MOJOK.CO – Peristiwa Marc Marquez membuat Valentino Rossi tersungkur di balapan MotoGP Argentina mengandung hikmah yang bisa dipetik oleh si Nomor 46.
Di antara ingar bingar gelaran MotoGP seri Autodromo Termas de Rio Hondo (duh, susah banget bikin nama) di Argentina, Minggu, 8 April 2018 yang penuh kontroversi berkat ulah cah-cacad-cilik Marc Marquez, tampillah Jorge Lorenzo yang memainkan peran pertapa-bijak-bestari. Anda pasti abai padanya, kan? Dasar mainstream!
Hanya Lorenzolah yang menyuarakan dua refleksi menakjubkan di antara keriuhan tiga insiden ulah Marquez. Satu, ia menemukan keberadaan nyamuk saat free practice. Subhanallah, Zo… sempat-sempatnya ia berkabar lho tentang makhluk ciptaan Allah yang imut itu di antara blar-bler knalpot motor paling makrifat itu. Ini, ya… serius… jika bukan karena telah kasyaf-nya Lorenzo yang diikuti tajalli-nya pada seluruh ayat-ayat kauniyah, mustahil terpikirkan. Biar saja Lorenzo bilang nyamuk mengganggunya di lintasan free practice, poinnya adalah ingatannya dalam keriuhan duniawi pada satu ayat dalam Surah Al-Baqarah tentang diciptakannya nyamuk itu yang tidak sia-sia. Ini adalah musyahadah rohaninya yang tak tepermanai. Allahkarim….
Dua, lalu-lalang komentar usai balapan oleh Lorenzo disikapi reflektif buat dirinya sendiri. Bukan tentang Marquez ataupun Rossi, ia berkata, “Saya harus mencoba menghindari tabrakan seperti tahun lalu… saya mencoba memperbaiki posisi dan saat kondisi lintasan benar-benar kering, saya mulai balapan dengan baik.”
Ia finish di posisi 16. Eiiitsss, buat ahli makrifat, semua angka sama saja. Bahkan suka dan duka sama saja. Mau finish 16 atau 1, sama saja. Kehati-hatian agar diri tak menimbulkan madarat bagi pembalap lain adalah puncak rohani rider-ahlus-shuffah begini. Tabik, Zo….
Di manakah lalu posisi Marquez dan Rossi?
Ribut. Ruwet. Begitulah akibat melanturkan hawa nafsu, kan.
Marquez tetaplah Marquez. Sekalipun kabarnya ia mulai rajin membaca novel-novel Tere Liye, ia memang keterlaluan bikin ulah khas korban kobaran hawa nafsu yang diembuskan setan di Termas itu—ealah, nama ini apa ada kaitannya ya sama daerah Termas Pacitan, tempat pondok terkenal itu, ya?
Saat mau start, motornya mogok. Patut diinvestigasi di kasus ini, apakah mogoknya motor blar-bler itu karena kurangnya asupan bahan bakar yang naik harga ataukah tuas kopling tak dimainkan dengan benar olehnya ataukah saking biasanya Marquez naik motor matic macam buibu kita? Soal itu, biarlah race director yang ngurus, ya.
Udah tahu bikin kacau start, masih pula melanggar perintah panitia balapan dia. Disuruh mundur dan start dari buncit, malah masuk ke posisi start aslinya, 6. Ngeyel pol. Untung ya semua rider adalah minas shabirin, orang-orang yang sabar. Mereka pada nungguin Marquez beres di start 6 dulu. Coba kalau gaya para rider macam kita mau start di bangjo. Yakin! Bakal terjadi insiden massal itu.
Nggak cukup dengan ulah di start, ia serempeti pembalap Aprilia Aleix Espargaro. Untung nggak ada yang jatuh. Marquez sebodo teuing mah laju terus. Dan, puncaknya, ia memicu senggolan di lap 20 dengan Valentino Rossi my lov my lord….
Fatal! Marquez yang masuk dari sisi dalam mengabaikan rasio logis nikung di tikungan tajam dalam kecepatan tinggi—logikanya yang mustahil dipahami lah sama si babi alien ini. Jangankan lagi ngebut banget gitu, Mas Iqbal saat nyetirin Igniznya (nama mobil setengah jadi ini kok selalu ngingetin saya sama nama Franz Magnis dan Ignas Kleden, ya) aja butuh rasio putar, lho. Bummm! Terjadilah senggolan fatal itu.
Di tivi sih kelihatannya cuma gesek dikit. Tapi, di kecepatan tinggi begitu, sedikit saja benturan sangat besar lho energi yang bertumbukan. Rossi jelas dalam keadaan kalah posisi untuk senggolan itu. Ia yang sedang menekuk ke kanan, lalu tepat dari sisi dalam (kanan) disenggol oleh energi motor Marquez, sontak menegak terseret ke arah kiri—arah yang tak kokoh baginya. Lain cerita dengan posisi Marquez yang di saat senggolan terjadi, otomatis motornya menegak, terhalang oleh motor Rossi. Lebih mudah baginya untuk kembali tegak.
Wajar bila Rossi lalu terjatuh. Sudah hukum gravitasinya begitu. Hukum alam. Sunnatullah. Maka tawakallah….
Usai balapan, kita tahu, Marquez dengan diantar manajernya mendatangi paddock Rossi. Mau tabayyun. Halah, nyuwun ngapuro. Alessio Salucci menyambut kunjungan Marquez dengan hangat dan menyilakannya pergi dari arah mana ia datang. Kalau di masa sekolah dulu, kira-kira Salucci berkata gini kepada murid yang telat, “Silakan tutup pintunya dari luar, ya….”
Dari berjubel berita kita lalu mengerti bahwa Rossi marah, kecewa, dan bahkan mengatakan tak ingin ketemu lagi sama Marquez atau sekadar berdekatan. Duh, Rossi lagi dikuasai hawa nafsu ini, gumam saya. Semoga seiring jalannya waktu, Rossi bisa kulakan tausiyah sabar dan tawakal kepada Lorenzo, ya. Amin.
Penolakan Rossi dilandaskan pada statement-nya bahwa permintaan maaf Marquez tidak dilakukan dengan tulus. Pertama, ia tak datang sendirian, malah rombongan, kayak mau piknik. Kedua, ia melakukan hal ganaz membahayakan macam gitu berkali-kali, mencerminkan kurang hormatnya ia pada para kompetitornya. Agaknya, Rossi menganut ajaran bijak peperangan ala Priam Raja Troy: “Bahkan kepada musuhmu, tunjukkanlah rasa hormat….”
Ketiga, agar tak jadi preseden buruk bagi semesta MotoGP yang mana orang bisa melakukan tindakan berbahaya banget lalu selesai dengan minta maaf. Kira-kiranya, kalau macam orang medsos kita nih, “Maafmu kuterima, tapi proses hukum tetap lanjut, sesuai twitmu dulu itu lho.”
Saya, sebagai pemuja Rossi, kini sangat menyarankannya untuk mengambil sikap-sikap ini pasca-insiden Argentina tersebut.
Pertama, Marquez harus dipandang dan ditempatkan sebagai cah-cacad-cilik. Ya persislah kayak orang-orang medsos iyig di sekitar yang gaya-gaya macan lalu mendadak jadi kucing setelah diajak ngopi. Ternyata ngopi bisa mengubah macan jadi kucing. Ya, gitu. Maka, saya sarankan ke Rossi, ajaklah Marquez ngopi-ngopi tamvan gitu, lalu sodorin kertas bermaterai 6.000 dan tanda tangan, foto, lalu upload. Siapa tahu dengan cara begitulah Marquez jadi lebih dewasa-bijak-ahli hikmah dalam membalap. Kan pahalanya gede tuh buat Rossi.
Kedua, jika orang tua dulu menasihati kita dengan kumpulono wong kang saleh, berkumpullah dengan orang saleh, agar kita kecipratan ilmunya dan aura rohani salehnya, mendesak banget bagi Rossi di usianya yang sudah 39 tahun untuk berkumpul dengan Lorenzo yang pencapaian rohaninya terlihat jauh di atas usianya. Rossi perlu menyimak ilmu batin Lorenzo tentang nyamuk di lintasan balap. Jangan lupakan juga, dulu Lorenzo pernah merenungkan dengan ciamik soal stiker kaca helmnya di balapan. Siapa tahu, berikutnya, dari Lorenzolah Rossi bisa menyimak senarai-senarai hikmahnya seputar bising knalpot, manuk emprit, umbrella girl, dan Marno Blewah beserta para bidadarinya.
Jika dua pikiran saya ini diamalkan oleh Rossi, insyaallah hatinya akan lebih tenteram dalam menjalani interaksi sama Marquez. Di satu sisi, dinasihati atau tak dinasihati Marquez ya tetaplah Marquez, sama saja. Maklumin saja, lagi kufur. Mendoakan jauh lebih baik, semoga suatu hari berubah jadi syukur. Dan di sisi lain, pancaran batin rider-berohani-kasyaf macam Lorenzo seiring waktu akan menjadikan balapan MotoGP lebih sejuk dilihat: pelan, hati-hati, monggo, monggo….
Kan keren itu. Lorenzo adalah harapan terbesar kita pada keadaban kafah balapan MotoGP di masa depan.