Zaadit dan Cita-Cita Jadi Wasit

zaadit taqwa

[MOJOK.CO] “Jalan sunyi seorang wasit.”

Perkara Zaadit Taqwa dan kartu kuningnya menyadarkan saya satu hal penting. Apa itu?

Ketika nobar bola, belum pernah saya temukan orang yang memakai jersi wasit. Lengkap dengan peluit, jam di kedua tangan, juga kartu.

Penonton lain, pendukung masing-masing tim, akan mencemooh saat yang dirugikan adalah tim kesayangan dan akan mendukung saat yang dihukum adalah tim lawan.

Sedangkan orang ini tidak bersorak ketika salah satu tim mencetak gol. Dia hanya akan berdiri memekik puas saat pemimpin pertandingan menghukum pemain yang melanggar aturan.

“Hidup keadilan!” pekiknya, mungkin seorang diri, atau ditemani beberapa penggemar hakim garis dengan bendera semaphore sisa kemah ambalan atau persami di suatu masa.

Secara umum penonton bola memang ngerti: tanpa wasit, pertandingan sepak bola profesional akan berjalan bahkan lebih sulit dari kompetisi bola bekel dan kelereng. Ini berbeda dengan angkat besi, olah raga yang saya kagumi. Ada atau tidak ada wasit, beban mereka sama. Mau ada atau tidak ada penonton, di arena olimpiade atau di tengah hutan hujan tropis yang lembap.

Saya menduga, mereka yang bercita-cita jadi wasit ketika kecil dihinggapi kesunyian seekor elang mungil. Begitu juga orang yang cita-citanya hakim garis. Butuh kekuatan mental di atas rata-rata.

Bayangkan, teman-temannya ribut beli jersi kesayangan, dia justru bikin puyeng orang tuanya untuk cari penjual jersi wasit ukuran kecil.

Teman-temannya ribut mendaku diri dengan nama-nama bintang sepak bola, dia malah menghafal nama-nama wasit (yang, tentu saja, tidak dipedulikan oleh temannya) kemudian menggunting kertas karton merah dan kuning sisa majalah dinding.

Ketika bermain bola, teman-temannya meniru gaya-gaya terbaru pemain bola, juga selebrasi gol. Ada yang terbang, nyelorot, joget koplo, isap jempol. Macam-macam, dari yang standar sampai yang kontroversial, semisal selebrasi mengisap kokain dan salam Nazi. Eh, anak ini malah niru gaya wasit yang hampir stagnan dari masa ke masa.

Dia berlatih selebrasi berdiri tegap, menunjuk, memeragakan kekerasan yang diperbuat pemain bengal, merentang tangan, meniup peluit, melirik jam tangan, menengahi konflik, menghukum pelanggar amanat, dan menatap tajam mata pemain yang mencoba menipu dengan menuntut keadilan yang bukan miliknya.

Setelah semua latihan itu, ketika tiba waktunya bermain bola, anak-anak sebayanya justru tidak memerlukan wasit. Dalam permainan mereka, kebenaran masih pengakuan kolektif. Pelanggaran, handsball, bola keluar, dapat diteriakkan bersama oleh pemain. Kejujuran masih ada. Bahkan untuk ukuran tinggi gawang pun ditentukan oleh tinggi rendahnya pemain dan kemampuannya menjangkau bola.

Alamat makin sunyilah calon wasit kita.

Seseorang bisa jadi pemain bola profesional tanpa sertifikat asalkan terbukti mumpuni. Tidak dengan wasit, dia harus punya sertifikat kepelatihan. Dia harus memahami hukum-hukum dalam dan di luar pertandingan. Tentu saja agar tidak sembarangan meniup peluit, memberi kartu kuning atau merah. Kan jadi perkara kalau dia memberi kartu kuning pada pemain yang bersin di tengah lapangan sebab dianggap tidak beretika. Atau memberi kartu kuning di ruang ganti pada jeda pertandingan sebab bukannya menyusun strategi mereka malah berlatih menumpuk batu gravitasi.

Dengan pemahaman aturan, dia mengerti betul apa yang harus dilakukan, di mana, dan dengan cara apa. Inilah nilai luhur mengapa jarang terjadi pergantian wasit dan usia pensiun wasit lebih panjang: sebab tidak semua orang berani belajar sebelum menghakimi. Tawuran pun lebih sering terjadi antarpenonton, bukan antarwasit. Sebabnya jelas, wasit membela kebenaran, sementara penonton membela kesebelasan. Kecuali wasit yang dibeli.

Sekarang, benarkah Zaadit berpotensi jadi wasit yang bertakwa di lapangan politik dan demokrasi?

Dia berdiri di lapangan politik. Lebih tepatnya, di pinggir. Di pinggir tribun. Dan menurut saya, politik kita saat ini berbanding terbalik dengan sepak bola. Dalam sepak bola, seorang wasit dibantu asisten menghakimi dua kesebelasan. Di politik kita, kesebelasan dibantu jutaan pendukung fanatik menghakimi dua orang yang sedang dan akan bertanding.

Hukum yang berlaku adalah pemilu. Wasitnya jelas, rakyat. Skor menangnya, suara terbanyak.

Lalu Zaadit? Dia ada di tribun dan mengkritik. Orang-orang mendengar ia meniup peluit dalam keheningan gerakan mahasiswa.

Pendukung Prabowo sontak hore dengan kritik ini. Lihatlah kemudian, Fadli Zon ikut menggunting karton kuning. Fahri Hamzah dan Amin Rais malah mengeluarkan kartu merah. Nah, tribun oposisi jadi membahana, acung-acung kartu dan meniup peluit melampaui nilai kritik Zaadit itu sendiri. Tujuan buat memprovokasi wasit sebenarnya, yakni rakyat. Kalau dijadikan proyek e-kartu kuning dan merah, bagus juga sepertinya.

Pendukung Jokowi seperti kesebelasan lainnya. Kagetan lalu tawuran medsos. Ejek-ejekan yel-yel.

Seakan kalau ada wasit mengacung kartu kuning, pemain berhak bilang ke wasit, “Sini, coba kamu yang main!” Fungsi dan kedudukannya berbeda, Bos. Yang baiknya dipandang kalem adalah, bisa jadi memang ada pelanggaran yang tidak terlihat oleh wasit besar konstitusional.

Jika rasa-rasanya tidak ada pelanggaran semacam itu, bisa jadi posisi Zaadit sebagai wasit masih dalam cita-cita. Ia wasit yang belum paham keadaan dan belum dapat sertifikat. Dia cuma penonton muda di tribun dengan peluit tidak resmi dan kartu kuning untuk mengingatkan pemain yang sedang memegang bola. Lalu penonton dewasa ikut-ikutan.

Tapi bisa jadi juga dia seperti dalam awal tulisan ini: seseorang dengan jersi wasit di saat nobar sepak bola.

Exit mobile version