MOJOK.CO – Kuliah di kampus besar seperti UGM nyatanya memberi keuntungan tersendiri. Salah satunya terhindar dari dosen-dosen problematik.
Ketika SMA, saya pernah berpikir bahwa kuliah di mana saja itu tidak jauh berbeda. Asalkan bukan kampus yang antah berantah banget, paling kualitasnya juga sama. Namun, setelah kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM), saya menyadari satu hal.
Di sana, ada ada gap besar antara kampus saya dengan beberapa kampus lain. Padahal sama-sama kampus negeri. Secara peringkat nasional juga tidak sampai berjarak puluhan.
Saya semakin memahami bahwa “kuliah di mana saja itu sama” adalah suatu kebohongan. Pasalnya, setiap kampus itu berbeda. Mulai dari fasilitas pendukung, kegiatan mahasiswa, hingga kecepatan pelayanan administrasi.
Selain itu, salah satu pembeda besar yang saya rasakan dan sadari setelah kuliah di UGM adalah mayoritas kampus besar memiliki dosen dan tenaga pendidik yang profesional. Mereka juga tidak gila hormat.
Pasalnya, tidak jarang, fasilitas fisik sudah mendukung, tetapi SDM-nya menyulitkan proses pembelajaran. Mulai dari petugas administrasi yang tidak informatif hingga dosen pembimbing yang hilang-hilangan.
Pelayanan administrasi di UGM secepat kilat, tidak perlu berminggu-minggu
Pernah suatu ketika, saya akan mengadakan sosialisasi masuk kampus ke SMA di Jember bersama beberapa alumni. Ternyata, dari pihak sekolah membutuhkan surat masuk resmi untuk mengadakan kegiatan di SMA. Karena kami tidak mempunyai organisasi resmi, akhirnya saya meminta surat sosialisasi ke UGM.
Di luar dugaan, meskipun saya mengajukan di hari Minggu, ternyata surat tersebut sudah tertandatangani beberapa jam setelahnya. Bahkan, kecepatannya melebihi fitur pengiriman instan di e-commerce.
Saya merasa bak pahlawan. Pasalnya, banyak layanan administrasi di beberapa kampus sama lemotnya dengan mengurus KTP di kecamatan.
Saya menyadari hal ini merupakan privilese kuliah di UGM. Di kampus lain, jangankan 1 hari, 2 minggu kemudian belum tentu beres. Sekalipun surat administrasi yang sifatnya penting dan mendadak seperti pengurusan KRS hingga administrasi skripsi.
Baca halaman selanjutnya: Kampus besar memberi kemudahan.
Bimbingan skripsi tidak harus tatap muka, bisa via WhatsApp
Skripsi adalah momok bagi hampir semua mahasiswa. Ya, meskipun, kalau dipikir-pikir, skripsi ya tidak jauh beda dengan mata kuliah lainnya. Bedanya, kita mengerjakan tugas secara mandiri, topiknya lebih dalam, dan pertemuan dengan dosen bisa fleksibel sesuai kebutuhan. Eh, banyak ding ya.
Apapun itu, skripsi tetaplah skripsi. Banyak hal tidak terduga ketika mengerjakannya. Misalnya, biaya penelitian yang membengkak, sulitnya mencari respondens, hingga dosen pembimbing yang sulit ditemui. Mulai dari sibuk karena punya jabatan kampus, dinas luar kota, hingga urusan pribadi seperti naik haji. Ya, mahasiswa ditinggal naik haji juga ada. Bukan suatu hal yang salah, tetapi soal timing jadi susah.
Syukur, ketika mengerjakan skripsi di UGM, saya sangat terbantu dengan dosen pembimbing yang sangat suportif dan sama sekali tidak mempersulit mahasiswanya. Bahkan, mahasiswa bimbingan beliau beberapa kali dijajanin kopi di kafe dekat UGM biar lebih rileks. Pertemuan juga berjalan cair. Tetap dibahas dengan serius, tetapi tidak tegang-tegang amat.
Bahkan, saya sendiri beberapa kali juga cukup “cerewet” kepada dosen pembimbing. Meskipun baru saja bimbingan di hari yang sama, saya beberapa kali tetap mengonfirmasi via WhatsApp ketika ada detail dalam proses penelitian yang ternyata kurang saya pahami.
Apakah dosen pembimbing saya di UGM marah-marah dan menganggap tidak sopan? Nyatanya, tidak. Meskipun tidak benar-benar tahu isi hatinya, saya cukup yakin mempunyai perspektif yang sama: kalau bisa diselesaikan melalui chat WhatsApp, mengapa harus repot-repot tatap muka hanya untuk membahas satu atau dua pertanyaan?
Sedangkan, ketika mengobrol dengan mahasiswa di kampus lain, jangankan diskusi via WhatsApp, pesan dibalas di hari yang sama saja sudah merupakan keajaiban. Bagi mahasiswa di sebagian kampus, dosen pembimbing membalas pesan 1 minggu sekali masih dilihat sebagai kewajaran.
Di UGM, kegiatan mahasiswa diapresiasi dan didukung, tidak ditelantarkan terus tiba-tiba diklaim
Saya kerap menemui cerita mahasiswa yang jadi budak penelitian dosen sendiri. Mereka disuruh mengerjakan penelitian yang di luar kemampuannya, tetapi hanya diapresiasi dengan ucapan terima kasih.
Jadi, boro-boro dapat insentif, dapat makan dan cemilan gratis saja sudah syukur. Kata oknum dosen seperti ini sih, dalihnya sebagai memperluas relasi dan menambah pengalaman.
Nah, di UGM sendiri, khususnya di program studi saya, dosennya sangat terbuka jika ada kolaborasi penelitian, lomba, hingga pengabdian. Kalau mahasiswa ingin dibimbing di luar perkuliahan, akan difasilitasi semaksimal mungkin. Kalau butuh wadah aktualisasi diri, sebisa mungkin pengurus program studi mencoba untuk memfasilitasi.
Kerennya, di program studi saya di UGM, yaitu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), bagi mahasiswa yang memenangkan lomba atau menciptakan suatu karya, akan dapat insentif tambahan. Ya, saya sebut insentif tambahan karena di UGM sudah dapat insentif khusus.
Jadi, bisa dibilang, di beberapa kampus besar, mahasiswa sangat diuntungkan ketika mempunyai prestasi. Baik itu prestasi akademik maupun non-akademik. Dan jarang ada cerita kampus mengklaim pencapaian mahasiswa sebagai prestasi yang ditorehkan berkat fasilitasi dari dosen atau pihak kampus.
Mahasiswa didukung dan diapresiasi dengan layak. Tidak seperti SMA yang padahal nggak ngapa-ngapain, mengklaim perjuangan siswanya masuk PTN. Hehehe.
Kuliah di mana saja itu sama memang suatu kebohongan
Sampai di sini kita jadi sama-sama paham kalau kuliah di mana saja itu sama adalah kebohongan semata. Banyak mahasiswa nggak bisa bayar UKT karena banding UKT-nya terkendala administrasi yang rumit. Ada juga mahasiswa yang nilainya kecil hanya karena dinilai nggak sopan ketika chat WhatsApp. Dan, tidak sedikit mahasiswa yang telat lulus karena dosen pembimbingnya entah ke mana. Bisa jadi lagi main media sosial dan menyudutkan mahasiswa yang katanya tidak sopan itu.
Nyatanya, meskipun tidak bisa digeneralisasi, nama besar besar kampus seperti UGM nggak bisa bohong. Meskipun kampus dengan nama besar pun bisa bohong. Ya, semoga kita dihindarkan dari kampus dan dosen problematik, serta lulus dengan ijazah asli tanpa editan sama sekali. Eh.
Penulis: David Aji Pangestu
Editor: Yamadipato Seno
BACA JUGA Saya Gagal Kuliah di UGM, dan setelah 13 Tahun, Penyesalan Tersebut Tetap Ada dan catatan lainnya di rubrik ESAI.
