MOJOK.CO – Kalau bukan karena tsunami 2004, GAM boleh jadi tidak akan pernah melunak dan bikin Aceh beneran merdeka.
Pada 15 Agustus 2005, Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sepakat mengakhiri konflik panjang yang telah berlangsung sejak 1976—atau bahkan jauh sebelum itu, kalau pergolakan DI/TII atau pemberontakan sejenisnya turut dihitung.
Proses perdamaian itu terjadi di Helsinki, Finlandia, dengan penengah Presiden Maarti Ahtisaari (yang kemudian, dengan serangkaian perdamaian lain yang dia tengahi, berhasil membawa pulang hadiah Nobel Perdamaian pada 2008).
Nah, sebagai orang yang lahir dan besar di Aceh; dan turut mengalami konflik yang telah membuat kami menganggap GAM seperti kata tabu yang bahkan untuk menyebutnya di depan umum harus berbisik atau menyamarkannya dengan istilah “Gerombolan Tiga Huruf”, saya sih bersyukur konflik usai tepat sebelum saya benar-benar akil balig.
Andai saya dewasa pada saat perang masih berkecamuk, tentu sangat sulit rasanya untuk bisa bersikap netral; karena hanya ada dua kemungkinan bagi masa depan saya nanti: ikut bersama GAM untuk menjadi gerilyawan di hutan atau menjadi aktivis yang pro-Pemerintah RI.
Tentu saja hidup dalam perang, sama artinya dengan hidup di bawah ribuan propaganda yang mengusik otak. Saya yakin tak mungkin bisa untuk menghindar dari kedua pilihan itu!
Melihat kondisi Aceh sekarang, saya malah jauh lebih bersyukur negeri ini tetap menjadi bagian utuh dari Indonesia. Udah deh, kamu nggak usah bilang begini: mentang-mentang sehari lagi euforia hari kemerdekaan, mau pamer sikap nasionalisme berlebihan ya?
Oh, tidak, Kawan, sama sekali tidak. Saya ingat kata Patrick Star: pemujaan berlebihan itu tidak sehat, dan saya kira hal itu juga berlaku dengan pemujaan pada nasionalisme.
Saya mengatakan demikian karena ada pertimbangan yang tak bisa dihindari, dan itu menyangkut dengan betapa menyedihkannya tanah kelahiran saya ini kalau dibandingkan dengan kejayaan masa lalu yang kerap dijadikan oleh guru-guru saya dulu sebagai alasan untuk menyebut orang Aceh sebagai bangsa terpilih.
Dan andai Aceh jadi negara merdeka, mungkin lima hal ini yang bakal terjadi di Aceh.
Para pejuang kemerdekaan GAM akan saling berebut kekuasaan
Biasanya fakta yang terjadi di setiap negara yang baru merdeka ya begini: orang-orang yang dulu berjuang di bawah nanungan cita-cita yang sama bakal berakhir jadi musuh, atau minimal rival untuk menduduki tampuk tertinggi kekuasaan di negeri baru.
Tak usah jauh-jauh, ambilah contoh Indonesia pada awal kemerdekaan. Segelintir penentang Bung Karno yang paling berat itu ya para pejuang juga seperti Tan Malaka, atau bahkan Sutan Syahrir dan Syafruddin Prawiranegara.
Atau mau contoh yang lebih “aktual”? Kamu bisa lihat Timor Leste.
Coba perhatikan, siapa musuh terbesar Mari Alkatiri setelah resmi jadi Perdana Menteri? Dari Xanana Gusmao, Jose Ramos Horta, sampai puncaknya Alfredo Reinado.
Hal seperti itu bisa terjadi pada Aceh (bahkan sebelum damai pada 2005 juga sudah terjadi kok). Setidaknya, pada Pemilihan Gubernur Aceh pertama pada 2007 (dan itu adalah yang pertama setelah perdamaian) memang didominasi oleh calon gubernur yang berasal dari latar belakang GAM.
Jadi negara termiskin Asia Tenggara
Setelah perdamaian, Aceh itu punya dana Otonomi Khusus lho (di samping Papua), tapi kok bisa jadi provinsi termiskin di Sumatra?
Ya jawabannya jelas: pengelolaan dana daerahnya belum beres!
Seharusnya Aceh punya kesempatan besar untuk menjadi seperti Singapura. Ya kalau itu terlalu muluk, minimal seperti provinsi terdekat saja: menjadi metropolitan seperti Sumatra Utara.
Mungkin karena belum terbiasa memegang uang banyak, kita jadi tak tahu harus menggunakannya untuk apa. Yaaa, kurang lebih sama lah kayak OKB-OKB itu. Dari yang miskin banget, tahu-tahu tajir banget.
Andai jadi sebuah negara merdeka, duit daerah ini tentu nggak bakal ada. Oleh sebab itu, Aceh mungkin akan bertopang penuh pada hasil gas alam di Arun… yang sialnya juga sudah berhenti ekspor sejak 2014!
Setelah itu apa? Entahlah, mungkin utang ke negara lain atau diam-diam ekspor daun ganja.
Jadi negara dengan tingkat pendidikan terendah di Asia Tenggara
Beberapa tahun belakangan, Aceh selalu berada di urutan bawah (kalau bukan terendah) ihwal tingkat pendidikan di Indonesia.
Penyebabnya beragam: ada yang bilang karena rendahnya mutu guru, ada yang bilang karena rendahnya tingkat literasi, ada juga yang bilang karena kurangnya kemampuan menulis dan membaca.
Ya tentu para ahli tidak sekadar memvonis tanpa penelitian, jadi fakta itu memang sulit untuk dibantah.
Memang benar, pada 2015 Universitas Syiah Kuala pernah menempati urutan ke-8 dalam daftar universitas terbaik di Indonesia versi Excellence Rank, tapi ya hanya bertahan selama beberapa bulan saja.
Saya pribadi, sebagai seorang guru sejarah di sekolah yang agak pinggiran pula, memang bisa menyaksikan sendiri ihwal rendahnya mutu pendidikan itu. Kalau kata Linkin Park: I know it’s not all right, so i’m breaking the habit!
Padahal duit dan anggarannya itu harusnya ada dari negara, tapi entah kenapa begitu masuk Aceh tidak disalurkan ke bawah-bawah secara maksimal.
Jadi negara dengan tingkat korupsi tertinggi
Dari semua kemungkinan di atas, ini yang paling berbahaya dan tidak akan bisa terelakkan! Apalagi pada poin dua dan tiga tadi, dua hal itu punya kaitan erat dengan korupsi.
Kalau ditanya, mengapa mutu pendidikan Aceh rendah? Jawabannya karena dana pendidikan di Aceh banyak yang ditilep.
Terhitung sejak kasus korupsi dana Guru Daerah Terpencil yang menimpa mantan rektor Universitas Syiah Kuala sampai kasus korupsi Beasiswa Aceh yang baru-baru ini terungkap, semua sudah cukup dijadikan sebagai bukti akurat.
Kalau ditanya lagi, mengapa tingkat kemiskinan Aceh tinggi? Jawabannya juga sudah jelas karena sejak perdamaian ada banyak pejabat, baik berkaitan dengan eksekutif atau legislatif, yang terjerat kasus korupsi.
Jadi negara teokrasi Islam yang pilih-pilih syariat Islam
Pertama soal syariat Islam, ini sudah pasti. Mengingat Aceh dan syariat Islam itu ibarat unsur hidrogen dan oksigen di dalam setetes air. Aceh itu hidrogen dan syariat Islam itu oksigen.
Masalahnya, seperti halnya air yang unsurnya terdiri dari dua atom Hidrogen dan satu atom oksigen, maka itu juga gambaran kalau “syariat” Aceh itu jauh lebih mendominasi daripada syariat Islam yang digembar-gemborkan jadi hukum di Aceh.
Artinya, syariat Islam versi Aceh adalah hal berbeda dengan versi di Arab Saudi atau Iran—atau kalau tidak keberatan dari versi Islam itu sendiri!
Kalau di kedua negara yang telah saya sebutkan penerapan syariat begitu ketat (terlepas dari perbedaan Sunni dan Syiah antar-keduanya ya), maka penerapan syariat di Aceh menjadi semacam hukum yang sulit untuk dijelaskan.
Maksud saya begini. Sebagai contoh kecil lah ya: memang benar pemabuk, penzina, atau penjudi dihukum cambuk di atas panggung terhukum di hadapan ribuan massa; tapi kok tiba-tiba hukuman bagi koruptor malah kembali ke hukum negara?
Apa itu artinya syariat Islam dan dosa cuma berlaku bagi kalangan bawah doang? Jadi cuma rakyat jelata yang layak dipertontonkan kesalahan-kesalahannya dan dosa-dosanya di ruang publik?
Lagipula, mencuri itu kan seharusnya dipotong tangan ya, atau pembunuh itu dipancung, penzina itu dirajam dan seterusnya. Ta-tapi kok penerapannya bukan seperti itu?
Itu masih eksistensi syariat dalam ranah Aceh sebagai provinsi lho, belum negara. Bayangin kalau negara, makin aneh lagi pasti kalau penerapan syariatnya model begini:
- Wah, korupsi kok kalau yang sesuai syariat harus potong tangan ya? Duh, jangan deh. Penjara aja hukumannya.
- Lho, ini kok ada rakyat jelata ketahuan pacaran? Cambuk aja nih di muka umum! Malu-maluin Serambi Mekah aja!
BACA JUGA Solusi Brilian Legalisasi Ganja di Aceh Sebagai Penenang Warga dari Kemiskinan dan tulisan Nanda Winar Sagita lainnya.