MOJOK.CO – Bagi-bagi sembako mestinya urusan level Ketua RT dan bukan pekerjaan Presiden. Tapi… ya itulah negeri Wonderful Indonesia.
Dulu Poltak Hotradero pernah membahas tentang corona di Indonesia, ia bilang, “Jangan sampai terjadi mayat bergelimpangan di sekitar Orchard.”
Dari situ saya tahu, mungkin kita tak punya sense of crisis, kedaruratan dalam melihat pandemi. Tiba juga masa bertemu berita orang-orang Indonesia kehabisan tempat di rumah sakit dan mati di jalan.
Sebentar, emangnya kematian itu bisa dicegah?
Ya tentu saja, andai sejak awal pandemi kita serius mengatasi dan melakukan penanganan wabah. Bukannya serius, pemerintah kita denial bener.
Mulai dari lelucon Enjoy Aja ala Pak Terawan sampai Nasi Kucing ala Budi Karya. Belum dengan promo wisata, ngajak liburan ke Raja Ampat, dan udah kayak malah sebar-sebarin jargon Wonderful Indonesia di mana-mana.
Pemerintah kita memang hilang arah dan tak punya prioritas.
Semalam barangkali adalah puncak lelucon dari segala kegagalan pemerintah dalam menyusun prioritas di negeri Wonderful Indonesia ini.
Presiden Republik Indonesia, (Joko Widodo tentu saja, masa Pak Luhut?), memutuskan untuk membagi-bagikan sembako di Sunter Jakarta Utara.
Saya susah membayangkan logika ini. Maksudnya ini masa genting, angka penularan lebih dari 50 ribu kasus per hari, lha kok Presiden disuruh keluar bukannya malah di rumah aja WFH ngurus negara.
Ini zaman kayak zaman serba-terbalik. Bagi-bagi sembako semestinya urusan level Ketua RT bukan pekerjaan Presiden.
Di sisi lain pekerjaan Presiden yang semestinya membuat kebijakan terkait penanganan wabah, mulai dari koordinasi antar-lembaga untuk mencari solusi meringankan beban warga saat wabah, seperti memberi bantuan warga yang isoman, malah dilakukan sama RT.
Pekerjaan yang semestinya selesai di level RT ini dilakukan oleh pemimpin Republik Indonesia. Lha kalo kayak gini apa tidak kemahalan kita gaji presidennya? Apa tidak kelewat murah kita gaji RT?
Mungkin benar Presiden Joko Widodo sedang menyindir bawahannya yang tidak bekerja dengan baik. Ini sih kayak kata Mas Ridlwan Habib, yang bilang dalam tradisi Jawa, pemimpin yang turun itu sedang menyindir.
Lah, lah, lah kok nyindir?
Pakde itu Presiden Wonderful Indonesia, kalau bawahannya nggak becus ya diganti saja kenapa? Pecat ganti yang lain. Kecuali ya itu, wewenang blio sebenarnya emang sebatas bisa bagi sembako aja.
Lagipula ngapain sih blusukan? Bukannya lebih gampang niru Pak Mahfud MD saat PKPM?
Saat masyarakat bingung cari obat, cari oksigen, cari tempat kosong di rumah sakit, dan bingung ngantri pemulasaraan, beliau asyik nonton sinetron.
Ini kan bagus, karena tidak tahu mau kerja apa, ya udah nonton sinetron saja. Daripada ntar keluar rumah malah ketularan covid?
Lagi pula sebagai rakyat, kami ini udah capek memohon, mengiba, dan meminta agar penanganan wabah dilakukan secara serius.
Sudah sejak awal para epidemologi, relawan, dan dokter memperingatkan bahwa kondisi wabah ini serius. Tapi pemerintah selalu denial dan menganggap keadaan baik-baik saja. Saat rumah sakit kolaps, tabung oksigen langka, dan rumah sakit habis, jadi kelimpungan.
Pak Luhut kemudian mengklaim keadaan terkendali, tapi ya itu, nggak jelas juga apa yang terkendali. Beberapa hari kemudian dia sendiri yang bilang bahwa varian delta tidak bisa dikendalikan.
Lha terus kami ini mesti apa? Presidennya sibuk blusukan, menterinya nonton sinetron, menteri yang ditugasi bansos korupsi, penggantinya sibuk marah-marah ngancam buang PNS ke Papua. Negeri Wonderful Indonesia beneran ini.
Pemerintah juga mengaku tidak punya uang kalau harus menanggung seluruh masyarakat jika terjadi lockdown. Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy, malah meminta masyarakat untuk saling bantu.
Lha, kalau orang sakit yang butuh tambahan biaya dibantu kitabisa, orang yang kehilangan pekerjaan lalu butuh bantuan uang dibantu bagirata, dan orang isoman yang butuh makan dibantu warga, fungsi pemerintah selama pandemi ini apa, Pak?
Nggak salah dong kalau kita protes dan mengkritik. Lah wong rakyat terus-terusan kena gaslighting.
Kalau udah kayak gitu, buzzer-buzzer bakal bilang ke masyarakat agar mengerti perjuangan Pemerintah, diminta mengerti kalau Presiden nggak tidur, menterinya udah berusaha keras dengan membangun rumah sakit darurat, menggenjot produksi pasokan oksigen, membantu dengan bansos.
Barangkali pejabat dan penguasa negeri ini bakal peduli covid kalau mereka tertular, atau keluarga dekat mereka dirawat di rumah sakit, atau mereka melihat sendiri orang yang mereka sayang meregang nyawa akibat kehabisan oksigen dan tak kebagian ruang perawatan di rumah sakit.
Eh, tapi itu tidak mungkin ding. Kalau mereka atau kerabat mereka yang sakit, dokter, suster, dan tabung oksigennya lah yang dateng ke rumah mereka. Namanya juga Wonderful Indonesia.
BACA JUGA Brutalnya Hidup di Negara kayak Indonesia: Negara ‘Survival of The Fittest’ dan tulisan Arman Dhani lainnya.