MOJOK.CO – WHO dituding warganet jadi ganjalan atas obat Covid-19 hasil kerja sama Unair, TNI, dan BIN. Udah klaim 90-an persen mujarab padahal.
Aduh, pusing banget rasanya membaca kolom komentar di laman Instagram @narasinews. Terutama soal postingan yang memberitakan beragam kritik akademisi soal validitas proses pengujian obat Covid-19 kerja sama antara Unair, TNI AD, dan BIN.
Ringkasan kolom komentarnya; banyak yang suudzon proses pengujian obat yang repot ini bagian dari konspirasi WHO biar kita nggak bisa bikin obat, dan sebagian yang lain langsung tuding adanya pilih kasih dengan obat dari Cina.
Bahkan ada yang protes kenapa kita harus selalu berpatok sama jurnal? Kan mending cobain aja dulu dulu (dih, saya kagak mau ikutan yak kalo model begini-begini).
Kebanyakan warganet mendadak langsung baper banget ya sama uji klinis. Padahal untuk memahami kenapa obat perlu diuji klinis itu… nggak jauh beda sama memahami kenapa kita harus beli helm SNI? Evidence based decision making.
Hah, gimana tuh maksudnya?
Oke deh, sebenarnya istilah evidence based decision making itu luas banget sih.
Sederhananya gini: bagaimana kita menggunakan fakta objektif yang dihasilkan dari data dan analisis ilmiah sebagai dasar kesimpulan untuk dijadikan landasan pengambilan keputusan.
Nah, contoh paling simpel dan sering banget kita temui adalah helm SNI.
Selain jadi logo ajaib ini menjauhkan kita dari surat tilang, dengan membeli helm SNI kita dapet jaminan bahwa helm kita udah lulus ujian kriteria kelulusan tertentu, yang disimpulkan dari proses pengujian tertentu. Kalo kamu penasaran lihat aja di sini.
Nah, karena helm tersebut udah lulus dengan kriteria dan prosedur pengujian yang dianggap cukup melindungi pengendara makanya helm itu boleh beredar di Indonesia.
Kalau sampeyan tiap beli helm di toko masih nanya helmnya SNI ato nggak, harusnya nggak kaget dong kalo beragam gabungan zat kimia yang akan dimasukkan ke tubuh sebagai obat harus melalui proses pengujian?
Biar terjamin lah manfaatnya buat kita sebagai konsumen. Kan nggak lucu juga kalo udah menggunakan helm ternyata nggak melindungi kepala atau udah minum obat ternyata nggak bikin sembuh.
Kalo helm kan dibanting, obat pasti pengujiannya nggak dibanting-banting juga dong?
Bener. Hanya saja, karena saya nggak nemu standar BPOM-nya, mungkin standar FDA yang bisa diakses di sini layak jadi gambaran.
Intinya ada 4 tahap yang nguji apakah obatnya efektif ato nggak; dosis, efek samping dan keamanan. Kalo kamu baca itu prosesnya berulang banget, satu kriteria diuji berkali-kali, karena memang untuk bikin fakta ilmiah terkait dampak obat itu cukup sulit.
Hal yang memengaruhi keadaan pasien itu beragam banget, makanya pengujiah obat jadi repot, misalnya kayak yang dicontokan official account @fkuitanggapcovid19:
“Jika semua pasien Covid-19 di Indonesia sembuh dan merasa lebih baik setelah makan nasi, apakah nasi adalah obat Covid-19?
Sementara, di negara lain, pasien yang tidak mengonsumsi nasi pun tetap sembuh, hal ini menandakan bahwa tidak sembarang produk dapat diklaim sebagai obat.”
Contoh lain yang menujukan betapa repotnya uji klinis adalah “efek plasebo” atau perbaikan kondisi pasien terjadi karena faktor yang diasosiasikan dengan persepsi pasien dari sebuah tindakan, bukan karena obatnya. Lengkapnya baca di sini aja.
Contoh paling sederhana: kalau habis jatuh bagian yang terluka ditiup biar sakitnya berkurang, nah bukan berarti angin dari mulut manusia jadi obat luka kan?
Artinya, ini semua proses ilmiah, bukan nego-negoan politik kayak suudzon wargenet.
Obat nggak lolos uji klinis tuh wajar banget dan nggak ada yang perlu dibaperin, bahkan di FDA Amerika aja cuma ngelolosin 25-30% obat dari fase ke 3 uji klinis. Jadi nggak cuma “karya anak bangsa” lah yang sulit untuk lulus uji klinis kayak suudzon-nya warganet.
Tapi ini skenario jahatnya WHO kan?
Oke, sebagai fun fact, WHO bukan pengambil keputusan apakah obat lulus uji klinis ato kagak, yang punya kewenangan itu di Indonesia adalah warganet BPOM.
WHO hanya mengatur mengembangkan norma, standar, dan prosedur dan panduan yang diakui secara internasional, dan memberikan asistensi untuk penerapan panduan yang telah diakui tersebut. Jadi untuk nentuin obat lolos ato nggak ya pilihan BPOM.
Nah, asumsi kedua, WHO dituding menghalang-halangi obat Covid-19 kerja sama Unair, TNI AD, dan BIN.
Faktanya, WHO cuma ngeluarin hasil studi yang menunjukan bahwa pemberian Hydroxychloroquine untuk pasien Coivid-19 menunjukan sedikit atau tidak sama sekali perubahan. Kalau nggak percaya monggo cek di sini.
Nah, kebetulan kombinasi obat Covid-19 Unair menggunakan Hydroxychloroquine, tandanya WHO beneran ngejegal langkah Indonesia kan?
Hm, nggak juga.
Toh yang mencoba menggunakan bahan kimia yang-namanya-susah-disebut-itu buat mengobati Covid-19 nggak cuma Indonesia. Cina udah melakukan uji coba dengan bahan yang sama sejak Mei 2020 dan bisa sampeyan lihat di sini.
Hydroxychloroquine juga sempat digunakan di beberapa negara lain, jadi kalaupun WHO tidak menunjukan Hydroxychloroquine tidak efektif itu bukan konspirasi untuk menghalangi langkah Indonesia bikin obat Covid-19, tapi ya emang ada temuan bahwa zat tersebut nggak efektif.
Jadi ya mau Indonesia kek, Amerika kek, Cina kek, bahkan negara macam Wakanda kek ya tetep aja hasilnya sama. Jadi, udeh lah nggak usah ke-geer-an bet kayak Indonesia ini adalah pusat semesta dari krisis Covid-19.
Tapi kadar keberhasilannya 90%, nggak mungkin gagal lah nih obat.
Hm, saya agak kaget sih banyak banget orang Indonesia yang langsung percaya aja dengan angka tersebut. Kebiasaan warganet Indonesia ketika ketemu klaim angka, statistik, dan kesimpulan langsung percaya tanpa mempertanyakan bagaimana kesimpulan itu bisa dicapai.
Nah sebenernya hal beginian nggak ditemukan di kolom komen doang, keliatan banget ketika membahas berbagai temuan tentang Covid-19 baik media mainstream atau Youtuber Indonesia jarang membahas apakah kesimpulan yang diberitakannya memiliki “backing” referensi ilmiah.
Beda ketika saya membaca beberapa media berbahasa Inggris atau Youtuber seperti channel SciShow yang bakal selalu memberikan disklaimer apabila studi yang dikutip belum melalui proses “peer review”.
Sampai saat ini memang ada beberapa media nasional yang memberitakan kalau obat Covid-19 Unair ini mencapai efektivitas keberhasilan 90% atau lebih, tapi ya plis jangan ditelan bulat-bulat juga. Itu kan baru klaim sepihak doang.
Soalnya, toh kita nggak tahu bagaimana pengujian sampelnya, bagaimana penyebaran sampelnya. Singkatnya, berita-berita bombastis tersebut tidak membahas secara lengkap metodologi sampai kesimpulan obat Covid-19 Unair benar-benar mampu mengatasi Covid-19 atau tidak.
Hal paling sederhana yang bisa kita lakukan adalah melihat apakah kesimpulan tersebut diambil dari sebuah jurnal ilmiah yang sudah melalui proses “peer review”. Proses di mana para ilmuwan mengevaluasi kualitas dari hasil riset ilmuwan lainnya. Dan biasanya, makin kredibel jurnalnya makin repot pula proses “peer review”-nya.
Oleh karena itu, nggak usah baper. Toh, tujuan proses ini jelas untuk menjamin kualitas dan konsistensi produk akademis, dan menjamin independensi ilmu pengetahuan dari pengaruh politik atau ekonomi.
Masalahnya sampai tulisan ini dibuat, saya belum menemukan jurnal ilmiah yang telah melalui proses “peer review” untuk melandasi kesimpulan efektivitas 90% obat Covid-19 Unair, TNI AD, dan BIN tersebut.
Publikasi Jurnal Unair tentang Covid-19 yang tersedia pun bahkan tidak membahas mengenai obat, tetapi transmisi virus dengan/dan mengenai transparansi data. Dengan demikian, klaim 90% tersebut masih mungkin saja benar atau mungkin saja salah.
Sebenernya kegiatan para ahli yang ramai-ramai mengkritik mengenai temuan obat tersebut di media, seharusnya dilakukan secara damai di kampus atau wilayah akademis. Namun, kalau seandainya keberadaan proses “peer review”-nya saja dipertanyakan, ya wajar lah kalau para akademisi melakukan “peer review”-nya di media masa.
Oke, oke, saya tahu, sejujurnya, saya sih juga berharap kalau obat Covid-19 ditemukan oleh ilmuwan Indonesia, hanya saja obat tersebut tetap harus melalui prosedur ilmiah pula. Nggak mentang-mentang cinta NKRI, lantas prosedur keselamatan masyarakat jadi tidak diperhatikan. Apalagi ini ngomongin obat.
Nah, yang patut diinget tugas BPOM memang untuk menyortir obat mana yang sudah teruji dengan prosedur yang benar, mana yang tidak. It’s their job. Terus kalau lihat para akademisi mengkritik suatu temuan itu bukan berarti mereka itu iri, nggak nasionalis, atau antek WHO. Itu semua emang keseharian dunia akademis di mana antara satu akademisi dan yang lainnya saling menguji dan mengkritik untuk menjamin kualitas produk terbaik.
Kritik yang diajukan kepada temuan ilmiah bukanlah hal yang politis, tetapi ketika sesuatu yang belum teruji secara ilmiah malah kayak dipaksakan…
…nah, di situlah motif “politik”-nya justru kelihatan.
BACA JUGA Benarkah Indonesia Jadi Kelinci Percobaan Uji Vaksin Corona dari Cina? atau tulisan soal OBAT CORONA lainnya.