Hizbut Tahrir Indonesia mau dibubarkan, katanya. Proses legalnya masih menunggu apa, jangan tanya saya. Silakan japri Pak Wiranto saja. Tapi terlepas dari soal-soal prosedural begituan, saya lebih tertarik berandai-andai tentang bagaimana sikap kita pasca-pembubaran HTI.
Begini. Saya sendiri setuju HTI dibubarkan. Terserah mau antum bilang fasis atau orbais atau pemakan bangkai saudara seiman, tidak ada landasan nalarnya sebuah organisasi seperti itu dibiarkan tumbuh, bahkan diberi legalitas di negara bernama Republik Indonesia.
Lah, kita ini kan bernegara dalam sebuah proyek bersama, dalam kesepakatan bersama, dalam sebuah perahu yang ditumpangi bersama. Kita sama-sama berlayar ke selatan, taruh kata begitu. Tiba-tiba ada segelintir anggota keluarga merangsek meminta kita belok ke timur sembari berteriak-teriak mengatakan bahwa jalur ke selatan itu salah dan membawa kita ke neraka. Begitu mau dibiarkan?
Itu baru diandaikan bahwa mereka segelintir orang. Padahal HTI itu organisasi rapi, dengan jumlah massa ribuan dan terus membesar, punya tokoh ustaz seleb yang tak kalah populer dibanding sesama ustaz seleb yang lain, dan semua kadernya tak kenal lelah terang-terangan menyebarkan paham mereka yang anti-NKRI.
“Kami tidak menolak Pancasila! Prinsip-prinsip Pancasila senafas dengan khilafah, jangan salah! Tidak ada satu pun semangat kami yang bertabrakan dengan nilai-nilai Pancasila! Lagi pula jika Khilafah berdiri, NKRI akan sejahtera di bawah hukum syariat!”
Hehehe. Sudah bosan saya mendengar retorika aduhai semacam itu. Sebenarnya sih secara tekstual saya sepakat. Saya sepakat bahwa memang Pancasila tidak berbenturan dengan khilafah. Namun, ya gitu, yang tidak berbenturan cuma sebatas nilai-nilai normatifnya. Dengan kata lain, HTI memosisikan Pancasila tidak lebih sebagai kata-kata mutiara motivasi yang baek-baek dan endah-endah ala Pak Mario saja.
Selebihnya, mustahil ada cita-cita tegaknya khilafah di atas fondasi Pancasila. Semesra apa pun hubungan maknawi antara Pancasila dan Khilafah, tetap saja HTI tidak mencita-citakan NKRI sebagai bentuk negara, Pancasila sebagai dasar negara, dan UUD 1945 sebagai konstitusinya.
Kalau nggak percaya, coba sekarang berdiri di depan kaca lalu ucapkan deretan kalimat ini keras-keras: “Mari kita berjuang menuju berdirinya khilafah islamiyah yang berlandaskan Pancasila dan UUD 45”. Rasanya tetep fals, to? Hehe.
Makanya, bubarkan ya bubarkan saja. Beres.
Tapi sebentar. Mari kita tuma’ninah sejenak. Seruput kopi Anda sedikit, sedot rokok dalam-dalam, embuskan asapnya sampai menyentuh langit-langit kesadaran.
Coba kita renungkan: yang mau dibubarkan tuh sebenarnya apanya sih? Benar, yang akan dibubarkan adalah organisasinya, organisasi bernama Hizbut Tahrir Indonesia. Yang akan dilarang adalah aktivitas organisasi, kepengurusan organisasi, juga mungkin tampilnya nama dan simbol organisasi di ruang-ruang publik.
Lantas bagaimana dengan gagasan-gagasan, ide-ide mereka tentang khilafah dan syariat Islam, kritik mereka atas sistem thogut NKRI? Malang sekali, para anti-HTI akan kecewa. Sebab, tidak ada dasar legal apa pun untuk melarang itu semua. Bahkan harus disadari, bukan cuma alasan legal yang tak ada, landasan rasional alias fondasi yang jauh lebih mendasar ketimbang sekadar perkara hukum pun tidak ada.
“We have to differentiate between ideology and institution. If they ban the PKI, that’s up to them. And that’s all they can do. But banning ideology, is nothing. That is impossible to do.”
Dalam situasi-situasi seperti ini, saya jadi terkenang perkataan Gus Dur yang satu itu. Pernyataan jernih yang beliau almukarom ucapkan dalam wawancara dengan Mas Lexy Rambadetta tentang tragedi 1965 lalu dimunculkan di film dokumenter Mass Grave. Kalimat Gus Dur itu sangat simpel untuk menuntun kita agar tertib berpikir, memahami bahwa institusi berbeda dengan ideologi. They, mereka (dalam konteks ini adalah Orde Baru), bebas-bebas saja melarang PKI. Tapi, melarang ideologi Komunisme itu konyol dan sia-sia. Ideologi tidak bisa dilarang.
Kenapa? Ideologi terletak di dalam kepala dan hati. Bukan di selembar bendera, di kertas dengan kop notaris, apalagi sekadar di fanpage Fesbuk.
Kekuasaan bisa melarang institusi. Dengan cara menutup situs webnya, menyegel kantor sekretariatnya, atau menyobek dan membakar poster-poster kegiatannya. Namun, Densus 88 sekalipun mustahil bisa masuk ke dalam otak dan hati manusia, lalu memborgolnya, atau membelitkan kawat bronjong untuk menahan ide-ide dan keyakinan yang muncul dari sana.
Dalam hal ini sebenarnya HTI tak ada bedanya dengan PKI. Tidak, saya tidak hendak mengatakan bahwa konsep khilafah sama dengan cita-cita Komunisme. Jelas keduanya tak ada persis-persisnya. Maksud saya, yang sama adalah nasibnya. Pelarangan PKI dan pelarangan HTI akan berujung pada konsekuensi yang agak mirip. (Buat antum yang sudah telanjur panas cuma gara-gara baca judul tulisan ini, silakan duduk kembali.)
PKI memang dilarang, kemunculan simbol-simbol palu arit juga dilarang. Aturan hukum tentang itu toh masih eksis. Namun, diskusi-diskusi tentang Komunisme, tentang tragedi ‘65, juga penerbitan buku-buku tentangnya, adalah aktivitas intelektual yang terhormat dan dilindungi hukum. Oleh karena itu, sweeping buku Kiri dan pembubaran diskusi film bertema Kiri adalah aksi-aksi pelanggaran hukum, kontraproduktif dengan semangat pembelajaran publik, dan penindasan atas kemerdekaan berpikir.
Dengan posisi semacam itu bagi PKI dan Komunisme, apakah kita akan bersikap diskriminatif dan memperlakukan gagasan khilafah secara berbeda? Sudah siapkah kita untuk berjuang membela spirit kebebasan berpikir jika suatu saat pasca-pembubaran HTI, para pejuang khilafah itu menggelar diskusi menyebarkan buku-buku berisi gagasan dan kritik mereka atas banyak hal?
Mari berandai-andai. Taruh kata, suatu kali nanti mereka menggelar seminar berjudul “Meluruskan Pemelintiran Sejarah Khilafah Islam” atau apalah. Tidak ada embel-embel nama HTI di situ, tidak ada provokasi kekerasan di situ, tidak ada ajakan penggulingan kekuasaan pemerintah resmi di situ. Lalu para pemuda pembela NKRI datang, menggerebek dan membubarkannya. Nah, apa kita siap membela hak-hak para khilafaher itu dengan menyebarkan 7 juta tagar #TolakPembubaranDiskusi?
Saya sendiri tidak merasa cukup siap untuk itu. Berat. Tapi, sebagaimana kesetiaan, berdemokrasi pun kadang-kadang menyakitkan. Sudah menjalaninya dengan kesakitan, masih pula dibilang sistem setan. Hoahm ….