadona bahkan makin ramai oleh kendaraan pribadi.

Menurut catatan Endah Sri Hartatik dalam bukunya Dua Abad Jalan Raya Pantura (2018), sejak 1907 mulai terdapat layanan kendaraan bermotor di Pulau Jawa. Bahkan, pada 1922, tercatat ada impor sebanyak 1.502 unit mobil ke Jawa.

Kepentingan mobil di kalangan pabrik gula tercatat juga meningkatkan impor otomobil menjelang depresi ekonomi (krisis malaise) 1930. Kata Endah, jumlahnya mencapai 10 ribu unit.

Banyaknya impor mobil ini seturut dengan beroperasinya Jalan Pantura untuk masyarakat umum. Sebelumnya, Daendels hanya memperuntukkan jalanan ini untuk kendaraan-kendaraan pelat pemerintah, atau kepentingan industri negara.

Maka, segera setelah menjadi jalan umum, jalur Juwana-Batang pun langsung ramai. Sebabnya, selain jadi rute terpanjang di Pantura, ada banyak lokasi-lokasi penting di sepanjang jalur ini. Termasuk keberadaan kantor pos, pasar-pasar, hingga permukiman baru yang mulai bermunculan.

Sepanjang 1929-1930, bahkan 44 ribu mobil, 4 ribu truk, 7 ribu sepeda motor, dan 2 ribuan bus lalu lalang di jalan ini. Kondisi jalan pun mendapat perhatian lebih, yang sejak 1930 biaya pemeliharaan jalan di rute Juwana-Batang jadi yang terbesar.

Sayangnya, kini jalur yang dulu jadi primadona ini punya julukan yang berkebalikan, yakni jalur neraka Pantura. Kerusakan jalan yang diikuti pembangunan secara reaktif, sudah jadi hal lumrah. Kemacetan, jadi makanan sehari-hari. Apalagi saat mudik, pengendara pun bisa menginap berhari-hari di jalan karena macet parah.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Sejarah Jalur Pantura, Ada Sejak Mataram Islam yang Tumbalkan Nyawa Ribuan Pribumi di Masa Belanda

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version