MOJOK.CO – Pada era medsos kayak sekarang. Vox populi vox dei itu bukan lagi bisa dimaknai suara rakyat suara Tuhan, melainkan bisa juga suara rakyat suara buzzer.
Salah satu mitos paling umum yang sering kita jumpai dalam kancah dunia per-demokrasi elektoral-an, adalah kredo yang berbunyi “vox populi vox dei” yang memiliki arti kurang lebih “suara rakyat adalah suara Tuhan”.
Apalagi pada musim-musim pemilu kayak sekarang ini, di mana kredo ini sering didengungkan untuk mendorong munculnya partisipasi aktif dari masyarakat untuk mempergunakan hak suaranya.
Istilah vox populi vox dei sendiri konon tercatat dipergunakan pertama kali salah satunya oleh Alcuin dalam suratnya kepada Maharaja Charlemagne di penghujung abad ke-8.
Ironisnya, dalam surat itu Alcuin sendiri justru memperingatkan sang raja untuk waspada kepada orang-orang yang menjadikan kata-kata tersebut sebagai jargon gerakan demokratisasi, yang jelas mengancam kekuasaan sang raja yang di kemudian hari menjadi kaisar itu.
Sekian lama setelah surat Alcuin, istilah ini justru secara ikonik pernah dipopulerkan oleh Uskup Agung Walter Reynolds ketika muncul pergolakan terhadap Raja Edward II di abad ke-14, sebagai dukungan terhadap gerakan yang berujung lengsernya sang raja.
Di kemudian hari, pepatah ini menjadi semakin populer ketika dikutip dalam traktat Partai Whig, dan lestari hingga sekarang demi melestarikan legitimasi sistem demokrasi elektoral yang super-duper-thoghut itu.
Konsekuensi dari penganutan ide ini adalah, bahwa pihak mana saja yang bisa memperoleh suara mayoritas, maka ia memperoleh semacam “legitimasi spiritual”, bahwa ia menang atas kehendak Tuhan yang menggerakkan hati nurani mayoritas masyarakat.
Implikasinya, muncul kecenderungan pandangan bahwa suara mayoritas merupakan suara Tuhan.
Masalahnya, emangnya beneran begitu? Benarkah suara mayoritas itu “pasti” sejalan dengan kehendak Tuhan? Benarkah bahwa yang banyak itu pasti benar? Atau, jangan-jangan ini semua sebenarnya hanyalah sebuah contoh rupa ketika kaum sekuler melakukan politisasi atas agama? Eh.
Nah, untuk mengetahui itu, salah satu yang paling mudah dilakukan adalah dengan melakukan perbandingan reflektif dengan objek politisasi itu. Caranya? Ya apalagi jika bukan agama itu sendiri.
Nyatanya adalah, jika kita menelaah kisah-kisah dalam sejarah agama, khususnya agama samawi, kita bisa dengan mudahnya menemukan bahwa suara mayoritas masyarakat tidak selalu sejalan dengan kehendak Tuhan.
Para nabi itu turun untuk berdakwah memperbaiki iman dan moral mayoritas anggota kaumnya lho. Banyak di antara para nabi yang berada dalam posisi sebagai minoritas, bahkan termarjinalkan. Nabi Nuh, Nabi Luth, Nabi Ibrahim, misalnya.
Lagian tidak selalu juga kisah para nabi itu berakhir happy ending secara teknis di mana umatnya pada tobat semua. Ada yang akhirnya ditentang kaumnya sendiri, bahkan ada yang sampai kaumnya kena azab.
Fakta lainnya adalah bahwa dalam perpolitikan era modern, suara terbanyak pernah menempatkan figur-figur semacam Hitler, Ceaucescu, Marcos, Mugabe, Bush junior-senior, hingga yang terkini orang macam Netanyahu atau Trump bertahta.
Meskipun, ya suara mayoritas juga pernah menempatkan orang-orang seperti Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, hingga Jacinda Ardem menjadi pemimpin negerinya.
Artinya, dalam hal ini mayoritas belum tentu benar. Apalagi sejalan dalam kehendak Tuhan, itu lebih belum tentu lagi. Meskipun, ya belum tentu juga tidak.
Lagian jika pun pihak yang didukung itu menang dan berkuasa, kepada siapa kelak mereka akan bekerja dan mempertanggungjawabkan kinerjanya? Kan ya belum tentu kepada para pemilihnya juga secara eksklusif.
Bahkan, bisa jadi mereka memang sejak awal dikontrol untuk bekerja bukan kepada rakyat itu sendiri, meskipun titelnya adalah wakil rakyat, dan menebar beragam janji surgawi selama nyalon.
Hal ini pernah jadi bahan guyonan saya ketika pernah diminta saran seorang teman yang baru pertama kali nyaleg dan masih idealis-idealisnya.
Waktu itu saya cuma nanya, “Memangnya kalau terpilih, kamu kerja buat siapa?”
“Tentu buat rakyat, Mas. Parpol itu cuma kendaraan saja,” jawabnya lugu.
Kemudian saya bertanya lagi, jika misalnya dia terpilih dan dalam masa pengabdiannya sebagai anggota dewan itu terjadi pertentangan antara aspirasi konstituennya dengan kehendak parpol pengusungnya, mana yang akan dibelanya? Teman saya bingung.
Karena, ya, politik memang tidak hitam putih. Apalagi, ketika posisi kita bukanlah pemilik pimpinan partai. Mau setinggi apapun jabatanmu, ya tetap saja kamu cuma petugas partai.
Bahkan, andai kamu pimpinan partai, kedaulatanmu akan tetap tersandera oleh mereka yang mendukungmu untuk bisa berada di posisi itu. Apalagi jika kekuasaanmu itu ditopang bukan dari uangmu sendiri.
Maka, sudahilah membuai-buai diri dalam ilusi mitos vox populi, vox dei ini.
Suara rakyat, ya suara rakyat saja. Belum tentu itu adalah kehendak Tuhan.
Mana mungkin kita bisa semudah itu selalu bisa membaca arah pikiran Tuhan? Memangnya kamu pikir kamu siapa, bisa membaca dan mendikte pikiran dan kehendak Tuhan? Amien Rais?
Apalagi di era medsos kayak sekarang ini. Yang terjadi seringnya vox populi vox dei bukan lagi hanya bisa dimaknai suara rakyat, suara Tuhan, melainkan suara rakyat, suara opinion leader. Atau, lebih parah lagi suara rakyat, suara buzzer.
Namun terlepas dari itu, menurut saya sih nikmati saja segala dinamika dalam pembelajaran berdemokrasi ini. Mungkin akan terasa jauh lebih ringan jika kita bermufakat saja bahwa apapun yang terjadi, Tuhan selalu punya niat baik bagi kita.
Jika kita mendapat pemimpin yang baik, maka itu artinya Tuhan masih berbelas kasihan sama kita. Jika kita mendapat pemimpin yang buruk, ya itu artinya kita sedang ditegur agar bisa berbenah memperbaiki diri.
Jika golput meningkat, maka itu adalah tanda peringatan bagi pemerintah, parpol, serta para pendukungnya bahwa ada yang keliru dengan sistem dan kultur berpolitik kita. Sesederhana itu.
Toh, bukankah kualitas pemimpin itu adalah cerminan dari yang dipimpin?