Umrahnya Nenek Najiah

Hikayat-2019 - Mojok.co

MOJOK.CO – Kediaman Najiah hampir setiap hari dikunjungi anak-anak untuk belajar mengaji. Selama bertahun-tahun rumah Najiah menjadi tempat mengaji.

Pagi itu Najiah gelisah. Perasaannya berkelebat begitu kuat meraba, seakan terjadi sesuatu terhadap diri atau keluarganya. Makan tidak enak, tidur pun juga.

Nenek 79 tahun itu mondar-mandir saja. Batinnya centang-perenang. Mulutnya terus komat-kamit berdzikir, melafalkan Asmaul Husna. Akhirnya, ia memutuskan untuk berwudhu dan sembahyang sunah. Lalu memanjatkan doa kepada-Nya, memohon petunjuk dan ketenangan batin. Kemudian, Alquran ia lantunkan dengan hikmat.

Tak dinyana, kegelisahannya terjawab. Sore itu Najiah menerima seorang tetangga yang berkunjung ke rumahnya bernama Ibrahim.

Pak Ibrahim berkata, “Nenek, besok ikut saya ya, ke kantor imigrasi buat diambil foto.”

Najiah bingung, “Buat apa, Pak?” ujarnya.

Sambil tersenyum simpul Pak Ibrahim bertutur, “si Redy anak saya dan istrinya mau memberangkatkan Nenek pergi umrah tahun ini.”

Najiah terpana dan meneteskan air mata. Badannya menggigil. Setengah tidak percaya, setengah bersyukur. Inikah undanganmu, ya Allah? Alhamdulillah, batinnya.

Ia pun kemudian mengucapkan banyak terima kasih kepada keluarga besar Bapak Ibrahim. Hingga Najiah berangkat umrah pada 2009 silam, atas kedermawanan Redy dan istrinya.

Keluarga besar mereka memang telah belajar mengaji dengan Najiah. Bahkan, istri dari Redy, orang Manado yang kemudian menjadi mualaf, juga belajar membaca Alquran dengan sang nenek. Mereka sudah seperti keluarga sendiri.

Najiah lahir di Kambat Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan (Kalsel) pada 6 Juli 1942.

Ia anak pertama dari empat bersaudara, terdiri dari tiga perempuan dan satu orang laki-laki. Kedua orang tuanya, Muhammad Rafi’i dan Sabariah adalah seorang petani. Asli HST. Ayahnya hanya sempat sekolah hingga tingkat tsanawiyah dan ibunya berijazah Sekolah Rakjat (SR).

Sebagai anak desa dengan kondisi ekonomi yang tak berpunya, Najiah hanya sempat sekolah hingga tingkat tsanawiyah. Kemudian, ia sempat bekerja sebagai tenaga honorer di sebuah kantor pemerintah di Batu Mandi, HST.

Ia kemudian dijodohkan oleh keluarganya dan kemudian menikah dengan Isya Ansyari. Lelaki itu sebenarnya masih kerabat jauh. Keluarga suaminya ini adalah perantuan Banjar di Serawak, Malaysia.

Isya sendiri mengenyam pendidikan hingga PGA (Pendidikan Guru Agama). Setelah menikah dan melahirkan anak pertamanya, Abdul Mujib, Najiah dan suami kemudian memilih merantau ke Gambut, Kabupaten Banjar, Kalsel. Di sanalah, ia lantas melahirkan putra kedua, bernama Mahli.

Pasca menetap selama sepuluh tahun di Gambut, keluarga kecil Najiah pindah ke Banjarmasin. Di Banjarmasin, kerabatnya yang kebetulan tak memiliki keturunan, memintanya untuk berkumpul dan tinggal bersama.

Pasca menetap di sana, pasangan suami-istri ini dianugerahi dua orang putra lagi, yakni Yusni dan Subhan Ramadani. Isya Ansyari, sang suami, telah lama berpulang keharibaan, pada 2003 silam.

Kini, nenek dengan lima cucu ini, tinggal dengan Yusni dan Subhan Ramadani di rumah panggungnya yang amat sederhana di Gang Melati, Kelurahan Kebun Bunga, Kecamatan Banjarmasin Timur, Banjarmasin, Kalsel.

Seperti diketahui, pada umumnya masyarakat Banjar di Kalsel membuat rumah panggung dengan bahan kayu besi (ulin), karena kondisi tanah yang berawa.

Berprofesi sebagai guru mengaji adalah suatu yang tak pernah dicita-citakan wanita yang memiliki tinggi 161 dan berat 86 kg itu. Riwayat menjadi guru mengaji ini sebenarnya tak disengaja. Sewaktu tinggal di Gambut, sebagai seorang muslim, ia merasa berkewajiban untuk mengaji dasar-dasar Islam kepada anaknya.

“Saya mengajari tata cara sembahyang dan membaca Alquran kepada Mujib,” katanya. Ternyata Mujib, dalam waktu tiga bulan sudah bisa menamatkan Alquran. Saat itu dia sangat bersemangat dan rajin sekali. Najiah pun sangat senang dan bangga melihat ketekunan anaknya.

Tak dinyana, suatu hari ada tetangga Najiah yang–mungkin karena sering mendengarkan setiap hari rutinitas tadarus ibu-anak itu. Para tetangga berdatangan meminta tolong kepadanya untuk bersedia mendidik anak-anaknya membaca Alquran.

Jika ia ikut pengajian, yasinan atau tahlilan dengan warga sekitar, Mujib sering diajak. Karena terpikat dengan kefasihan sang anak membaca Alquran, banyak ibu yang tertarik dan meminta Najiah untuk mengajari anak mereka. Maka, makin bertambahlah jumlah murid mengaji di kediamannya.

Sejak saat itu, rumah Najiah setiap hari dikunjungi anak-anak untuk belajar mengaji.

Dengan tersipu ia mengenang masa itu, “Setelah sekian puluh tahun kemudian, murid-murid saya dulu di Gambut itu, kini alhamdulillah sudah banyak yang jadi sarjana dan sukses dalam karir dan berumah tangga. Hingga sekarang, kami semua masih menjalin silaturahmi. Rasanya senang sekali dan bangga pada mereka,” ungkapnya.

Di Banjarmasin, terjadi hal yang serupa. Saat Najiah mengajari mengaji Subhan Ramadhani selepas magrib secara rutin, banyak tetangga yang kemudian menitipkan anaknya diajari mengaji.

Memang saat itu, di daerah sekitar tempat tinggal mereka, belum berdiri Taman Pendidikan Alquran (TPA). Maka, tidak heran banyak orang tua yang risau ingin menyekolahkan anaknya agar mampu dan fasih membaca Alquran.

Hampir setiap hari, rumah Najiah diramaikan oleh tadarus Alquran. Bertahun-tahun, tiada putus hingga 2013 lalu. “Murid mengaji saya tidak hanya anak-anak, tapi juga ada yang dewasa. Tentu, jadwalnya berbeda. Kalau jadwal mengaji untuk anak-anak adalah selepas magrib, nah untuk jadwal murid yang dewasa, biasanya mereka datang ke rumah saya di sore hari,” katanya.

Memang saat itu belum ada berdiri TPA di lingkungan tempat tinggalnya. Tapi, tidak menutup kemungkinan jika diperlukan, Najiah siap datang menyambangi rumahnya murid dewasanya.

Sejak 2013 lalu, Najiah berhenti menjadi guru mengaji. “Saya tidak lagi mengajar mengaji di rumah, karena memang sudah tidak ada lagi murid yang ingin diajari. Alhamdulillah, sekarang di sini sudah ada TK Alquran, lembaga formal yang secara sistematis dan modern mengajari mengaji,” ucapnya.

Kini ia bisa  aktif manuntut (mengikuti) pengajian di berbagai majelis taklim, yasinan dan tadarus Alquran. Kiwari, Najiah dan beberapa temannya secara rutin mengikuti tadarus sebanyak satu juz perhari. Aktivitas ini sudah mereka jalani selama empat tahun. Mereka juga belajar tafsirnya. Meski demikian, Najiah masih sering dimintai tolong untuk memandikan jenazah perempuan oleh masyarakat.

Dalam proses mendidik, Najiah tidak pernah memasang tarif kepada orang tua murid, begitu juga murid dewasa. Namun jika ada yang memberi, entah berupa uang atau beras, dan lain-lain, ia tidak bisa menolak. Baginya terpenting adalah keikhlasan.

“Jika ada orang memberi, kita sambut. Kalau tidak ya tidak apa-apa, semua karena Allah Swt. saja. Kenapa saya tidak memungut biaya? Alasannya sederhana saja, saya malu karena bukanlah guru mengaji yang baik, ilmu ini saya rasa masih rendah, belum apa-apa dibandingkan dengan kemampuan guru mengaji yang lainnya, apalagi pengajar di TPA. Saya ini hanya orang tua biasa yang tak berilmu pesantren,” katanya. Ia anggap menjalani semua itu sebagai amal ibadah.

Menurut Najiah, seorang pendidik harus memiliki rasa kasih sayang yang tinggi. Najiah membagi cerita, “Jika ingin menegur murid yang bandel, gunakanlah kata-kata yang lemah lembut dan diselingi dengan canda-tawa, kemudian ajak lagi buat fokus untuk mengaji. Kalau mendidik dengan cara-cara keras dan marah, pasti anak murid akan berhenti belajar dan akhirnya tidak berhasil tamat membaca Alquran. Itu yang tidak saya inginkan.”

Setelah mendedikasikan diri dengan mendidik Alquran kepada anak selama lebih setengah abad, Najiah merasakan banyak keberkahan dalam hidupnya. Baginya, Alquran itu pedoman sekaligus kompas kehidupan di dunia ini, agar manusia bisa selamat di dunia dan di akhirat.

Tegas ia mengatakan, “Percayalah, membaca dan mengamalkan mukjizat dari Nabi Muhammad Saw ini, bukan tindakan yang sia-sia, melainkan banyak faedah!”

Hikmah lain ia alami dalam mengamalkan Alquran. dalam hidup tentu ada saja masalah, dengan begitu, Tuhan memberikan petunjuk, dan entah bagaimana selalu saja ada jalan keluarnya.

“Sering kali saya sedang tidak punya uang, tapi tak begitu lama kemudian rezeki itu datang sendiri, entah ada yang memberi, entah dari mana munculnya. Saya yakin ini berkah dari mengamalkan Alquran itu,” tegasnya.

Najiah bisa dikatakan hidup pas-pasan. Sebagai seorang lansia, ia tidak memiliki pakaian bagus seperti perempuan lain yang berpunya. Tetapi, selalu saja ada bekas murid yang memberikan hadiah, seperti kerudung dan mukena atau pakaian muslimah.

Selain itu, ia juga bersyukur karena dapat menyekolahkan semua anaknya hingga menjadi sarjana. “Anak-anak saya alhamdulillah semuanya lulus S1. Semua berprestasi, mandiri dan dapat beasiswa,” ungkapnya.

Kini dua putranya bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan dua lainnya bekerja sebagai wiraswasta.


Sepanjang Ramadan MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus soal hikayat dan sejarah peradaban Islam dari sejarahwan Muhammad Iqbal.

Exit mobile version