Ssstt. Jangan bilang siapa-siapa. Apalagi ke mereka-mereka yang kurang piknik.
Suatu hari, seorang mahasiswa menyelinap ke antara massa yang berunjuk rasa di pengadilan Ahok. Ia mengenakan jubah panjang. Kepalanya dibalutkan sorban. Tak lupa, ia menjahitkan ornamen-ornamen Arab di tasnya. Hari itu, sang mahasiswa, yang sehari-harinya berpenampilan seperti anak band, tampak gagah dan ganteng.
Tujuan aksi spionase sang mahasiswa, percayalah, sangat mulia. Ia datang untuk menggugurkan salah satu kewajiban paling luhur yang bisa diemban seorang mahasiswa: melakukan penelitian untuk tugas akhirnya. Dan kebetulan, entah terlalu percaya diri, entah terpanggil nurani, entah terpanggil ilmu pengetahuan, ia mengajukan gerakan bela Islam sebagai tema tugas akhirnya.
Apakah ia mendapatkan data yang diperlukannya saat itu? Katanya sih, dapat. Wallahualam. Tapi, yang saya tahu, ia sempat selintas mencicipi nikmatnya menjadi pria berjubah penggerak massa yang hari-hari ini lagi naik daun.
Di tengah-tengah massa itu, ia sekali mencoba berteriak: “Allahuakbar!”
Massa mengikuti: “Allahuakbar!”
Ia mencobanya sekali lagi, “Allahuakbar!”
Massa kembali mengikutinya.
Petangnya, ia menceritakan pengalamannya kepada siapa-siapa yang ditemuinya. Saya, yang kebetulan sedang nongkrong-nongkrong ganteng di kantin kampus, memperoleh amanah menjadi salah seorang pendengar pertamanya.
Satu hal yang langsung saya tangkap: ia jelas kegirangan. Ia terpana akan kemampuannya menggerakkan massa yang tak pernah dimilikinya, sampai hari itu ia mengenakan semua atribut tersebut. Massa serasa ada di genggamannya.
“Seru banget, Mas!” ujarnya.
Saya tak tahu nasibnya di sidang tugas akhir yang seharusnya berlangsung hari-hari ini. Yang pasti, saya tak akan menyalahkannya andai ia tiba-tiba raib dari peredaran, bak orang-orang yang terpanggil sekte tertentu, dan ketika kembali muncul, ia memimpin aksi-aksi massa di berbagai tempat. Saya tak akan kaget kalau-kalau ia ketiban inspirasi dan banting setir menjadi orator, meski tinggal selangkah lagi ia menjadi seorang sarjana yang tercemplung ke dunia pengangguran.
Wajar, dong. Ia mahasiswa yang setiap hari harus sabar mendengarkan kata-kata dosen, tak peduli betapa ngelantur dan kurang baca sang dosen. Sebelum itu, ia adalah siswa yang harus mendengarkan gurunya, menulis apa yang didiktekan tak peduli semua sudah ada di buku cetaknya. Dan ia adalah seorang anak yang harus mendengarkan apa pun kata orang tuanya kalau masih mau uang jajan.
Lalu satu hari di dalam hidupnya, ia tak harus mendengarkan melainkan didengarkan.
Anda pernah menonton serial Breaking Bad mahakarya Vince Gilligan? Kalau pernah, Anda tahu, momen semacam adalah momen genting peralihan eksistensial sang tokoh utama. Sang tokoh akhirnya mencicipi rasanya didengarkan, dipatuhi, dan berpengaruh. Ia akan melalui periode malu-malu kucing yang cukup lama, tapi, ujung-ujungnya, ia akan merengkuh persona barunya tersebut.
Lagi pula, apabila nanti ia memilih jadi peneliti, adakah peneliti ilmu sosial yang bisa menggerakkan ratusan hingga ribuan orang untuk memperjuangkan misi yang sama? Tidak. Apakah menjadi peneliti memungkinkan dia diyakini, diamini, dibela habis-habisan oleh khalayak ramai hanya dengan menyerukan satu-dua kata? Bertahun-tahun melakoni pekerjaan menjemukan ini, saya bisa menjamin: tidak. Urusan menyampaikan kebenaran adalah urusan menyusun argumentasi panjang-lebar, njelimet, bertele-tele yang tak akan didengar orang banyak.
Kalau Anda menggemari figur-figur seperti Pramoedya Ananta Toer, percayalah, mereka adalah orang-orang yang khilaf mau menghamburkan sisa hidupnya—di luar makan, tidur, dan bercinta—di depan mesin tik atau deretan arsip dan buku. Itu pun tanpa jaminan kata-katanya akan didengar siapa pun. Anda, sebagai penggemarnya, juga orang yang aneh. Untuk apa mencari kebenaran dengan membaca buku-buku tebal yang membuang umur kalau Anda bisa tercerahkan lewat satu teriakan seorang orator?
Apa batasan paling tinggi dari karier seorang orator? Oh, luar biasa tinggi kalau Anda mau tahu. PNS, pekerjaan yang konon paling banyak didambakan, akan membawa Anda ke sebuah bilik di mana Anda akan menghabiskan sisa hari-hari kerja Anda di sana. Marketing, pekerjaan yang paling banyak menampung warga Indonesia di kantor yang nampak mentereng, akan menghibur Anda dengan predikat “manajer,” “kepala,” atau “supervisor” di depan titel Anda setelah beberapa puluh tahun berkarier. Sayangnya, itu saja sudah.
Tetapi, orator, sekurang-kurangnya saja, akan membawa Anda ke tempat setinggi hotel mewah Al Safa Royal Palace. Dan kalau Anda pernah mendengar nama Sukarno (semoga pernah), Anda seharusnya tahu ketinggian yang dapat digapai seorang orator. Presiden? Bukan. Pemimpin revolusi internasional yang ditakuti dunia? Ya.
Plus, menjadi orator adalah pengalaman mengasyikkan yang bisa Anda bandingkan dengan kebut-kebutan di arena F1. Adrenalin menderu kencang. Waktu serasa hanya berputar untuk Anda. Buktinya, Rizieq Shihab, figur yang super damai itu, saking terpompanya menghadapi massa pendengarnya, khilaf menjajakan ujaran-ujaran kebencian demi memuaskan dahaga pengikutnya.
Bak jargon sebuah iklan sewaktu saya masih belia dulu: Kalau sudah orasi, lupa berhenti.
Jadi, percayalah. Di hari-hari pascakebenaran ini, tak banyak pilihan karier yang lebih baik dibandingkan menjadi orator. Sedikit bekerja, banyak hasilnya. Tak peduli Anda kelas menengah ngehek atau pekerja serabutan yang tak jelas besok mau makan apa. Kita, toh, sejatinya sama saja. Kita menginginkan pekerjaan yang tak membunuh kita pelan-pelan, bukan?
Kata pepatah kegemaran para motivator, “Pilih pekerjaan yang Anda cintai, Anda tak akan pernah bekerja sehari pun dalam hidupmu.”
Pilihlah menjadi orator.
Dan jika di saat-saat menjelang lebaran seperti ini Anda ingin juga dapat THR seperti orang-orang kantoran, caranya gampang: simpan dulu kemampuan orasi itu, kirim saja surat ke kantor-kantor besar. “Perihal: Permohonan financial Idul Fitri.”