Viral Lagu ‘Genjer-Genjer’ di Tiktok dan Tawaran Versi Sejarah ‘65 bagi Generasi Muda

Viral Lagu ‘Genjer-Genjer’ di Tiktok dan Tawaran Versi Sejarah ‘65 bagi Generasi Muda

Viral Lagu ‘Genjer-Genjer’ di Tiktok dan Tawaran Versi Sejarah ‘65 bagi Generasi Muda

MOJOK.CO Lagu “Genjer-Genjer” di TikTok untuk lihat reaksi orang-orang sepuh sempat viral di medsos. Tanda generasi muda tak punya beban sejarah ‘65.

Sekitar lima belas tahun yang lalu, kakak saya yang paling tua memutar lagu “Genjer-Genjer” dengan volume penuh. Seketika orang tua kami murka. Bukan karena traumanya terpantik, tapi takut didengar tetangga.

Rasa takut yang dirasakan orang tua kami mungkin berkali lipat dibanding orang biasa, sebab keluarga kami adalah penyintas kekerasan 1965. Saya dan kakak saya cukup beruntung, karena pada waktu itu kejahilan kurang ajar kami semacam itu tidak direkam lalu jadi viral.

Apalagi di lingkungan desa saya di Blitar, stigma terhadap keluarga penyintas masih kental terasa. Kesembronoan kakak saya itu sangat bisa jadi bahan fitnah dan gunjingan tetangga, atau bahkan berakhir fatal.

Ketakutan ini bermula pada lebih dari setengah abad yang lalu. Ketika itu Ibu bersama kakek saya gemar menonton hajatan Lekra di depan rumah. Dia ingat betul, lagu karya M. Arief pegiat Lekra Banyuwangi yang ditulis pada masa penjajahan Jepang itu tidak pernah luput dilantunkan. 

Setelah geger G30S meletus, tempat tongkrongan Lekra itu berubah jadi bakal lubang kuburan massal. Ibu bersama pamannya menutup lubang kuburan itu, yang ternyata disiapkan sebagai bakal tempat eksekusi salah satu keluarga kami. “Genjer-Genjer” yang dipopulerkan Bing Slamet dan Lilis Suryani itu pun senyap terkubur. 

Lagu itu kemudian jadi propaganda antikomunis Orde Baru sebagai pengiring adegan penculikan-penyiksaan-pembunuhan perwira Angkatan Darat dalam film Pengkhianatan G30S-PKI. Stigma lagu “Genjer-Genjer” pun memburuk. Lagu itu seketika dianggap lagu tabu—bahkan sampai sekarang.

Dan kini “Genjer-Genjer” muncul kembali. Isu kekerasan 1965 pun nongol lagi. Padahal ini masih Januari, September dan Oktober masih jauh sekali.

Isu ini bermula dari pengguna TikTok yang menjadikan tanggapan kakek-nenek atau bapak-ibunya saat mendengar lagu “Genjer-Genjer”—yang sukses jadi lagu horor berkat propaganda Orde Baru—sebagai konten Tiktok.

Menjadikan sejarah gelap genosida sebagai konten semacam ini punya istilahnya sendiri, “trauma porn” namanya. Tujuannya? Memampang rasa sakit atau trauma untuk kepentingan hiburan.

Secara emosional sifatnya eksploitatif dan provokatif. Holocaust Nazi juga pernah menjadi konten trauma porn dengan tagar #holocaustchallenge

Tim Tiktok sendiri sempat momedarasi konten #holocaustchallenge ini dan sempat viral tahun lalu. Beberapa video yang memerankan arwah korban Holocaust diturunkan. Para pengguna yang mengklik tagar tersebut diarahkan ke community guidelines.

Tindakan itu diambil karena masalah tersebut jadi perhatian internasional. Hanya saja masalahnya, tidak banyak masyarakat dunia yang tahu betul kasus 1965 di Indonesia.

Saat terjadi pembunuhan massal 1965-1966, media Barat bersorak-sorai. Selama berpuluh tahun juga kejadian ini mendapat sedikit simpati internasional. Tidak heran, jika tanggapan Tiktok terhadap kasus #holocaustchallenge dengan “Genjer-Genjer” cukup beragam di dunia internasional. 

Tanggapan orang-orang tua yang dijahili pun cukup beragam. Ada yang marah, kaget, atau malah memberi nasihat. Saya menduga, mereka yang marah pernah terlibat langsung dalam konflik horizontal pada masa itu. 

Inti dari narasi yang berseliweran dalam video-video itu lebih banyak menggambarkan horornya komunisme. Bahwa komunisme itu jahat, kejam, sadis, dan lain sebagainya. Sejujurnya, agak sukar menemukan konten mencerahkan yang berpihak pada korban pembunuhan massal pada 1965 itu. 

Fenomena dari TikTok ini pun jadi pisau bermata dua. Pertama, dapat menarik kesadaran soal sejarah 1965 lebih jauh. Kedua, mewariskan dendam yang masih tersisa dari tahun-tahun penuh kekerasan itu.

Celakanya, jika cerita-cerita yang tersebar luas serupa PKI adalah perampok, pembunuh, atau melakukan tindakan kriminal pada masa itu, maka versi sejarah yang berbeda dari versi Orde Baru tetap akan menjadi tabu. Seperti tabunya mendengarkan lagu “Genjer-Genjer”.

Pasalnya, kita semua tahu, Orde Baru memang sudah begitu sukses mewariskan bualan bahwa para penjahat pada masa pemerintahan Sukarno adalah komunis. Stigma yang lahir sekarang soal PKI dan komunisme, memang buah dari propaganda berkala selama lebih dari 30-an tahun tanpa henti.

Boleh saja kita menilai tindakan ini kurang berempati terhadap trauma para orang tua. Tapi, tidak sepenuhnya generasi yang lebih muda bisa dikambinghitamkan begitu saja.

Buktinya kita bisa melihat dari narasi sejarah resmi di sekolah yang belum mengajarkan generasi muda untuk bersimpati pada korban kekerasan 1965. Bagaimana banyak korban yang tak tahu apa-apa tewas begitu saja sampai setengah juta orang dan jutaan lainnya ditahan serta disiksa tanpa peradilan.

Semua bisa terjadi karena mendadak semua orang yang tidak pro dengan Soeharto dianggap menjadi bagian dari G30S atau menjadi simpatisan komunis.

Meski agak geli dengan istilah “generasi”, tapi izinkan saya, yang lahir pada akhir ‘90-an ini, mewakili generasi saya. Kami, biar pun dibilang playing victim, pada faktanya memang betul-betul korban.

Kebebalan kami dalam menyikapi kekerasan 1965 itu dikondisikan oleh lingkungan. Selama ini, kami hanya diminta untuk membenci PKI, Lekra, komunis, tanpa pernah diajari untuk mengerti, sebenarnya apa yang mereka perbuat pada 1965 itu?

Sejarah dari sekolah dasar sampai menengah atas hanyalah hafalan tanggal, peristiwa, dan nama-nama tentara. Kami tidak pernah tahu setelah G30S terjadi pembunuhan massal. Bahkan genosida itu terjadi dalam skala begitu besar dengan angka yang betul-betul mengerikan.

Meski begitu, ketika pendidikan resmi belum menyediakan lahan untuk memberi perspektif baru soal sejarah “kekerasan 1965”, media dan kanal baru perlu dipikirkan untuk menyebarkan pengetahuan mengenai sejarah gelap Indonesia tersebut.

Salah satunya, ya lewat TikTok ini.

Untung saja Orde Baru tidak hadir hari ini, karena bisa aja mereka kaget dan geram, karena ternyata melawan hasil propaganda mereka pada zaman sekarang tidak butuh biaya mahal. Anak muda dikasih lagu “Genjer-Genjer” mereka penasaran, lalu di masa depan akan mencari sejarahnya, dalam versi yang lebih kompleks tentu saja.

Oleh karena itu, tidak adil rasanya bahwa kami menjadi satu-satunya yang dianggap sebagai pewaris sah dari kebebalan dan kekejaman masa lalu itu. Yang ada di benak kami adalah kebutuhan untuk melihat sejarah ini dari dua sisi, dua perspektif. Hal yang kerap ditentang oleh generasi lebih sepuh. Pamali untuk dibicarakan, tabu untuk diteliti kembali.

Dan sebagai ingatan kolektif, reaksi orang-orang tua terhadap lagu “Genjer-Genjer” di TikTok menjadi semacam petunjuk bahwa tugas rumah kita masih begitu banyak. Terutama ketika banyak orang tua yang hanya kasih nasihat singkat ke cucunya, “Ini lagu jelek! Jangan pernah putar lagi lagu ini!”

Fenomena ini juga menjelaskan dengan begitu terang soal kesenjangan pengetahuan sejarah 1965 yang tidak adil. Generasi muda kayak kami, lagi dan lagi, disuruh untuk benci kembali. Tanpa alasan pasti. Tanpa penjelasan yang terverifikasi.

Perampok boleh tobat, penjahat boleh insaf, manusia pendosa pun masih berpeluang diampuni, tapi tidak untuk lagu “Genjer-Genjer”… citranya tak akan bisa direkonsiliasi dari generasi ke generasi.

Kehidupan sepertinya tenang, terutama bagi sisa-sisa simpatisan Orba. Propaganda ketakutannya sukses terwarisi begitu abadi…

Dan semua ketenangan itu pun berubah, saat challenge TikTok mulai datang menyerang.

BACA JUGA Semua Akan Dituduh PKI pada Waktunya dan tulisan POJOKAN lainnya.

Exit mobile version