Peristiwa penangkapan tiga terduga teroris oleh Densus 88 Antiteror dan Polda Riau di kampus Universitas Riau (UNRI), Sabtu 2 Juni 2018 kemarin memunculkan banyak tanggapan dari beberapa tokoh.
Salah satu tanggapan yang cukup menjadi sorotan tentu saja adalah tanggapan dari wakil ketua DPR Fahri Hamzah. Dalam salah satu komentarnya, Fahri mengkritik cara kerja Densus 88 dan Polri yang menggrebek terduga teroris di dalam area kampus Universitas Riau dengan menggunakan senjata laras panjang.
Fahri menyebut, masuknya senjata laras panjang ke area kampus adalah sebuah kemunduran.
“Kenapa senang menampakkan pasukan bersenjata dan laras panjang masuk kampus? Ini Polri atau kompeni? #SaveKampus,” tulis Fahri di akun Twitternya.
Menanggapi tanggapan Fahri Hamzah ini, Polri akhirnya buka suara.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto memberikan penjelasan terkait protes yang dilayangkan oleh Fahri Hamzah.
Manurut Setyo Wasisto, apa yang dilakukan oleh Polisi dan Densus 88 adalah sudah sesuai dengan prosedur.
“Jadi begini, penangkapan kasus teror tidak sama dengan penangkapan kasus lain,” kata Setyo. “Jadi bagaimana SOP-nya membawa senjata panjang (masa) yang masuk harus ganti pakai tongkat polisi misalnya, sementara bomnya sudah siap,” lanjutnya.
“Jadi tolong rekan-rekan pahami penangkapan atau upaya paksa kasus terorisme itu ada prosedurnya.”
Selain itu, keputusan Polisi dan Densus 88 untuk melakukan penangkapan disertai dengan senjata laras panjang karena adanya informasi tentang adanya bom dan bahan peledak di area kampus.
Informasi tersebut belakangan benar adanya, sebab dalam penggeledehan, Densus 88 menemukan bom pipa yang siap meledak, beberapa bahan peledak, senapan angin, hingga granat tangan.
Yah, yang sabar ya Pak Polisi. Dalam hal apa pun, memang akan selalu ada yang pro dan yang kontra.
Khusus untuk kasus ini, mungkin Pak Fahri Hamzah terlalu banyak menonton film Boboho, terutama yang berjudul “Naughty Boys and Soldier”, yang mana ada adegan melempar granat dan memukulnya dengan tongkat pemukul kasti.