MOJOK.CO – Perlu perhatian khusus kalau mau memperkenalkan hantu pocong di Amerika saat Halloween. Pocong dianggap kurang mengancam soalnya.
Halloween satu bulan lagi tiba. Perayaan yang jatuh setiap tanggal 31 Oktober ini ramai sekali di Amerika. Kalau di Indonesia sih yang ramai tanggal 30 September atau 1 Oktober sih ya, jadi hype Holloween nggak begitu kerasa.
Nah, nggak jauh berbeda dengan yang ada di tipi-tipi, di Amerika sini Halloween dirayakan dengan memakai kostum-kostum seram, menghias rumah dengan labu, dan dekorasi khas Halloween lainnya, mengetok rumah tetangga dan minta permen (trick or treat), atau saling berbagi cerita hantu.
Sebagai orang Klaten yang kini jadi warga negara Amerika, saya dulu pernah punya ide untuk memperkenalkan hantu pocong pada masyarakat Amerika. Terutama saat Halloween.
“Ini lho Mister, ini namanya pocong, hantu yang duduk di jajaran papan atas hantu terseram di Indonesia. Orang Amerika wajib tahu!” kira-kira gitu.
Berbekal sprei putih dan beberapa utas tali berwarna sama, maka jadilah saya Mumun, pocong wati yang pernah menghantui masyarakat Indonesia melalui salah satu stasiun tipi swasta selama dua season.
Saya tahu, jauh sebelum saya jadi pocong di Amerika, sineas seperti Bang Joko Anwar sudah lebih dulu memperkenalkan pocong di Amerika melalui film-filmnya. Tapi setelah saya merasakan sendiri bagaimana saya jadi simulasi pocong di sini, barangkali saya bisa kasih rekomendasi para sineas muda untuk memperkenalkan hantu-hantu Indonesia di Amerika.
Ide saya nggak main-main, kalau bisa kita jangan cuma bikin film yang ceritanya orang Indonesia ditakuti hantu Indonesia, tapi bagaimana kalau hantu Indonesia menakut-nakuti orang Amerika?
Mungkin jalannya bakalan agak panjang, tapi belajar dari kiprah Sadako yang sukses menakut-nakuti orang Jepang melalui Ringu dan berhasil juga menakuti orang Amerika setelah diremake menjadi The Ring, saya pikir pocong juga bisa jadi hantu yang sukses di tanah Paman Sam.
Hal pertama yang harus kita telusuri agar pocong bisa diterima orang Amerika, kita harus tahu dulu kenapa mereka bisa nggak takut pocong. Sedikit analisis masalah agar problem solve-nya bisa kita temukan.
Nah, kenyataan paling mendasar yang harus diterima adalah, secara basic orang Amerika tidak takut pocong, karena, pertama, mereka tidak tahu pocong itu apa. Pocong secara wujud asli orang meninggal ya, bukan sebagai hantu.
“Loh, tapi kan di Amerika ada orang orang Islam. Mereka kalau meninggal kan juga dikebumikan pakai kafan?” begitu sanggah teman saya, polos.
Masalahnya saya sendiri belum pernah mendengar ada kasus orang ketakutan lihat pocong di sini. Kalau konon jin qorin bisa menyamar menjadi hantu manusia yang sudah meninggal, kok di Amerika nggak ada pocong hayo?
Padahal kompleks pemakaman Muslim di Houston, Texas, itu luas banget lho. Masa iya nggak ada satu pun jin qorin iseng jadi pocong di Amerika yang menyapa bule-bule di sini dengan “culikang”-nya?
Kedua, beda negara beda budaya. Beberapa teman orang Amerika yang saya tanyai, mereka takutnya sama yang namanya boneka bisa hidup sendiri, badut, monster, zombie, vampire, ruang rahasia, atau benda-benda tua yang bisa jadi punya misteri dan mengandung kutukan (intinya yang bisa mengancam keselamatan).
Itulah kenapa tanggapan mereka ketika saya memakai kostum pocong saat Halloween justru jadi bingung. Hantu apa ini kok ngrepotin? Mau jalan susah, mau ngambil snack susah, mau ke toilet susah. Gimana mau mengancam jiwa orang lain kalau jalannya aja susah?
Meski demikian, dari hasil ngobrol-ngobrol saya dengan komunitas akamsi, ada beberapa poin yang bisa menjadi rekomendasi agar pocong bisa lebih diterima orang Amerika.
Ukuran pocong
Orang sini suka ontime. Demikian juga soal ukuran, suka presisi. Menurut mereka, ukuran hantu itu harus pas. Harus standar tinggi orang Amerika dan memiliki postur ideal. Soal ini, saya setuju. Pocong yang terlalu mini tidak akan serem buat mereka, tapi malah bikin gemes.
Ini hal yang baru saya tahu ketika saya jadi pocong saat Halloween tahun kemarin. Bukannya takut, ketika mereka melihat saya, sesosok hantu pocong yang tingginya cuma 153 cm terbungkus sprei, mereka malah ketawa.
Nah, soal ukuran pocong inilah yang perlu diperhatikan buat teman-teman Amerika saya. Bukan bermaksud body shamming, tapi pocong juga tidak boleh gembul, karena nanti jadi gemoy.
Pocong juga tidak boleh terlalu tinggi besar, karena akan terlihat seperti buntelan raksasa. Tidak boleh terlalu perkasa seperti binaraga, karena bungkusannya akan kelihatan aneh, upper body-nya kekar sekali seperti Bang Tigor kan malah wagu.
Oleh sebab itu, saya menyimpulkan bahwa letak keseraman pocong yang penting diperhatikan adalah posturnya harus similar dengan komunitas orang yang mau ditakut-takuti.
Karakteristik pocong
Selain postur yang ideal, penampilan pocong juga harus diperhatikan agar bisa diterima oleh pasar Amerika. Menurut orang sini ketika saya pakai kostum pocong itu “terlalu boring”.
Kalau ingin berhasil, hantu pocong harus punya karakteristik yang ingin ditonjolkan seperti hantu-hantu lainnya, misalnya Valak bajunya suster Katolik dan kukunya tajam. Karena pocong pada dasarnya hanya manusia mati yang dibungkus kafan dan hanya kelihatan mukanya saja, harus diakui sedikit sulit untuk menonjolkan karakteristiknya.
Berdasarkan saran kawan saya, karena orang sini cukup doyan film yang berdarah-darah, maka pocong kalau bisa kafannya jangan putih bersih seperti Pocong Mumun dan pocong-pocong prank pada umumnya. Pocong harusnya dibikin banyak darahnya, semata-mata biar dapet kesan gore-nya, yah biar bisa go international lah.
Punya pesan yang kuat
Pocong yang berasimilasi dengan masyarakat Amerika, tidak lagi bisa hanya mengandalkan permasalahan pocong Indonesia yang terlalu simpel: menampakkan diri agar dibukakan tali pocongnya. Itu bisa bikin permasalahan lagi karena njelasin soal tali pocong bisa-bisa perlu 3 SKS sendiri untuk orang Amerika.
Poinnya, pocong di Amerika harus punya pesan yang lebih kuat untuk memberi kesan seram. Seperti di film The Conjuring yang kisahnya menceritakan peran serta iblis atau kekuatan maha jahat lainnya. Nah pocong Amerika mungkin juga bisa dicoba colab sama setan mitologi agama lain atau mitos-mitos lokal. Ya semata-mata biar makin relate aja sama kehidupan masyarakat Amerika sini.
Adegan laga yang masuk akal
Meskipun ini film horor, bukan berarti tidak ada adegan gelutnya. Di film The Nun, Suster Irene harus berkelahi melawan Valak. Ingat ya, pocong itu wujudnya bungkusan, tidak bisa menggunakan tangan untuk mencekek manusia seperti Valak mencekek Suster Irene.
Cuman film Warkop DKI Setan Kredit aja yang pernah saya tonton, di mana Indro harus melawan pocong yang jago kungfu. Setelah itu ada Kung Fu Pocong Perawan yang dibintangi almarhum Olga, tapi saya nggak berani nonton. Bukan karena takut, tapi demi menjaga kewarasan saya aja.
Jadi, harus dipikir matang-matang bagaimana hantu pocong harus dikreasi ada unsur laganya. Bahkan tidak hanya sekadar ada adegan laganya, tapi juga harus ada alasan yang rada logis bagaimana pocong bisa mengancam jiwa manusia.
Misalnya pocong bisa punya kemampuan hipnotis untuk ngebunuh orang atau kemampuan super lainnya. Tanpa kemampuan-kemampuan itu, kesan seram nggak akan muncul, yang ada malah muncul rasa kasihan karena wujud pocong secara sekilas kayak nggak bisa ngapa-ngapain.
Nah, jika hal-hal itu bisa dimasukkan ke dalam film-film horor Indonesia yang ingin go internasional, saya sih yakin kalau hantu pocong di masa depan bisa bersaing untuk berkesempatan menyabet Piala Oscar.
Perkara nanti nerima pialanya gimana dan speech-nya gimana, ya itu biar urusan sutradaranya. Masa iya itu jadi urusan pocongnya juga?
BACA JUGA Antara Aku, Pocong, dan Mie Ayam atau tulisan Krisnasari Willoughby lainnya.