Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Yansen Binti dan Meikarta yang Tidak Sabaran

Cepi Sabre oleh Cepi Sabre
10 September 2017
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Menunggu adalah pekerjaan paling membosankan. Semua orang tahu pemeo itu. Yang orang belum banyak tahu, untuk menunggu, arsiteklah salah satu maestro yang sabar melakoninya.

Dari sekian kekhasan profesi ini, di antaranya arsitek jarang menemukan repeat user alias langganan, kecuali punya klien yang berbisnis properti. Orang kalau bikin rumah ya satu kali itu tok. Selebihnya arsitek-arsitek muda kayak saya harus mencari klien dan proyek baru lagi.

Jadi, kalau kalian jomblo dan kepengin menikah dalam waktu dekat, arsitek bisa dipertimbangkan untuk dijadikan alternatif pilihan karena kesabarannya. Kan orang sabar disayang Tuhan. Juga karena ngirit dari segi fesyen karena untuk urusan satu itu, arsitek cuma punya tiga pilihan warna: hitam, hitam tua, atau hitam muda.

Bertahun-tahun bekerja sebagai arsitek partikelir, saya mulai menyadari bahwa pekerjaan ini tidak seglamor yang digambarkan film-film. Ya karena kebanyakan nunggunya itu. Kalau ada istilah Jawa jarkoni, “bisa ngajar, nggak bisa nglakoni,” istilah yang pas buat arsitek mungkin bikini, “bisa bikin, tapi nggak bisa beli.” Bisa bikinin rumah orang tapi cicilan rumah sendiri harus ditebus sampai mendelik-mendelik.

Tidak heran kalau kemudian banyak arsitek yang nyambi, walaupun nggak sampai jadi pegawai bank juga sih. Ada yang nyambi jadi presiden, nyambi jadi wali kota, sampai yang berusaha melucu di media-media online.

Berkebalikan dengan itu, pemodal atau investor bahkan makelar di belakang para arsitek itu bukan jenis orang yang penyabar. Saya ingat dulu televisi ikan terbang pernah menanyangkan serial drama Hongkong yang menggambarkan soal ini dengan baik. Kalau tidak salah ingat judulnya Menembus Batas.

Ceritanya tentang perjuangan tiga orang pemuda Hongkong (ya iyalah!) yang kepengin jadi orang kaya. Setelah mencoba berbagai macam usaha, akhirnya mereka memilih terjun ke bisnis properti dan bercita-cita mendirikan “kota tanpa asap”. Tentu saja di sana mereka tetap menjadi pengusaha, bukan jadi arsiteknya. Pilihan yang bijaksana mengingat tujuan mereka adalah kepengin kaya, bukan untuk jadi presiden, wali kota, atau penulis satire.

Puncak konfliknya adalah ketika ada satu apartemen tua yang tidak bisa mereka gusur karena ada suami istri yang menolak pindah dari sana. Celakanya, suami istri itu adalah orang tua dari salah satu pemuda di kelompok itu. Celakanya lagi, pemuda yang lain (kalau nggak salah ingat namanya Michael) memilih cara yang Orba banget untuk memecahkan masalah itu: membakar apartemen tadi, lengkap dengan isinya, tanpa perantara.

Singkat cerita, orang tua pemuda tadi mati, pemuda pelaku pembakaran dihukum dan akhirnya mati juga, persahabatan ketiganya ambyar, tapi tanahnya berhasil dibebaskan dan kota tanpa asap itu akhirnya bisa berdiri setelah mengorbankan begitu banyak hal. Kesabaran sepertinya memang ditakdirkan untuk tidak dimiliki para pengusaha.

Saya tidak ingat apakah kota tanpa asap itu kemudian dinamai berdasarkan nama ibu dari salah satu pemuda itu atau tidak. Kalau saya yang mendirikan kota itu, tentu saya akan melakukannya. Kebetulan nama ibu saya Sukarsih, dan kalau kota itu didirikan di Malang, saya akan menamainya: Strudel.

Tapi kota tanpa asap di film tadi, juga kota-kota baru seperti Meikarta atau Strudel punya saya, menggambarkan bagaimana pengembang adalah juga pengusaha, mereka juga tidak sabaran. Dulu perumahan-perumahan hanya memberikan fasilitas seadanya sambil menunggu daerah itu berkembang betulan. Pol mentok mereka menjanjikan taman dan masjid ditambah gembar-gembor kalau lokasinya dekat dengan pos polisi atau jalan tol.

Tapi, sekarang mereka sendiri yang membangun pos polisinya, menambahkan ruko, lalu swalayan, lalu kampus, rumah sakit, bahkan jalan tol sendiri. Kota, seperti para pengusaha itu, jadi tidak sabaran. Ini sebenarnya menarik untuk dibahas dari sudut pandang arsitektur atau perencanaan kota, tapi lain kali saja. Mungkin di artikel yang lain lagi. Jangan lupa, kehidupan arsitek partikelir tidak seglamor yang digambarkan film-film.

Selain kotanya, cara mendirikannya pun ternyata mengilhami para pengembang atau makelar proyek di dalam negeri. Di Palangkaraya ada orang yang plek meniru cara yang ditempuh Michael di film Menembus Batas tadi. Nggak tanggung-tanggung, tujuh sekolah dibakar. Tentu saja semua orang akan berpikir bahwa ujung-ujungnya adalah proyek. Sepertinya, sekali lagi, ini adalah soal kesabaran. Tidak sabar menunggu ada proyek pembangunan sekolah baru, pelakunya berinisiatif untuk menciptakan demand-nya sendiri.

Tapi setelah saya ikuti beritanya, ternyata masalahnya lebih rumit daripada itu. Masalahnya ternyata lebih dari sekadar masalah supply dan demand, lebih dari sekadar masalah sabar dan tidak sabar. Konon orang yang ditengarai jadi otak di belakang semua ini cuma merasa kurang diperhatikan oleh gubernurnya.

Iklan

Ini rumit sekali. Selama saya belajar arsitektur, tidak pernah ada mata kuliah mencari-perhatian-supaya-dikasih-proyek. Lagi pula, arsitek kalau butuh perhatian paling mudah ya mengganti warna baju. Biasanya pakai hitam, lalu satu hari tiba-tiba memakai baju berwarna …. abu-abu tua. Kalau ada yang tiba-tiba ngejreng, pakai baju putih misalnya, kemungkinan besar mau nyalon wali kota atau gubernur.

Tapi orang yang kesepian dan kurang perhatian sebaiknya memang tidak kita pandang sebelah mata. Perang-perang besar sering dipicu orang-orang kurang perhatian. Orang tahunya Perang Dunia II diinisiasi oleh Hitler yang maniak atau Perang Dunia I dipicu oleh terbunuhnya Pangeran Austria. Padahal kalau ditelusuri, Perang Dunia II itu adalah efek dari Perang Dunia I, Perang Dunia I adalah efek dari perang sebelumnya, dan di ujung sekali nanti kita akan ketemu fakta bahwa semua itu dimulai ketika pada tahun 1700, seorang jomblo yang kesepian dan kurang perhatian meninggal dunia. Kebetulan beliau raja Spanyol.

Jadi, kalau saya sebagai arsitek partikelir dimintai pendapat profesional mengenai persoalan ini—apakah berhubungan dengan proyek atau soal-soal arsitektur, apalagi hubungannya dengan sekolah sehari penuh—terus terang saya tidak bisa menjawab.

Tapi saya dengar Yansen Binti, anggota DPRD yang dituduh polisi jadi otak pelaku, sudah mengirim surat kepada Fadli Zon. Saya pikir kita juga harus melakukan hal yang sama. Karena di masa-masa yang serbatidak jelas seperti sekarang ini, saya rasa hanya Fadli Zon-lah tempat kita mengeluh dan mengadu.

Terakhir diperbarui pada 16 Oktober 2018 oleh

Tags: Fadli ZonMeikartaPalangkarayaYansen Binti
Cepi Sabre

Cepi Sabre

Artikel Terkait

Pacu Jalur Direcoki Pemerintah Jadi Cringe dan Nggak Seru Lagi MOJOK.CO
Esai

Saat Negara Turut Campur Aura Farming Pacu Jalur, Semua Jadi Terasa Cringe dan Nggak Seru Lagi

14 Juli 2025
Fadli Zon: Narasi Orde Baru dalam Bayang-Bayang Reformasi
Video

Fadli Zon: Narasi Orde Baru dalam Bayang-Bayang Reformasi

12 Juli 2025
Fadli Zon menyangkal pemerkosaan massal dalam kerusuhan 1998. MOJOK.CO
Mendalam

Muslihat Penulisan Ulang Sejarah Mei 1998: Memberikan Penghargaan kepada Soeharto dan Menyangkal Bukti Pemerkosaan

17 Juni 2025
Fadli Zon menyangkal pemerkosaan massal dalam kerusuhan 1998. MOJOK.CO
Mendalam

Menyangkal Pemerkosaan Massal 1998 adalah Bentuk Pelecehan Dua Kali: Fadli Zon Seharusnya Minta Maaf, meskipun Maaf Saja Tak Cukup

16 Juni 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.