Oktober sudah jalan seminggu, tapi berisik tahunan tentang PKI belum benar-benar lenyap dari lini masa. Apalagi dengan kemunculan Aksi 299, yang membela HTI sambil menolak PKI, disusul dengan Forum Syuhada apalah itu yang menjunjung tinggi Dwifungsi ABRI dengan amunisi anti-PKI-nya. Tak ayal, bisik-bisik PKI terus setia mengisi ruang-ruang kesepian kita.
Dari situ, meskipun sudah sangat telat, saya jadi ingin membagi sedikit oleh-oleh jagongan bersama Cak Nun yang dua pekan lalu berkunjung ke Perth, Australia Barat. Kebetulan saya sempat menyisipkan dua pertanyaan yang selama ini membuat banyak orang anyang-anyangen.
Yang nomor satu, soal khilafah. Tempo hari Cak Nun sempat membuat geger: pertama karena menerima Felix Siauw berkunjung ke majelis Maiyah di Sleman. Kedua, peristiwa itu disusul dengan keluarnya tulisan-tulisan Cak Nun yang membela khilafah.
Jelas saja banyak orang kaget. Cak Nun itu di mana-mana bicara kebangsaan, NKRI, dan menyajikan Islam sebagai jalan kemaslahatan bagi keindonesiaan. Kopiahnya Cak Nun saja merah putih, lho! Lha kok ini tiba-tiba jadi ngepro sama khilafah? Yok opo, rek?
Panas hati para die harder NKRI bakalan lebih muntup-muntup lagi manakala mendengar potongan kalimat-kalimat Cak Nun. “Wong Islam kok anti-khilafah? NU kok anti-khilafah? Iki kewanen arek-arek iki (berani-beraninya orang-orang ini). Khilafah itu konsep dari Gusti Allah, lho. Mosok kita mau menantang konsep Tuhan?”
Kalau cuma berhenti di potongan kalimat-kalimat itu, sudah tentu kesimpulan dangkalnya keluar: Cak Nun sudah resmi jadi pendukung HTI. Itu mainan yang legit buat akun-akun Yutub pendulang click bait.
Tapi tunggu dulu, Om.
Ternyata, khilafah yang dibicarakan Cak Nun tidak sama dan sebangun dengan khilafah yang dipromosikan HTI. Itu saja kalimat kuncinya. Selebihnya, saya akan sedikit menceritakan ulang pandangan Cak Nun itu dengan bahasa saya sendiri. Sebab, tentu saja maqom saya belum nutut kalau harus membahasakannya dengan bahasa Cak Nun.
Begini. Ketika Tuhan menciptakan Adam, kata Cak Nun, Dia bukan bicara Adam sebagai manusia atau sebagai Adam, melainkan Adam sebagai khalifah. Khalifah adalah wakil Tuhan di bumi. Inni ja’ilun fil ardhi khalifah. Sesungguhnya Aku (Allah) hendak menjadikan khalifah di muka bumi.
Khalifah itu perannya. Dan khilafah itu konsep dari berjalannya peran tersebut. Perbandingan hubungan antara khalifah dan khilafah tuh semacam antara manusia dan kemanusiaan, pemimpin dan kepemimpinan. Jadi khilafah jelas-jelas perintah Allah, dalam Al-Quran jelas ayatnya sehingga seorang muslim tidak sepantasnya berkata, “Tolak khilafah!”
Persoalannya, ada mekanisme marketing tertentu sehingga apa yang selama ini menancap dalam benak publik tentang khilafah adalah HTI. Sudah telanjur akrab telinga kita mendengar jargon “Khilafah solusinya!” milik HTI. Akibatnya, kita jadi lupa bahwa konsep khilafah bukanlah milik HTI seorang, eh, seormas.
HTI, kata Cak Nun, memosisikan khilafah sudah lengkap siap saji, sebagaimana hidangan di meja makan. Padahal yang namanya khilafah itu benih. Dari benih khilafah itu bisa tumbuh bermacam-macam tanaman. Bahkan NKRI pun khilafah, sepanjang kita menjalankan NKRI ini sebagai perwujudan tugas kita sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Bahkan lebih jauh lagi, jika kita menjalankan peran-peran dalam kehidupan dengan sebaik-baiknya, demi kemaslahatan kemanusiaan, demi pengabdian kita kepada Allah dan kepada kebaikan, itu pun khilafah. Dalam arti kita menjalankan peran kekhalifahan dengan segenap kemampuan kita.
Begitu kira-kira penjelasan Cak Nun. Kalau saya salah tangkap, saya yakin Cak Nun akan memaafkan saya. Jadi saya mohon maafnya bukan ke Cak Nun, tapi ke teman-teman Maiyah saja karena kadang mereka jadi galak banget kalau ada yang salah paham sama Cak Nun. Xixixi. (Gojek, lho, Maaas!)
Makanya, sekali lagi, setidak suka apa pun sampean sama HTI, tidak ada alasan sebagai muslim sampean benci khilafah! Kalau mau bilang, “NU anti-khilafah-versi-HTI” ya silakan saja, tapi jangan bilang, “NU anti-khilafah”! Bisa kualat! Hidup khilafah! Khilafah solusinya!
“Lho, tapi kenapa itu yang diterima kok Felix Siauw?”
Pasti muncul pertanyaan demikian. Nhaaa, kalau soal itu sih pengamatan saya sebagai anak-Maiyah-meski-nggak-rajin-rajin-amat sudah cukup bisa menjawabnya. Gampang saja: karena Cak Nun memang tidak pernah menolak siapa pun datang.
Makanya, kita melihat Sitok Srengenge datang, dan diterima. Kita melihat Kivlan Zen datang, dan diterima. Bahkan orang se-kenthir apa pun kalau datang dan minta ketemu Cak Nun, tidak akan ditolak. Siapa yang pernah ditolak Cak Nun memangnya?
Dan dari Kivlan Zen ini pula saya mau cerita tentang PKI-PKI-an.
***
Begini. Saya sendiri sebenarnya sejak lama tidak sepaham penuh dengan Cak Nun terkait perspektif beliau almukarom atas ontran-ontran lima puluh tahun silam itu. Dari beberapa obrolan di Yutub yang saya simak, tampaknya Cak Nun terlalu berpihak mutlak kepada kelompok antikomunis, dan sama sekali tidak pernah menunjukkan pembelaan terhadap korban badai pembunuhan ratusan ribu orang pada rentang tahun 1965—1966.
Itu pula yang dua pekan lalu saya tanyakan sambil bisik-bisik. Dan ternyata, apa yang tersaji di Yutub memang bukan representasi pemikiran utuh seorang Mbah Yai Ainun Nadjib.
Bahwa Cak Nun memandang situasi tahun 1960—1965 sebagai suasana panas mirip-mirip perang, ada situasi membunuh atau dibunuh, saya juga sependapat. Ini sama sekali bukan justifikasi atas genosida pasca-’65. Tapi, berjibun kesaksian yang memang menggambarkan suasana seperti itu, je. Lha, trus kesaksian pelaku-pelaku sejarah gitu mau dibuang ke mana? Dijepit saja di keteknya Robert Cribb?
“Aku ki, lho, jaman segitu melihat sendiri betapa setiap malam bapakku keluar rumah, berjaga-jaga siap perang. Itu memang suasananya suasana perang. Dan PKI membunuhi itu juga beneran. Di Magetan itu ada satu pesantren habis, bener-bener habis, dihabisi semua sama PKI. Mosok koyo ngono kamu mau bilang PKI semata-mata korban?”
Kira-kira begitu kalimat Cak Nun. Tidak ada rekamannya karena kami cuma ngobrol berdua. Tentu soal itu tidak perlu saya perpanjang karena sikap antikomunis Cak Nun sudah jelas sejak lama. Dan pada sisi sikap atas fakta-fakta sejarah kebrutalan orang-orang komunis itu, baik terkait UUPA maupun bukan, saya sendiri tidak berseberangan dengan Cak Nun.
Namun, segera saya susulkan pertanyaan lanjutan tentang apa yang terjadi pasca-‘65. Ternyata, Cak Nun pun mengakui bahwa ribuan orang tak bersalah turut dibantai pada 1965—1966. Artinya, sebenarnya semua pihak menanggung dosa. Ini rasanya sama dengan pandangan Gus Dur, Agus Widjojo, dan juga Iqbal Aji Daryono (preeet, ini nama terakhir ngapain numpang tenar???).
Dari pandangan Cak Nun tentang dosa semua pihak itulah akhirnya saya bisa masuk ke apa yang sudah saya tahan-tahan untuk saya tanyakan.
“Tapi, Cak, kenapa yang dibawa ke Maiyah cuma Kivlan? Kenapa pihak aktivis, misalnya, yang tekun memperjuangkan kritik sejarah, juga yang membela hak-hak orang yang dizalimi pasca-’65, tidak pernah muncul di Maiyah?”
Semula saya membayangkan jawaban Cak Nun sudah pasti terkait sikap penolakannya kepada PKI. Namun, ternyata lebih simpel dari yang saya bayangkan semula.
“Lho, lha memang mereka nggak pernah ada yang datang, kok.”
Sesimpel itu.
Itu juga yang langsung saya tarik ke karakter Maiyah yang saya sebut di atas, bahwa Maiyah tidak pernah menolak orang sekaligus tidak pernah pula mengemis-ngemis agar orang datang. Lha, wong Maiyah itu bukan ILC, bukan media yang (pura-pura) menyajikan keberimbangan informasi, kok. Maiyah adalah tempat menerima semua orang. Itu saja.
Jadi, di sini saya justru ingin bertanya kepada kawan-kawan aktivis: “Kapan kalian mau datang ke Maiyah? Nanti saya sambungkan.”
“Nggg …,” dengan agak segan saya melanjutkan, “anu, kalau Cak Nun sendiri kenapa nggak pernah cerita soal pasca-’65?”
Kali ini jawaban kiai misuwur yang tidak pernah mau disebut kiai itu pendek saja. “Mengko, mengko.” Nanti, nanti. Tapi kapan?
Dan saya tak perlu menunggu lama untuk kata “mengko” itu. Sebab, sepekan kemudian muncul tulisan Mbah Yai Ainun di CakNunDotKom dengan judul “Terbang Tinggi Indonesiaku”. Di situ terbaca satu paragraf sindiran keren.
“Inilah aku. Ahmaq Sarjana Utama. Tidak bisa menemukan jarak antara partai PKI dengan orang PKI. Antara PKI Indonesia dengan Partai Komunis Dunia. Antara aktivis komunisme dengan anggota BTI. Antara keluarga PKI dengan ideolog PKI. Serta berbagai ‘sama tapi tidak sebangun’ lainnya.”
Lambat laun, saya mulai merasa lega. Ini pasti akan ada lanjutannya. Apalagi kalau teringat bahwa di Perth kemarin itu Cak Nun menyisipkan juga pernyataan bahwa ketakutan atas kebangkitan PKI di zaman ini adalah ketakutan yang berlebihan. Seburuk apa pun pandangan beliau atas PKI di masa lalu, fobia atas komunis di masa kini tetaplah sikap yang berlebihan.
Begitulah kira-kira. Terima kasih, terima sayang, tidak terima buli.