Lihat Kakek-Kakek Jualan Kok Yang Muncul Rasa Iba, Ya Kagum Dong Harusnya

kakek-kakek jualan

MOJOK.CO – Beli dagangan kakek-kakek atau anak-anak di pinggir jalan kok jadi iba itu gimana sih? Mereka itu dagang woy, bukan ngemis dan sedang butuh rasa kasihanmu.

“Kasihan ya? Bapaknya udah tua gitu. Aku selalu nggak tega sama orang tua yang masih kerja gitu.”

Ujar teman kantor saya saat kita baru turun taksi dari makan siang. Taksi yang tadi kita tumpangi memang disupiri oleh seorang bapak-bapak yang mungkin dua jam lagi juga sudah berubah jadi kakek-kakek. Bapaknya sendiri tadi biasa saja sih, nggak yang sembari batuk-batuk menyupiri kami atau sambil bercerita tentang kehidupannya yang pilu di umur segitu masih harus kerja.

Tanpa bisa ditahan, saya merespons, “Lho, kok kasihan? Justru harusnya kagum ngelihat orang tua masih bisa kerja. Bapaknya kerja lho, bukannya kena musibah atau sakit.”

Dan teman saya itu terlihat cukup kaget. Mungkin kaget karena kalimat saya barusan ada benarnya atau kaget karena ternyata saya sejahat ini hatinya.

Jujur, saya sering mempertanyakan apakah saya ini segitu jahatnya karena sering dalam hati mencibir mereka yang mengasihani (bahkan mengajak orang lain untuk mengasihani) orang-orang yang sudah tua (atau masih kecil) tapi masih bekerja tapi sudah bekerja. Kalau boleh, saya ingin sedikit memberikan pembelaan untuk cibiran saya tersebut.

Pertama, mereka sedang bekerja. Terlepas dari apakah pantas orang yang sudah setua itu masih bekerja atau masih sekecil itu sudah bekerja, orang yang sedang berusaha keras mencari rezeki dengan cara yang baik tidak sepantasnya dikasihani.

Tentu, akan sangat ideal kalau semua anak-anak hanya fokus bersekolah dan bermain dan semua senior bisa beristirahat menikmati usia lanjut mereka. Tapi sistem dunia ini sudah tidak memberi ruang untuk kemungkinan semua orang bisa hidup dengan standar hidup yang sama.

Jadi situasi orang-orang yang harus bekerja keras lebih awal atau lebih lama akan selalu ada di dunia ini. Perasaan iba ke orang yang sedang bekerja seperti ini berpotensi menciptakan bisnis iba.

Pasti banyak yang sudah mendengar betapa kaya rayanya para pengemis dan calonya di Jakarta tempat saya tinggal ini. Di mana ada yang sampai mampu membeli mobil Honda CR-V dan rumah hanya dari rasa kasihan para kelas menengah di Jakarta.

Selentingan yang saya dengar namanya sebagai “bisnis iba”. Tentu tidak ada tujuan untuk membandingkan bapak taksi dengan pengemis, sama sekali tidak. Poin saya adalah tidak ada baiknya mengasihani orang yang sedang bekerja karena setelah “ditolong” pun, besok dan besoknya lagi mereka akan kembali bekerja seperti itu.

Ambil contoh anak penjual di wilayah Jogja yang terakhir diviralkan yang ternyata sebelumnya pun pernah viral dan masuk artikel media daring. Coba, harus berapa kali adik ini dikasihani sama orang-orang?

Dan jujur, saya sedikit sedih saat si adiknya ditanya apa boleh difoto dan dijawab—kurang lebih; “Ya terserah dong, kan udah beli.” Hal yang malah jadi semacam “souvenir” orang-orang kelas menengah yang berwisata ke daerah berekonomi rendah.

Apalagi mengingat si adik ini sebelumnya juga sudah pernah difoto-foto dan ditanya-tanya untuk topik yang sama. Saya berharap si adik tidak pernah kepikiran: “Apa aku semiskin itu ya?”

Saya sih berharap si adik ini tidak menjadi rendah diri karena dijadikan objek kasihan orang lain yang salah tempat.

Kedua, saya meyakini rasa mengasihani orang seperti ini lebih ke sisi egois orang-orang yang merasa mereka lebih “beruntung” (karena tentu saja, jumlah harta adalah cara paling mudah mengukur keberuntungan seseorang dalam hidup).

Dalil “yang penting niatnya baik” selalu jadi senjata pamungkas membenarkan rasa iba ke orang yang sedang bekerja. Dan seperti yang selalu saya katakan ke orang-orang yang memberikan alasan ini: Hitler itu juga niatnya baik.

Alasan niat baik ini juga semakin mempertegas motif egois mengasihani orang. Saya bisa melihat bahwa mayoritas kelas menengah adalah orang-orang yang sebenarnya baik dan punya keinginan yang besar untuk membantu orang lain namun tidak punya (tidak mau?) waktu dan tenaga untuk terlibat dalam kegiatan sosial yang lebih riil akan mengubah kehidupan warga kelas bawah.

Adanya sosok-sosok adik atau bapak tua penjual ini menjadi alternatif bagi mereka untuk (merasa) berbuat baik. Mereka mendapat perasaan; “Ah, gue baik banget jadi orang,” saat memberikan uang (receh) ke orang-orang “susah” itu.

Ketiga, rasa iba macam itu akan menjadi ketidakadilan untuk orang-orang yang bekerja serupa. Apa mereka yang berada di umur produktif kerja pun tidak membutuhkan uang untuk keperluan mereka sehari-hari? Bisa jadi yang muda-muda itu juga memiliki cerita yang menyentuh tentang keluarga mereka tapi karena mereka tidak memenuhi standar dikasihani atau tidak ada yang tertarik menanyakan kisah hidup mereka. Masa seseorang harus jadi tua atau anak kecil dulu baru bisa dapat pelanggan?

Saya percaya orang-orang yang membagi cerita anak kecil penjual makanan kecil atau cerita pedagang-pedagang tua lainnya adalah orang-orang yang sebenarnya baik hatinya, tidak tegaan ke orang yang tampak memiliki hidup lebih sulit dari mereka.

Tetapi saya tetap percaya lebih baik untuk mengubah cara pikir kita tentang iba karena mereka sedang bekerja dengan penuh harga diri dan tidak pantas menerima rasa iba. Saya tidak lebih tinggi dari mereka. Tidak ada yang salah dengan bekerja keras, tidak ada yang harus dikasihani dari mereka yang begitu kuat menghidupi diri mereka dan keluarganya.

Jadi sebaiknya yang muncul justru bukan rasa iba, tapi rasa kagum. Yang satu muncul karena kita merasa lebih tinggi, yang satu muncul karena kita terinspirasi. Dua hal yang sangat jauh berbeda meski bentuknya sama-sama mau beli dagangannya.

Exit mobile version