Setidaknya, lebih dari lima kali saya melihat Fransis Magastowo (32) membungkukan badan lantas mengucapkan maaf kepada tamunya. Alasan pertama, karena pengunjung yang sepertinya tidak sabar menikmati pizza buatannya. Kedua, karena ada tamu yang datang tanpa reservasi terlebih dulu.
“Kami nggak tahu kalau harus reservasi dulu,” tamu yang datang itu masih berharap bisa menikmat pizza buatannya. “Kami hanya buat 40 loyang saja. Atau kami bantu reservasi minggu depan, hari Jumat atau Sabtu,” Fransis menawar ke tamunya.
“Kami dari luar kota mas, minggu depan sudah tidak di Yogya lagi,” kata perempuan yang kemudian menggandeng seorang laki-laki meninggalkan tungku di mana Magas tengah membakar pizzanya. Saya jelas melihat raut wajah kecewa keduanya. Tak lama, datang lagi dua orang dengan masalah yang sama, tidak reservasi lebih dulu. Sekali lagi, Fransis meminta maaf. Berbeda dengan dua tamu sebelumnya, mereka mau menerima tawaran Magas untuk reservasi pekan depan.
Fransis Pizza hanya buka hari Jumat dan Sabtu saja. Setiap kali buka, Magas cuma membuat 40 loyang. Tidak lebih. Pizza itu rata-rata sudah dipesan jauh hari sebelumnya. Dari sisi lokasi, tempat Magas berjualan bukanlah tempat yang dikenal sebagai pusat kuliner di Yogya, bahkan tergolong mblusuk. Tepatnya di Dusun Banjarsari, Klidon, Sukoharjo, Ngaglik, Sleman. Jaraknya 400 meter dari kantor Mojok.co. Jarak dari pusat Kota Yogya sekitar 15 kilometer.
Pernah berjanji tak menggeluti dunia kuliner
Magas sempat bersumpah tidak akan menggeluti apapun lagi yang terkait dengan kuliner. Sekarang, ia jatuh cinta dengan dunia dapur. Bahkan ia membuka kedai pizza yang ia namai dengan namanya sendiri.
Ditemani sebotol cola, yang sahamnya baru saja amblas karena disingkirkan Cristiano Ronaldo pada perhelatan EURO 2021 baru-baru ini, saya dan Magas mulai mengobrol tentang perjalanan Fransis Pizza bermula.
“Menelan pil pahit omongan sendiri itu kan nggak enak ya, Mas?” ungkapnya. Sebuah pertanyaan retoris yang tak perlu saya jawab.
Rupanya, semua dimulai ketika ia mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studinya di Amerika. “Ayahku kan akademisi. Dia dapat semacam beasiswa ke Amerika. Kami sekeluarga ikut.”
Ketika orang tuanya pulang ke Indonesia, Magas memilih untuk terus melanjutkan studinya di sana. “Waktu itu aku membuat kesepakatan sama Ayahku. Masalah hidup aku sendiri, sekolah Ayah-Ibu,” terangnya. Magas berani untuk mengambil risiko tersebut karena saat itu, di usianya 16 tahun, ia sudah bekerja di kafetaria dengan upah minimum 5-6 dollar per jam.
Selepas orang tuanya pulang ke Indonesia, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Magas bisa bekerja di dua tempat yang berbeda. Sewaktu kuliah, Ia kemudian ditawari bekerja di kafetaria kampus yang menjual pasta, pizza, dan makanan-makanan khas Italia.
Pekerjaan itu sempat membuatnya malu. Itu terkait pergaulan di sana. “Karena bekerja di kafetaria, teman-temanku kalo memperkenalkan aku, Ini lho Fransis yang kerja di kafetaria,” ucap Mgas.
“Dulu, kan masih remaja, pengen identik sama sesuatu yang keren, rasanya kok nggak keren banget diidentikkan jadi anak yang kerja di kafetaria. Aku kan temen sekelasmu, kenapa kamu nggak kenalin aku sebagai teman sekampusmu aja sih?” Lanjut Magas menerangkan pengalaman pahitnya.
Pelajaran tentang etos kerja dan prinsip mengelola kedai
Meski sempat merasa tidak keren, Fransis mengaku bahwa bekerja di kafetaria sedikit banyak memberi pengalaman untuknya. “Aku belajar seberapa kerasnya orang Amerika bekerja.” Misalnya, ia selama kerja mau sepi ramai, karyawan nggak boleh duduk. Ngeliat hape aja nggak boleh,” ujar Magas menceritakan. Ibaratnya, bagi pegawai kelas rendah seperti dirinya mau pecat juga tinggal pecat aja. Nggak ada pertimbangan kedekatan atau kekeluargaan.
Selain etos kerja, Magas menjelaskan bahwa pengalaman bekerja di kafetaria juga membuatnya bersentuhan langsung dengan kerja-kerja dapur. Bagaimana mengelola dapur, mengelola sebuah kedai, mulai dari memikirkan stok, menyiapkan bahan, hingga menyajikannya ke pelanggan.
“Di situ aku mulai mengerti, oh ini pizza yang lebih ke Italian. Bedanya di sana dough-nya frozen, saus tinggal buka kaleng, keju udah dikirimi. Tapi itu jadi training dasarku. Pagi dateng ambil dough, nyiapin topping. Dari situ aku mengerti prinsip-prinsip dasar membuat pizza.”
Namun, Magas menyatakan bahwa pengalamannya bekerja bertahun-tahun sejak usia remaja itu ada buruknya juga. “Lulus malah burn out. Di saat teman-temanku lulus mulai cari kerja, aku malah capek. Lulus pengennya nyantai. Mungkin karena hidupku sejak remaja terus kerja ya?” akunya.
Setelah lulus kuliah, Magas dapat rekomendasi sama profesorku untuk magang di NGO di sana. Aku tungguin, ga ada kabar. “Pas aku beli tiket, ternyata malemnya aku dapet telpon kalo aku keterima magang. Bisa dicancel sebenarnya. Tapi mood-ku waktu itu udah mau pulang. Semua udah ku packing, kamar juga udah ada orang lain yang sewa,“ ujarnya.
Mulanya iseng, lama-lama jadi obsesi
Saya meminta izin meminum cola sebentar sebelum melanjutkan obrolan. Sejak awal Magas memang sudah mengingatkan bahwa ceritanya mungkin akan panjang. Kami bahkan belum menyentuh topik tentang pizza yang ia buat dengan tangannya.
“Pulang sekitar tahun 2013. Seneng sekali, waktu itu pulang dapet kesempatan untuk kerja film dokumenter,” katanya. Kebanyakan Magas mengerjakan proyek-proyek buat NGO luar negeri. Hingga, pada tahun 2020 pandemi mengubah arah hidupnya. “Waktu itu aku posisi di Bali sedang perjalanan menuju Kepulauan Aru. Semua dicancel, pulang ke Jogja.”
Magas mengingat bahwa pandemi sangat mempengaruhi hidup dan pekerjaannya. “Aku masih ada rumah, ada orang tua, masih cukuplah hidup, nggak perlu bantuan pemerintah. Tapi, aku juga memikirkan masa depan kemana?”
Magas menyadari semuanya diawali dari kebetulan dan ketidaksengajaan. Pandemi memberi banyak waktu luang yang memungkinkannya mempelajari apa saja. “Kebetulan waktu itu aku lagi senang-senangnya masak-masak outdoor. Kemping gitu, terus kok pengen makan Taco. Lalu aku liat Youtube cara bikin Taco sendiri. Dari situ aku keinget.. Oya, kan aku dulu pernah bikin pizza ya.”
Sejak itu, Magas mulai menonton satu persatu video apa saja yang berkaitan dengan pizza di Youtube. Ia menjelaskan bahwa, tidak ada yang rahasia dari pizza. Semua ilmunya gratis dan dapat diakses siapa saja.
“Nggak ada yang rahasia. Kamu bisa liat itu semua di Youtube. Mereka yang kutonton juga bilang: Aku bisa kasih kamu resep, beli bahan dan alat-alat yang sama. Tapi kamu nggak bisa membeli pengalaman dan passion-ku,” tegasnya.
Magas kemudian terus mencoba membuat pizza dari apa yang ia lihat. “Secara nggak aku sadar aku terobsesi. Sampai kemudian aku lihat satu video tentang pizza Napoletan di New Jersey. Namanya Una Pizza Napolitana. Pemiliknya Antoni Manchieri, itu dia pizzanya dari awal dikerjakan sendiri.”
“Aku suka karena orangnya tatoan, ngerti skateboarding, musik. Attitude-nya yang melawan arus.. Wah keren nih. Di saat di Amerika nggak ada yang buat, dia buat. Siapa dia di luar pizza, aku kayak bisa ngeliat diriku!“ ungkap Magas penuh gairah.
Belakangan saya tahu, terang saja ia mengagumi Antoni Manchieri, sebab sejak SMP, ia juga sudah menggeluti skateboarding. “Skateboarding itu, pertemanan yang udah kuanggap keluarga, yang memberiku nafkah, dan sampai sekarang hubungannya baik. Dan dari Antoni itu aku melihat pekerjaan membuat pizza respectable. Ini bukan pekerjaan yang malu-maluin!” Ungkapnya mantap.
Meski terobsesi mempelajari cara membuat pizza, tidak lantas membuat Magas memiliki keyakinan untuk menjual pizza-nya. Ia mengaku ragu. Desakan dan godaan untuk menjual pizza datang ketika ia meminta orang-orang terdekatnya mencicipi pizza buatannya.
“Namanya Feri. Udah kuanggap kayak sodaralah. Dia pekerjaannya merencanakan restoran. Jadi kalo ada yang punya dana, dia yang merencanakan mulai dari menunya, semuanya. Nah, dia kan sering kuajak makan. Cobain ini… Dari situ tiap ketemu dia selalu nanya kapan buka? Kalo cuma buat-buat begini, gratis terus kan kamu rugi,” kata Magas.
Bujukan dari sahabatnya itu akhirnya memberanikan Magas untuk menjual pizzanya. “Nah, Feri itu. Dia orang pertama yang datang secara khusus membayar pizzaku.” Jawab Magas bersemangat.
“Jadi dia nantang, besok jam 12 aku datang. Kalo nggak salah itu persis hari pernikahannya,” sambungnya.
Menyambut sahabatnya, hari itu, Magas menyiapkan pizza di samping rumah yang kini jadi etalase kerjanya. “Dia datang ngajak teman-temannya. Aku yakin dari wajah-wajah temennya, kayaknya pizzaku waktu itu nggak enak. Kebetulan salah satunya chef, mereka kasih komentar dan masukan.”
Magas saat itu merasa kecil hati. Baru memulai ia sudah mendapatkan kritikan. Misalnya, dough buatannya masih nempel-nempel di meja. “Tapi itu bikin aku belajar lagi. Bikin yang lebih baik lagi.”
Tak lama kemudian, Magas pun meyakinkan diri membuka kedainya. Saat itu masih awal pandemi dan semua orang masih bingung dan khawatir untuk beraktivitas di luar. Ia pun hanya membuka pesanan secara online dan mengantarkannya rumah ke rumah. Pada fase ini, Magas menyadari bahwa orang-orang terdekatnyalah yang ikut berperan penting mendukung kelangsungan kedai pizzanya.
“Ayah, Ibu, Pacarku. Semua sangat mendukung sekali. Di awal-awal kantor Ayahku pesan. Lalu teman Ibu. Baru buka, udah ada 5-7 pesanan. Senang rasanya,” Kenang Magas, tersenyum tipis.
Namun, ada satu titik di mana pizza buatannya kemudian dikenal oleh banyak orang. Magas menarik kursinya, menegakkan duduknya. “Suatu saat ada temannya pacarku, namanya Mbak Diah. Dia minta bisa nggak makan di tempat? Dia datang bersama suami dan anaknya,” kata Magas.
Anaknya kebetulan suka. Dia share, di Instasory. Dari situ kemudian banyak sekali yang datang atas rekomendasi dia. “Aku ndredeg mas,” ucapnya diiringi tawa kami berdua.
“Rasane koyok ditanggap. Koyok nge-gigs! Ya gimana, kamu tahu sendiri jarakku dengan pelanggan kan paling 1 meter. Gigitan pertama, ekspresi pertama, aku bisa ngeliat langsung. Oh… itu berat mas,” kata Magas mengingat perasaan awal-awal buka kedai pizza.
Dari tak habis hingga harus order dulu
Magas sejujurnya tidak menyangka bisa di tahap ini. Di bulan-bulan awal buka, ia buat 20 dough. Kadang habis, kadang nggak. “Dulu awal-awal, pelanggan datang masih bisa nemuin aku tidur-tiduran main hape, nungguin pelanggan datang.”
Apakah memesan pizza di tempatnya memang harus reservasi dulu? “Nggak harus. Cuma ada pengalaman, ada teman yang datang sampai 3 kali, pas selalu habis. Mereka sudah jauh-jauh. Mungkin dari luar kota. Datang sama keluarganya, sudah sampai tapi nggak bisa di layani. Makanya kemudian kami rekomendasikan order dulu,” kata Magas.
Saran untuk order dulu menurutnya adalah pilihan terbaik. Ia nggak mungkin nyuruh orang antri baris sampai ke depan, nungguin pizza buatannya satu-satu. Mereka berdiri berjam-jam. Nanti yang paling belakang ternyata kehabisan terus disuruh pulang. “Rasanya kan nggak baik juga begitu kan? Aku juga nggak mau bisnisku begitu,” kata Magas yang membuka warung pizzanya mulai pukul 17.00 – 22.00 WIB.
Cara ordernya juga sangat longgar. Bisa melalui direct message Instagram Fransis Pizza. “Cuma ditanya mau pesan berapa dough. Itu aja. Nggak kami suruh bayar dulu, nggak perlu DP. Cancel pun juga nggak kami kenai charge. Longgar banget kan mas? Nanti pilih topping-nya juga di tempat nggak masalah,” kata Magas.
Ada alasan sendiri kenapa Fransis Pizza buka hanya hari Jumat dan Sabtu. Awalnya karena di hari-hari lain, ia masih ada pekerjaan. Kini ia membuat jadwal rutin agar usahanya bisa lancar. Senin ia memastikan bahan ke supplier, Kamis ia belanja, Jumat pagi ia membuat adonan untuk malam. Begitu juga Sabtu pagi. “Minggunya biasanya aku kecapekan Mas, buat istirahat,” ujar Magas tertawa.
Datang dari sesuatu yang dekat dari asalnya
Magas meyakinkan bahwa ia tidak main-main dengan Pizzanya. Meski kedainya sudah berjalan dengan baik, ia terus berpikir untuk memikirkan berbagai detail yang mungkin bisa meningkatkan kualitas pizzanya jadi lebih baik lagi. Hanya saja, tentu membuka kedai tidak berhenti pada persoalan menu saja.
“Relationship antara pembuat pizza dan supplier-nya penting mas. Di Italia mindset-nya seperti itu. Misalnya Keju Mozzarella ini hanya di buat di daerah mana. Tomat Marzano ini hanya ditumbuhkan di pegunungan ini. Keju Parmigiano ya dari Parma. Pizza-nya fresh, karena bahannya diambil langsung dari sekitarnya. Karena mindsetnya seperti itu, aku berpikir, aku juga harus mencari sesuatu yang lokal,” ujarnya.
Magas ingat kata temannya, sesuatu yang lokal atau tradisional itu karena dia dekat dengan asalnya. Dari situ ia berpikir. Pizza buatannya tidak perlu sama persis dengan yang ada di Napoli, tapi harus datang dari sesuatu yang dekat dengan lingkungannya. Seperti kayu. Kayu karena sudah dekat, dan sudah ia percaya, ia pakai kayu itu terus.
“Lalu ada satu pelanggan makan di sini, dia merekomendasikan satu sayuran yang kupakai untuk pizzaku. Petani organik. Aku ketemu, cocok sama orangnya. Nggak cuma masalah kualitas, tapi aku mengukur apa bisa langgeng atau nggak sama dia.”
Hanya saja Magas menerangkan bahwa menjalin kedekatan dengan supplier, juga membutuhkan waktu dan usaha tersendiri. “Keju yang kupake itu, rekomendasi temanku. Awalnya aku heran. Aku rutin pesan keju puluhan kilo tapi kok relasinya tiap kontekan kayak nggak kenal? Lalu aku coba ketemu, supaya mereka tau, aku sampaikan aku mau berteman. Aku kenalin, ini lho pizzaku. Mereka juga cerita tentang keju mereka, aku jadi tahu cerita tentang mereka.”
Dari usahanya membangun relasi dengan supplier, Magas merasakan kedekatan yang berbeda. Magas mencontohkan, bahwa suatu hari, ia perlu memesan keju untuk berjualan. Akan tetapi, supplier langganannya mengatakan bahwa stok sudah habis.
“Aku bilang, Mbak kalo bukan kejumu, aku nggak buka.“ Karena relasinya sudah baik, mereka mau mengusahakan mencari stok yang masih tersedia agar ia tetap bisa buka. Bagi Magas kedekatan semacam ini, memungkinkan hubungan yang panjang, saling mengerti dan membutuhkan.
Satu titik yang dapat dibanggakan dan patut disyukuri
Saat ini ada 6 jenis menu pizza di Fransis Pizza, Marinara, Margherita, Mushroom, Pepperoni, Salami, dan White. Dari segi harga, paling murah Marinara yang patok Rp 30 ribu. Sedang, paling mahal, Salami yang dibandrol Rp 75 ribu.
“Ini semua buatku masih proses, Mas. Sampai ke menu yang sekarang itu karena terus berkembang. Aku belajar pizza dengan serius, aku ingin pizza yang aku buat mencerminkan pengetahuan yang kupunya,” kata Magas yang kini dibantu satu adik perempuannya untuk melayani pelanggan.
Meski terus mengembangkan menunya, Magas justru paling suka dengan Marinara, pizza paling murah yang ia jual. “Nggak tau, aku suka aja bikinnya. Sederhana, tapi keluar semua rasanya. Itu kan nggak ada bumbu-bumbu yang lain. Cuma air, garam, bawang, olive oil, udah. Tapi aroma, rasa, tekstur, semua bisa dirasain disitu,” kata Magas.
Magas mengatakan, pizza aslinya bukan makanan mewah. Di Amerika sendiri bisa makan pizza dengan harga Rp 5-6 dollar. Karena itu, ia ingin pizzanya bisa dinikmati siapa saja. “Ini juga hadirnya kan saat pandemi ya mas. Nek aku wae kangelan mangan, mosok aku meh ngel-ngeli wong mangan? Ya to mas?”
Apapun perubahan yang akan terjadi kepada Fransis Pizza ke depannya, Magas tidak bisa memastikan. Ia berharap Fransis Pizza bukan hanya menjadi tren yang numpang lewat. Ia ingin merawat ini menjadi sesuatu yang langgeng. Ia tidak ingin memperlakukan kedainya seperti tambang emas yang hanya memandang keuntungan, dieksploitasi habis-habisan, tapi merugikan banyak pihak.
“Aku serius bikin pizza. Aku merasa nggak bersaing dengan siapapun, hanya berusaha kasih servis terbaik. Menurutku ini core bisnisku. membuat pizza untuk dinikmati siapa saja, menyambungkan orang-orang. Dan di antara orang-orang yang membuka usaha saat pandemi, aku tidak menyangka sekaligus sangat bersyukur. Kok aku. Kok bukan café lain dengan modal yang lebih besar rencana yang detail. Semua ini kebetulan, dan keberuntungan yang aku syukuri.”
Saya berjumpa dengan Yoseo Maya (30), Regional Corporate Communication Specialist XL Axiata. Ia yang datang dari Bandung ‘diculik’ temannya untuk makan di Fransis Pizza. Kesan pertama kali dari sisi lokasi, menurutnya unik banget. Nggak kelihatan lokasinya ada di belakang rumah. “Kaget juga pas tau kalau mau makan di Fransis harus reserve jauh hari sebelumnya biar kebagian “jatah” dine in,” katanya.
Soal rasa, digigitan pertama Maya langsung bisa membayangkan pizza Italy yang anget dan fresh from the oven. Jualan pizza rumahan yang rasanya ngga rumahan. Bahannya yang digunakan pun terasa banget premiumnya. “Dari cara ngolah sampai sajiannya pun ngga main-main. Kita bisa ngeliat prosesnya dari awal sampai akhir karena pake konsep open kitchen,” kata Maya yang habis 2 loyang pizza bersama temannya.
Pekan sebelumnya saat saya menikmati pizza di fransis pizza, saya melihat dua orang bule berpamitan ke Magas. Saya menguping pembicaraan mereka. Rupanya pasangan bule itu selama ini tinggal di Ubud, Bali. Mereka mengatakan pizza buatan Magas enak. Selama di Bali mereka belum menemukan pizza seotentik buatan Magas.
“Oh, kamu dengar juga. Terus terang aku nggak tau mas. Aku nggak pernah mengklaim pizzaku paling otentik. Itu semua datang dari orang, ya aku terima kasih. Tapi aku nggak pernah secara khusus mengatakan bahwa pizzaku paling otentik. Wong aku juga belum pernah kan ke Itali. Cuma kalo orang datang, dan bilang begitu ya aku terima kasih,” kata Magas ketika saya konfirmasi.
Saat masih bekerja di kafetaria di Amerika, Magas malu diperkenalkan sebagai orang yang bekerja hubungannya dengan dapur. Disinggung soal pengalaman itu, Magas tertawa. “Suatu hari temanku ngenalin aku ke temannya. Eh, kamu kenal nggak ini. Magas. Dia bikin pizza. Mendengar itu, aku ngerasa hepi. Kok, nggak tersinggung. Sekarang… Ya kalo temanku bangga mengenalkan aku sebagai pembuat pizza, kenapa aku nggak? Aku merasa senang ketika pizzaku diapresiasi. Dan aku yakin ini berharga untuk dijalanin,“ ucap Magas mengakhiri.