Biennale Jogja XVI: Melihat Lebih Dekat Diaspora di Kawasan Oseania

Biennale Jogja kali ini mempertemukan praktik seni rupa Indonesia dengan Oseania

Biennale Jogja XVI Equator #6 berlangsung dari 6 Oktober hingga 14 November 2021. Pameran seni rupa dua tahunan ini mengambil tema Root <> Routes.

Biennale Jogja kali ini mempertemukan praktik seni rupa Indonesia dengan Oseania. Kegiatan ini melibatkan 34 seniman dan komunitas dari berbagai daerah dan negara, seperti Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Tangerang, Ambon, Jayapura, Maluku Utara, Kaledonia Baru, Auckland, New Zealand, Australia, Timor Leste, Belanda, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Korea.

“Mempertimbangkan banyaknya seniman dan kegiatan yang dihelat, kami membagi kegiatan pameran di 4 lokasi, yaitu Jogja National Museum sebagai venue pameran utama, yang mengangkat tema Roots<>Routes, kemudian Pameran Arsip Biennale Jogja di Taman Budaya Yogyakarta, yang merangkum gagasan dan dinamika sepanjang 10 tahun penyelenggaraan Biennale Jogja seri Khatulistiwa serta dengan apik menghadirkan Museum Khatulistiwa. Pameran lainnya adalah Bilik Negara Korea dan Taiwan di Museum dan Tanah Liat dan Indie Art House,” ujar Gintani Nur Apresia Swastika.

 

Karya lukisan damar kurung Sriwati. Foto Purnawan S. Adi.

Di sela-sela kesibukannya sebagai Direktur Biennale Jogja, Gintani berbincang dengan Mojok, Jumat (8/10) perihal Biennale Jogja Equator. Ia menjelaskan bahwa semenjak lahirnya Yayasan biennale Jogja arah biennale memang jadi lebih terfokus pada kawasan equator untuk mempertemukan praktik-praktik seni yang ada di kawasan tersebut.

Tercatat pada tahun 2011 Biennale Jogja XI diselengarakan bekerja sama dengan India, lalu Biennale Jogja XII 2013 bersama Arab, Biennale Jogja XIII 2015 bersama negara-negara di benua Afrika, Biennale Jogja XIV 2017 bersama Brazil (Amerika latin), dan Biennale Jogja XV 2019 bersama negara-negara Asia Tenggara. Nah untuk tahun 2021 ini dibayangkan akan merangkum putaran equator dan yang tersisa tinggal Asia Pasifik.

“Awalnya kan kita menggunakan term pasifik. Setelah kita ketemu dengan teman-teman yang ada di New Zealand dan Australia, meskipun mereka berada dalam kawasan itu tapi sebagian besar yang kita temui adalah teman-teman pribumi/first nation, hampir sebagian besar mengkonfirmasi bahwa mereka lebih nyaman diidentifikasi sebagai Oseania,” ungkap Gintani.

Perihal Oseania sendiri secara kultur bisa dikatakan dekat dengan Indonesia mengingat sebagian dari wilayah Indonesia timur bagian dari pasifik; polinesia, Melanesia, Austronesia. Untuk itu jika kita melihat sajian karya-karya yang ditampilkan pada Biennale kali ini isu-isu yang dibawa terasa dekat dengan kita.

Hal ini dikonfirmasi oleh Gintani bahwasanya tema-tema yang muncul adalah hasil diskusi dengan kawan-kawan Oseania. Ada empat isu utama yang diangkat; diaspora, internasionalisme, dekolonialisme, desentralisasi, dan pengetahuan tempatan atau lokal.

“Kasus-kasus kayak di New Kaledonia jelas kita punya latar belakang keterikatan latar belakang yang panjang, banyak etnis jawa di sana. Isu diaspora dan internasionalisme yang kami bayangkan tentu saja bukan mengarah pada Eropa,” ujarnya.

Karya Shivanjani Lal “5 Prayes for 5 Generation”. Foto Purnawan S. Adi.

Ada tantangan yang muncul selama proses penyelenggaran biennale tahun ini, tentu saja keterbatasan karena situasi pandemi. Riset yang dilakukan tak leluasa, korespondesi dengan seniman-seniman yang terlibat hanya bisa dilakukan via daring. Sembari itu biennale mengirim dua kuratornya, Ayos Purwoaji dan Elia Nurvista ke Indonesia bagian timur.

“Karena pandemi dan faktor travel restriction kami mengirim kurator ke Indonesia bagian timur. Istilahnya kayak serambi pasifik. Ayos Purwoaji ke Papua, Maumere, Kupang, dan kawasan nusa tenggara. Sedangkan Elia Nurvista ke Ambon dan jazirah Maluku. Proses yang dilakukan disana adalah bertemu dengan teman-teman seniman dan komunitas di sana. Lebih ke mendalami budaya di sana,” ungkap Gintani.

“(seniman dari Oseania) ngga ada yang ke sini karena ngga bisa. Kalaupun bisa harus karantina dulu padahal seniman kan udah mau install karya. Jadi dari kurator menawarkan gagasan biennale jogja, tema-temanya seperti apa, kalau misal mereka tertarik terus kita lanjut lagi nanti karyanya dikembangkan lagi presentasinya.”

BACA JUGA Gara-gara Kutipan ‘Cantik Itu Luka’, Novelis Eka Kurnaiawan Diserang Akun Kecil di Rubrik KILAS.

Exit mobile version